Ia hanya akan mengikuti orang dengan kapasitas terkuat dalam lingkungannya. Ia juga akan mengalami kesulitan melakukan analisis yang mendalam dan membutuhkan orang lain untuk memberitahunya apa yang harus dilakukan.
Oleh
Alissa Wahid
·3 menit baca
Belakangan ini, video-video pelintasan kereta api sering muncul di media sosial. Di salah-satunya, rangkaian kereta dipaksa berhenti oleh petugas pelintasan. Penyebabnya, puluhan motor dan mobil masih berada di tengah persimpangan dan tidak bisa bergerak karena macet.
Kalau hanya dua-tiga kendaraan, tentu tidak sulit meminggirkan kendaraan sejenak sampai kereta api selesai melintasi. Tetapi, apabila jumlahnya lebih dari 30 kendaraan, mulai dari motor sampai bus, maka pertanyaan yang muncul justru adalah apa yang menyebabkan puluhan pengendara kendaraan ini ikut-ikutan melanggar penanda datangnya kereta api.
Soal ikut-ikutan ini juga menjadi penyebab utama belasan nyawa yang hilang akibat baku hantam dan pengeroyokan antarpendukung klub sepak bola. Pengeroyokan warga Ahmadiyah beberapa tahun lalu juga menunjukkan fenomena sama: crowd mentality (perilaku mental kerumunan) memancing individu-individu pendukungnya untuk bertindak atas nama kelompok melakukan tindakan-tindakan penuh kebrutalan.
Ini memang tidak lepas dari watak atau kultur masyarakat Indonesia yang sangat diwarnai oleh mentalitas in-group out-group, mendahulukan yang sekelompok dan mudah membedakan kelompok liyan. Sejak lahir, warga Nusantara telah dibiasakan untuk taat pada norma sosial dan mendahulukan kepentingan kelompok. Bahkan, individu-individu yang tidak taat pakem kadang diberi sanksi sosial karena dianggap melanggar norma sosial atau tidak srawung (membaur). Inilah titik tolak konsep kerukunan sosial yang berbasis norma sosial setempat.
Tajfel & Turner (1979) yang memopulerkan konsep in-group out-group di atas meneorikan bahwa proses pembentukan ini berlangsung dalam tiga fase: kategorisasi sosial, identifikasi sosial, dan komparasi sosial. Awalnya kita membagi lingkungan ke dalam kelompok-kelompok dengan tanda-tanda yang khas dari kelompok tersebut. Ini dilanjutkan dengan fase identifikasi sosial, di mana kita menyematkan identitas kelompok pada diri kita, dimulai dari atribut fisik sampai pandangan kehidupan. Fase terakhir adalah saat kita mulai membanding-bandingkan diri kelompok dengan liyan.
Dari proses sejak lahir lalu tumbuh dalam lingkungan demikian, warga bangsa kita menjadi terbiasa untuk bersikap kompromis, terutama terhadap ”maunya” lingkungan yang biasanya diwakilkan kepada ”maunya” tetua kelompok masyarakat setempat. Individu diminta untuk mengesampingkan kebutuhan dan kepentingannya sendiri demi kebaikan bersama. Sikap kompromis ini bisa berkembang menjadi beberapa ciri watak turunan.
Salah satunya adalah sikap hipokrit alias munafik. Dalam titik ekstremnya, norma sosial identik dengan kehendak mereka yang berkuasa atau dianggap memiliki hak lebih tinggi, dan semua anggota komunitas diharuskan untuk mengikuti kehendak penguasa. Walhasil, sikap hipokrit menjadi jalan keluar untuk mempertahankan diri. Ini pun bukannya tanpa risiko. Misalnya, seorang ASN golongan rendah yang munafik walau tidak menyukai atasannya, lalu ia dipaksa mengikuti perintah atasannya untuk menjalankan operasi korupsi.
Sebaliknya dengan ciri watak turunan lain dari kecenderungan in-group, yaitu tidak terlatih berpikir kritis. Karena harus mengesampingkan pikirannya sendiri, individu tidak terbiasa untuk berpikir mandiri. Ia hanya akan mengikuti orang dengan kapasitas terkuat dalam lingkungannya. Ia juga akan mengalami kesulitan untuk melakukan analisis yang mendalam dan membutuhkan orang lain untuk memberitahunya apa yang harus dilakukannya.
Dalam konteks sekarang, ini diperparah oleh akses ke media sosial yang semakin besar. Media sosial memberikan egalitarianisme kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk memanfaatkannya. Siapa pun dapat menjadi seorang pemengaruh atau menjadi warga yang dipengaruhi.
Seseorang yang mandiri dalam berpikir akan bisa menjadi pemengaruh karena media sosial menyediakan platform untuk mendapatkan jangkauan audiens yang besar. Contohnya, banyak warga biasa yang sekarang ini menjadi jutawan dengan berdagang di live streaming sales berbagai platform media sosial.
Tren dagang baru ini bahkan sudah menempati posisi pertama dalam volume penjualan berbasis internet (e-commerce). Penjual yang militan dan atraksi yang menarik menciptakan interaksi yang kuat terjadi antara penjual dan pembeli sehingga pembeli tergoda untuk mengikuti sang penjual.
Di sisi lain, seseorang juga dapat menjadi korban dari agenda pihak-pihak lain karena ketidakmampuannya untuk berpikir kritis. Di platform media sosial, ia akan menjadi orang-orang yang mudah terbawa tren atau pandangan. Misalnya, saat terjadi cancelled culture pada seorang netizen bintang atau saat menerima banjir pesan ekstremisme.
Di tahun politik ini, baik sikap hipokrit maupun tidak mampu berpikir kritis menjadikan warga rentan terhadap propaganda politik serta kurang mengenali calon wakilnya. Banyak kelompok akan berusaha memengaruhi pemikiran dan suasana batin warga bangsa. Kalau masyarakat tidak memiliki daya berpikir kritis, maka narasi-narasi yang dibawa para politisi akan ditelan begitu saja.
Sebagaimana hasil riset Cherion George (2018) yang menyimpulkan bahwa di Indonesia, sentimen keagamaan antarkelompok biasanya diubah menjadi hate spins (pelintiran kebencian) terhadap kelompok yang berbeda oleh para pengasong politik (political entrepreneurs). Tentu saja, ini bukan hal yang bisa diremehkan. Efeknya bisa berlangsung panjang dan menjauhkan kita dari Indonesia Emas.
Sampai saat ini, para pegiat demokrasi masih belum menemukan formula tepat untuk menjaga rakyat. Tapi, kondisi genting membutuhkan terobosan drastis. Memperhatikan para tiktokers mempromosikan barang jualannya, saya tiba-tiba terpikir, bagaimana kalau kita meminta para seller media sosial mempromosikan demokrasi kepada bangsa? Siapa tahu, bukan?