Kita mesti memahami etos kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, kita perlu khawatir politik akan dianggap sebagai ”no man’s land” (ranah tak bertuan) sehingga siapa yang kuat dialah pemenangnya.
Oleh
WAHYU WIBOWO
·2 menit baca
Situasi politik menjelang Pemilu 2024 amat menarik untuk dihubungkan dengan artikel Rahma Sugihartati yang berjudul ”Anak Muda, Politik, dan Kesenjangan Demokrasi” (Kompas, 8/8/23). Disebut menarik, terutama karena terkait dengan sejumlah politikus kita yang didakwa korupsi, yang dalam konteks ini mengimplikasikan dua hal yang kontradiktif. Pertama, politik masih didefinisikan sebagai kekuasaan. Kedua, etika politik masih dianggap sebelah mata.
Politik sebagai kekuasaan, setidaknya dapat kita pahami melalui ungkapan ”politik adalah panglima” (zaman Orde Lama), ”politik adalah KKN” (zaman Orde Baru), dan ”politik adalah kebebasan” (zaman Reformasi). Dalam perspektif filsafat politik, ungkapan-ungkapan itu dapat ditelusur ke arah ucapan Lord Aston, yakni politik cenderung korup, yang hingga kini masih kerap dikutip orang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dampak dari kedua hal tersebut, politik hanya dipahami sebagai kekuasaan atau seni menguasai. Segi-segi praksis etisnya, seperti kebebasan politik, juga dipahami sejauh ”kebebasan untuk” dan bukan ”kebebasan dari”.
Istilah ”kebebasan untuk” mengindikasikan kebebasan yang boleh dilakukan si subyek berkaitan dengan kekuasaannya. Sementara itu, ”kebebasan dari” mestinya berupa kebebasan yang diterima individu-individu (rakyat) berkenaan dengan kenyamanan dan kesejahteraan hidup. Itu sebabnya, korupsi yang dituduhkan kepada sejumlah politikus boleh dikatakan sebagai cerminan ”kebebasan untuk”, sedangkan tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika membongkarnya dapat disebut sebagai representasi ”kebebasan dari”.
Berhasil-tidaknya upaya KPK, itu urusan lain. Urusan kita adalah merenungi betapa bangsa kita sulit sekali melepaskan diri dari suatu paradigma. Kesulitan ini mungkin karena paradigma adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori dan segi praksisnya pada suatu zaman tertentu atau struktur kognitif fundamental yang menancap kuat pada diri seseorang (Kuhn, 1970). Artinya, paradigma usang tentang politik bisa jadi tetap dipertahankan orang karena asumsi dasar seseorang tentang hakikat pengetahuan tergantung sepenuhnya pada latar belakang sejarah hidupnya.
Suatu paradigma memang sulit terlihat secara eksplisit, kecuali kita menduganya dari ungkapan bahasa yang disampaikan si subyek kepada kita. Itu sebabnya, dampak dari belenggu paradigma lama juga mudah kita lihat. Contohnya, di dalam kehidupan demokrasi, terutama dengan perkembangan pesat media sosial, selalu saja digarisbawahi bahwa kebebasan berbicara, misalnya, berpangkal dari semangat oposisi biner tentang pemerintah versus rakyat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian kerap memicu fitnah, ujaran kebencian, atau problem suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pertanyaannya, mungkinkah membongkar paradigma? Kuhn menawari kita suatu metode yang dinamainya ”revolusi pengetahuan”, yakni menggeser paradigma dalam ilmu pengetahuan melalui pemutusan hubungan dengan bahasa dan cara pandang yang telah ketinggalan zaman. Dalam ungkapan lain, kita harus meyakini bahwa prinsip-prinsip epistemologis atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang mendasari suatu zaman secara otomatis akan berhenti berfungsi ketika tidak lagi berguna untuk memahami realitas yang tengah kita hadapi.
Membongkar paradigma usang dalam dunia politik juga merupakan upaya yang tepat jika hendak menyelamatkan politik sebagai ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, membongkar paradigma usang dalam dunia politik juga merupakan upaya yang tepat jika hendak menyelamatkan politik sebagai ilmu pengetahuan, terkait dengan realitas politik yang sedang kita hadapi dewasa ini. Hal ini berarti tidak memungkinkan lagi memahami politik sebagai kekuasaan.
Sejatinya, etos pembongkaran paradigma mencerminkan sikap kritis kita dalam memerangi sifat pembebek terhadap semangat oposisi biner tentang pemerintah versus rakyat. Tanpa sikap kritis itu, pemerintah tetaplah dianggap supra sehingga itu tadi muncul kesadaran artifisial bahwa yang namanya pemerintah haruslah terus-menerus difitnah, dinista, dihujat, (dan bahkan pemerintah dikatakan diisi atau didukung oleh kaum yang tidak memahami nilai kemanusiaan). Dengan anggapan semacam ini, boleh digarisbawahi bahwa masih banyak di antara kita yang secara paradigmatik masih percaya bahwa pemerintah hanyalah kepanjangan tangan dari suatu rezim kebenaran.
Rezim kebenaran
Menurut Foucault (1970), ”rezim kebenaran” selalu muncul setiap saat. Wujudnya berupa upaya ”pihak-pihak tertentu” yang sedang berkuasa dalam memaksakan suatu wacana sebagai kebenaran umum yang tunggal. Contohnya, orang gila selalu dikonstruksi secara sosial sebagai liyan (the other) sehingga gila diwacanakan secara paksa sebagai sesuatu yang berbahaya.
Mereka yang terkungkung dan terbelenggu oleh suatu rezim kebenaran, atau mereka yang sulit melepaskan paradigma ini dari diri mereka, oleh Habermas (1970) disebut ”mandarins”. Mereka ini menggunakan keahlian mereka untuk mengabdi kepada status quo demi memelihara anti-perubahan.
Kaum mandarins oleh Habermas juga dianggap sebagai kelompok elite kultural yang memperoleh status sosial hanya dari kualifikasi pendidikan dan sama sekali bukan dari bakat intelektualitas mereka. Dampaknya, ilmu pengetahuan tumbuh menjadi sesuatu yang ideologis dan dogmatis, alias tidak kritis, dan tidak emansipatoris. Dampaknya, ”logika umum” dan ”logika akademik” dicampurbaurkan seenak-enaknya dan berkembang ke arah komersialisme dan konsumerisme.
Tanpa memahami hal di atas ini, kita perlu khawatir politik akan dianggap sebagai no man’s land (ranah tak bertuan) sehingga siapa yang kuat dialah pemenangnya. Padahal, kita mesti memahami etos kehidupan berbangsa dan bernegara karena dewasa ini kehidupan kita masih kental diwarnai tiga bentuk ”kejahatan”, yakni kekerasan, politik uang, dan korupsi.