Berdemokrasi yang sehat merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari akhlak serta tata nilai, selain memahaminya dari sisi pengetahuan. Perilaku berdemokrasi dengan sendirinya juga memerlukan etika dalam menjalankannya.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·2 menit baca
Saat ini, mengamati interaksi dalam masyarakat, termasuk polah berbagai lembaga di pemerintahan, menimbulkan tanda tanya. Apakah hakikat berdemokrasi yang sehat sudah cukup dihayati seluruh lapisan masyarakat?
Saya terkenang saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambangi Buya Syafii Maarif yang sedang sakit (26/3/2022) dan saat Buya wafat (27/5/2022).
Mengenang almarhum saya menuliskan di Kompas: Jokowi dan Buya adalah dua sosok berbeda usia, kedudukan, kadang pandangan, tetapi sama-sama visioner, saling memahami, memiliki keberanian moral, dan menyikapi situasi dengan bijak. Mereka merawat demokrasi sehat.
Berdemokrasi yang sehat merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari akhlak serta tata nilai, selain memahaminya dari sisi pengetahuan. Perilaku berdemokrasi dengan sendirinya juga memerlukan etika dalam menjalankannya.
Nasihat Buya Syafii Maarif: Jiko pandai bakato-kato, umpamo santan jo tangguli. Tidak pernah menimbulkan sakit hati meskipun itu suatu kritik. Cerminan seorang yang cerdas, berakhlak mulia, berintegritas, dan tulus.
Terdengar utopis, tetapi hal yang menjadikan bentuk ideal, das Sollen, perlu kita hayati bersama, dan dapat diwujudkan menjadi kenyataan, das Sein.
Harian Kompas (16/8/2023) dengan tepat memuat tema ”Pemuda dan Indonesia Tahun 2045”. Revitalisasi adalah upaya menghidupkan kembali sesuatu yang meredup.
Sejarah bangsa ini diwarnai oleh semangat serta keberanian dan keyakinan kaum muda. Zaman boleh berubah, tetapi hal yang mendasar, dambaan manusia merdeka tetap sama. Prihatinnya, era post-truth ini menghasilkan suatu paradoks, bebas menyuarakan banyak hal, termasuk hoaks, hal-hal yang menghambat sisi mendasar alam demokrasi. Berbeda pendapat dianggap permusuhan.
Tampak lebih menonjolkan kesemrawutan ketimbang memberikan rasa kebebasan yang aman, baik dalam berpikir, menyampaikan pikiran, maupun berbuat secara santun untuk kemaslahatan bangsa tercinta ini.
Unjuk kekuatan, impunitas, autocratic legalism seperti disampaikan berulang kali oleh Bivitri Susanti, merebaknya kriminalitas dalam berbagai bentuk, termasuk korupsi berskala besar, perilaku menjurus ke juvenile delinquency, makin nyata terpapar.
Masalah manusia seolah terabaikan, dan kita dibuai serta silau dengan hal-hal yang fisik semata. Hal yang mungkin menyesatkan. Kemajuan semu dalam bentuk kemegahan yang sebenarnya memiliki kekeroposan isi dan struktur.
Tak bosan saya mengacu ke China, Korea, dan Jepang. Lompatan kemajuannya diawali dengan pembentukan watak manusianya sebagai perseorangan maupun bangsa.
Kita mengenal istilah watak yang mendarah-mendaging. Orang Belanda menyatakannya Het liegt in de bloed. Bung Karno sering menyatakannya dalam ungkapan character building. Hal yang selama ini jujur kita akui terabaikan.
Kita tentu berbeda dengan China, seperti juga Korea dan Jepang berbeda satu dengan lainnya. Kita memerlukan warna sendiri demokrasi yang tepat untuk bangsa ini.