Mengatur Algoritma Distribusi Berita
Algoritma awalnya untuk memecahkan persoalan, tak pernah membayangkan bahwa platform kini menggunakan algoritma untuk kepentingan ekonomi-politik mereka hingga memunculkan persoalan tersendiri yang memerlukan pengaturan.
Muhammad al-Khwarizmi berpikir pasti ada kode-kode universal tersembunyi yang menjadi representasi numerikal untuk mengurai kompleksitas alam semesta.
Kode-kode numerikal itulah yang disebut algoritma. Al-Khwarizmi, ilmuwan yang hidup pada masa Khalifah al-Makmun di Baghdad pada 832 M, tak diragukan menemukan algoritma untuk memecahkan persoalan, bukan memunculkan persoalan baru.
Ia dulu kiranya tak pernah membayangkan bahwa platform kini menggunakan algoritma untuk kepentingan ekonomi-politik mereka hingga memunculkan persoalan tersendiri yang memerlukan pengaturan.
Algoritma adalah serangkaian kalkulasi dan instruksi numerikal yang ketika dioperasikan secara sistematis bakal memproduksi hasil yang diinginkan. Definisi ini menunjukkan pembuat algoritma bisa mengatur algoritma ini untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Di sinilah letak problem algoritma yang, jika tak ada pengaturan, bisa membuat penciptanya—dalam hal ini platform—mengatur sesuka hati demi mendapat hasil yang diinginkan. Problem tersebut juga terjadi dalam distribusi berita.
Pada Januari 2018, Facebook memutuskan algoritmanya lebih memprioritaskan konten dari keluarga atau teman dibandingkan konten dari Facebook Pages di semua platform. Padahal, perusahaan pers di seluruh dunia menggunakan Facebook Pages untuk mendistribusikan berita ke audiens. Perubahan ini membawa dampak signifikan pada perusahaan pers yang fokus pada distribusi sosial, memaksa mereka mendiversifikasi strategi distribusi.
Di sinilah letak problem algoritma yang, jika tak ada pengaturan, bisa membuat penciptanya—dalam hal ini platform—mengatur sesuka hati demi mendapat hasil yang diinginkan. Problem tersebut juga terjadi dalam distribusi berita.
Ada pula laporan, Facebook mengubah algoritmanya untuk lebih memprioritaskan distribusi berita politik sayap kanan. Media-media beraliran sayap kiri diminta memastikan berita mereka lebih bernuansa politik sayap kanan apabila ingin didistribusikan melalui Facebook.
Google secara sepihak algoritmanya mengurasi berita melalui Google News dan mendistribusikannya melalui Google Search. Sejumlah perusahaan pers menuding Google memprioritaskan distribusi berita yang sesuai kepentingannya.
Menurut Messe dan Bannerman (2022), fenomena ini menunjukkan platform bukan hanya berfungsi sebagai perantara atau distributor, melainkan juga sebagai gatekeeper. Begitu platform memutuskan membuat atau mengubah algoritmanya untuk menyeleksi berita-berita yang mereka distribusikan, perusahaan pers tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyesuaikan diri.
Perusahaan pers hanya bisa menyesuaikan diri karena tingkat ketergantungan terhadap platform terlalu tinggi. Dilihat dari teori ketergantungan, hubungan platform dan perusahaan pers ialah hubungan yang hegemonik dan eksploitatif.
Regulasi
Ketika perusahaan pers tak kuasa menghadapi hegemoni platform, negara dan pemerintah mesti hadir untuk mengatur algoritma distribusi berita. Bukankah tugas pemerintah (government) untuk mengatur (to govern)? Dewasa ini banyak negara membuat regulasi untuk mengatur algoritma distribusi berita. Messe dan Bannerman mencatat tiga pendekatan besar dalam pengaturan algoritma distribusi berita.
Pertama, pendekatan ekonomi. Pendekatan ini didasarkan pada ketimpangan ekonomi antara platform dan perusahaan pers. Platform menikmati bagian terbesar kue iklan, sedangkan perusahaan pers hanya mendapat remah-remahnya.
Perusahaan pers memproduksi berita dengan ongkos, sedangkan platform menyalurkan berita secara gratis. Platform digital bahkan memonetisasi atau mengomersialisasi berita-berita perusahaan pers yang mereka distribusikan. Platform menciptakan ekosistem bisnis timpang, membuat kelangsungan hidup perusahaan pers terancam.
Pendekatan ekonomi hendak membentuk ekosistem bisnis yang sehat dan adil antara platform dan perusahaan pers untuk menjaga keberlangsungan hidup media. Melalui pendekatan ini, regulasi mewajibkan platform digital bekerja sama dengan perusahaan pers. Australia contoh negara yang menggunakan pendekatan ini melalui News Media Bargaining Codes.
Platform selama ini memang telah berinisiatif menjalankan kerja sama dengan media. Namun, sifatnya timpang, tak setara. Kerja sama ini berlangsung secara sukarela dan bisa diputus sepihak oleh platform kapan saja. Regulasi bersifat mandatori agar kerja sama berlangsung setara dan permanen.
Kedua, pendekatan demokrasi. Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan algoritma menghomogenisasi berita yang didistribusikan platform sebagaimana dalam kasus di Australia ketika Facebook memprioritaskan berita-berita beraliran politik sayap kanan. Algoritma platform menciptakan echo chambers dan filter bubbles.
Platform selama ini memang telah berinisiatif menjalankan kerja sama dengan media. Namun, sifatnya timpang, tak setara. Kerja sama ini berlangsung secara sukarela dan bisa diputus sepihak oleh platform kapan saja.
Di dunia jurnalisme, algoritma platform mendorong pers menyiarkan berita umpan klik (clickbait). Berita umpan klik bukan jurnalisme berkualitas karena dianggap melanggar etika jurnalistik. Pendekatan demokrasi mengharuskan platform transparan dengan algoritma mereka dan perubahannya. Uni Eropa melalui Digital Service Act (DSA) serta Kanada contoh negara yang menerapkan pengaturan algoritma dengan pendekatan demokrasi.
Ketiga, pendekatan ideologi. China dan Amerika Serikat contoh negara yang menggunakan pendekatan ini untuk mengatur algoritma distribusi berita. China dengan ideologi sosialismenya mengontrol secara ketat layanan agregator berita terkemuka Jinri Toutiao (Berita Utama Hari Ini) sembari mengoperasikan layanan agregator berita tandingan milik negara, Renminhao (Orang-orang Baik).
AS dengan komitmen kuat pada ideologi kebebasan berbicara enggan mengatur algoritma platform, apalagi algoritma distribusi berita. Namun, Departemen Kehakiman pada 2020 menerbitkan aturan antimonopoli bagi Google. Kongres pada 2019 mengajukan proposal aturan akuntabilitas algoritma (Algorithmic Accountability Act of 1999).
Baca juga : Kuasa Algoritma dan Polarisasi Politik
Kemauan politik
Indonesia mengombinasikan pendekatan ekonomi dan demokrasi melalui Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Regulasi ini bertujuan menciptakan ekosistem bisnis yang sehat antara platform dan perusahaan pers demi mendukung terwujudnya jurnalisme berkualitas.
Indonesia melibatkan diri dalam arus besar fenomena dan gerakan global pengaturan platform. Gelombang besar gerakan pengaturan platform kiranya sulit dibendung. Tinggal apakah platform punya kemauan politik untuk menerima dan menjalankan regulasi. Jika ada pengaturan yang belum atau tak pas, regulasi terbuka diperbaiki.
Usman Kansong, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika