Panggung politik nasional di hari-hari depan ini, dikaji dari sisi pengembangan masyarakat, akan memasuki tahapan ”saling tuduh” demi mempertahankan eksistensi setiap parpol.
Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
·4 menit baca
Hingga September 2023, besar kemungkinan panggung politik nasional kita akan menampilkan episode-episode lakon ”Jegal, Jagal, dan Begal”. Karena ini sebuah panggung politik, para pemainnya sudah barang tentu sebagian besar adalah politisi, bahkan di antara mereka ada juga yang berperan sebagai sutradara.
Garis besar lakon itu kemungkinannya ialah tiba-tiba nanti ada teriakan ”Calonku dijegal”, atau di ujung sana ”Awas ada jagal politik”, sementara di sana-sini tersebar (atau sengaja disebarluaskan) isu ”Begal……begal……begal politik!” Juntrungsemua teriakan itu adalah ”menuduh pihak lainlah” yang melakukannya, sementara kami di sini baik-baik saja, kerja keras, dan berjalan sesuai aturan main pemilu.
”Contra ac dicta sunt”
Lakon ”jegal, jagal, dan begal” ini, apabila hari-hari nanti benar adanya, maka benarlah apa yang pernah dikaji oleh Immanuel Kant (1724-1804) tentang metode kritis versus irasionalitas. Kant mengembangkan metode kritis dengan bertumpu kepada akal (pikir) manusia yang sangat bernilai tinggi. Namun, manakala manusia menghadapi persoalan-persoalan pelik yang dirasa melampaui akalnya—mengingat akal pun ada keterbatasannya—maka aspek irasionalitas dari kehidupan dapatlah diterima kenyataannya.
Dalam kondisi buntu-akal dan lalu menempuh jalan-jalan irasional inilah, orang lalu menapaki jalan contra ac dicta sunt, berlawanan dengan apa yang (sering) dikatakannya. Para politisi pasti sangat fasih bicara tentang berpolitik yang egaliter, santun, saling menghargai dan menghormati, serta semua harus ditempuh berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi.
Semua kata tadi meluncur berdasarkan akal sehat, tetapi ketika merasa bahwa akal sehatnya tidak memadai lagi melawan gempuran ”lawan politik”, aspek irasionalitasnya muncul dan biasanya sangat tiba-tiba, lalu berteriak: Calonku dijegal oleh jagal politik dengan cara dibegal. Sekali lagi, inilah yang disebut manis di akal, pahit dalam kata-kata; alam pikirnya mengatakan mari berdemokrasi secara santun sesuai regulasi yang mengatur, tetapi alam tuturnya yang sangat mungkin tergoda untuk (harus mengatakannya karena satu-satunya cara) menuduh pihak lain.
Jegal dan jagal
Kisah asal-muasalnya, sebelum seekor hewan, sebutlah sapi disembelih oleh seorang jagal, sapi itu harus terlebih dahulu dilumpuhkan dengan cara dijegal, yaitu sekurang-kurangnya dua kaki depannya disrimpet atau disrimpung (semacam dijerat) dengan seutas tali agar hewan itu roboh. Begitu roboh, ditunggu beberapa saat sampai sapi itu agak tenang karena kehabisan tenaga setelah meronta-ronta, segeralah si jagal beraksi.
Episode slaughter semacam inilah yang rupanya menggoda sejumlah politisi untuk melakukannya, seolah-olah memaknai persaingan politik itu seperti layaknya slaughterhouse, rumah pembantaian.
Teriakan ”calonku dijegal” ataupun ”awas jagal politik” barangkali sebuah taktik belaka, tidak terjadi atau tidak ada kenyataannya, tetapi dikatakan di mana-mana seperti itu. Taktik slaughter seperti ini ditempuh tanpa pernah berpikir telah melakukan pembohongan publik karena semata-mata hanya berharap calonnya semakin dikenal masyarakat luas.
Teriakan ’calonku dijegal’ atau pun ’awas jagal politik’ barangkali sebuah taktik belaka, tidak terjadi atau tidak ada kenyataannya, tetapi dikatakan di mana-mana seperti itu.
Begal
Kisahnya, beda yang disebut pencuri, beda pula yang disebut begal. Khalayak sangatlah tahu bahwa seseorang disebut pencuri kalau ia mencuri sesuatu dari/milik orang lain, misalnya membobol rumah orang lain lalu mengambil barang-barang berharganya. Tidak seperti itu yang dilakukan oleh seorang begal. Upaya pembegalan selalu terjadi di jalan, dengan cara merebut barang/sesuatu milik orang lain secara paksa. Maka, kalau ada orang mengatakan dibegal atau kena begal, itu artinya barang orang itu direbut oleh begal.
Episode semacam inilah yang di panggung politik nasional rupanya akan terjadi di hari-hari berikut; yakni si Dadap dari parpol A, dibegal oleh parpol B, juga dapat terjadi sebaliknya. Sangat mungkin ranahnya bukan hanya individu si Dadap, Polan, dan sebagainya; tetapi sangat mungkin merambah ke partai politik, misalnya parpol C dibegal oleh parpol H agar masuk ke dalam koalisinya. Begitu seterusnya.
Pertanyaannya, mengapa pembegalan sangat terbuka dan sangat mungkin terjadi? Selain orang lebih suka pragmatis irasional seperti dikatakan Kant, kemendesakan waktu tidak mungkin lagi orang (baca partai politik) dapat memenuhi eksistensinya secara lurus-lurus saja, oleh karena itu harus membegal.
Berbicara tentang eksistensi seseorang (termasuk juga partai politik, ternyata) Jean Paul Sartre (1905-1980) memang pernah menyatakan ”Man is nothing else, but what he makes of himself”; idealnya memang bagaimana partai politik itu (dan para politisinya) dapat menjadikan dirinya sendiri sebagai partai politik yang benar-benar berpolitik secara benar. Inilah tanggung jawab utama partai politik, yaitu bertanggung jawab atas/bagi partainya sendiri. Menurut Sartre, tanggung jawab semacam itu tidak dapat dan tidak boleh dibebankan kepada pihak lain, ”kepada Tuhan pun, tidak,” katanya.
Berarti, membegal parpol lain sebenarnya berlawanan dengan tuntutan tanggung jawabnya. Namun, apa boleh buat, parpol yang membegal merasa butuh dan harus membegal demi eksistensinya; dan pada sisi yang lain parpol yang dibegal pun bukannya tidak mungkin sengaja ”menawarkan diri” agar dibegal demi eksistensinya pula. Atas nama tuntutan menjaga eksistensi, begal-membegal dipandang sah-sah saja.
Akankah ada episode lain lagi sampai dengan hari-H pemilu, Rabu, 14 Februari 2024? Dari sisi regulasi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 memang menyediakan ruang dan waktu apabila nanti pemilihan presiden harus terjadi putaran kedua; yakni akan ada puncak panggung politik nasional (lagi) pada bulan Juni 2024.
Mengapa? Karena seluruh kesibukan pilpres putaran kedua diatur sebagai berikut: tanggal 2 Juni sampai dengan 22 Juni 2024 hari-hari kampanye; masa tenangnya terjadi pada 23-25 Juni 2024, dan coblosan putaran kedua ada di tanggal 26 Juni 2024.
Jika terjadi putaran kedua—sebaiknya satu putaran selesailah—lakon di panggung politik nasional bukan lagi ”Jegal, jagal, dan begal”, melainkan ”Bedhol Desa Parpol” dengan latar-suara Don’t cry for me….