Menurut Buya, para seniman dan budayawan Sumatera Barat punya kecintaan yang tulus dan dalam terhadap tanah Minang, sekalipun sebagian mereka lahir di bumi Nusantara yang lain.
Oleh
David Krisna Alka
·4 menit baca
”Saya mohon agar kemahiran itu digunakan untuk tujuan-tujuan yang besar bagi kepentingan rakyat. Tidak terkuras oleh masalah remeh-temeh yang berketiak ular”— Ahmad Syafii Maarif
Sejak zaman sudah berganti era digitalisasi, gawai sering melekat dan tak sudi pergi. Ujung salah satu jari tangan menari di atas layar kecil gawai ini; ke atas dan ke bawah, kanan dan ke kiri. Suatu hari, jari itu berhenti pada satu memori yang ada dalam gawai ini, video kuliah umum Prof Dr Ahmad Syafii Maarif di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam, Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat (2015).
Dalam rindu hati, jari itu menyentuh layar gawai dan menyaksikan lagi video kuliah umum Buya Syafii itu. Buya berkata, ”Bergaul dengan para seniman telah turut membuka dan mempertajam cakrawala spiritual saya menghadapi manusia atau memahami manusia.” Lalu, pada menit 8:37-8:63, Buya menyampaikan, pada saat politik kekuasaan menjadi liar, misalnya karena ketiadaan visi yang jauh ke depan, maka seni harus tampil ke depan untuk menjinakkan. Seni itu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan untuk mempertajam daya tembus intelektual kita.
Buya dan budayawan
Kini, sudah satu tahun Buya Syafii pergi meninggalkan bumi yang penuh seni dan warna-warni ini. Pada 27 Mei 2022, Buya Syafii wafat. Buya tak kembali ke kampung halamannya. Buya berdiam akhir di kota yang acap kali disebut orang sebagai kota seni, kota yang sering terjadi perhelatan seni, atau melahirkan banyak tokoh seni, Yogyakarta. Jika bulan Juni ada yang menyebut sebagai Bulan Bung Karno, maka Maarif Institute beserta kolega, jaringan, dan kader pergerakan pemikiran Buya Syafii menetapkan bulan Mei sebagai Bulan Buya Syafii.
Belum lama ini (27-29 Mei 2023), untuk mengenang satu tahun wafatnya Buya Syafii, diselenggarakan beberapa kegiatan seni yang bertajuk Wirid Kebangsaan di ADA SaRanG (Kiniko Art Room), Bantul, DI Yogyakarta. Sejumlah seniman dan budayawan Nasional ataupun daerah hadir dalam acara itu, seperti KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Butet Kartaredjasa, Riki Dhamparan Putra, Jumaldi Alfi, dan Abdullah Sumrahadi. Kegiatan seni mengenang Buya ini berisi orasi kebudayaan, pameran lukisan, pameran foto, pameran koleksi beberapa barang pribadi Buya Syafii, dan diskusi buku Berdiang di Perapian Buya Syafii.
”Saya ini bukan orang seni,” kata Buya Syafii. Padahal, atas permintaan sahabatnya, budayawan WS Rendra, sudah 12 tahun bergaul dengan para seniman dan menjadi anggota di Akademi Jakarta. Selain itu, perhatian Buya terhadap karya, sosok, dan pemikiran budayawan di negeri ini sudah tak terbilang jumlahnya. Tak jarang Buya menulis apresiasi dan kekagumannya terhadap kerja karya seniman dan sastrawan.
Misalnya, dalam koran harian Kompas ini (4 Agustus 2020), Buya pernah menulis obituari budayawan Ajip Rosidi, berjudul: ”Ajip Rosidi, tentang Budaya Sunda”. Dalam tulisannya itu, Buya Syafii menelaah kritik budaya Ajip terhadap budaya Sunda. Pandangan Buya, mungkin orang lain akan menilai Bung Ajip bersikap terlalu keras mengkritik budaya suku (Sunda), tetapi bagi Buya, sikap semacam itu perlu dilakukan agar kita semua menyadari tentang serba kelemahan budaya suku kita sendiri, seperti juga dilakukan WS Rendra membedah budaya Jawa.
Pada tulisan lain, dalam bukunya, Ranah Gurindam dalam Sorotan (48-51: 2022), Buya Syafii mengupas pandangan ”Si Pencemooh” budayawan AA Navis, yang melakukan kritik budaya terhadap tanah kelahirannya, ranah minang. Menurut Buya, semua suku yang bertebaran di Nusantara ini kaya dengan kearifan lokal masing-masing, tetapi pasti tidak bebas dari titik-titik lemah yang perlu diperbaiki dan dibenahi bersama. Dalam membaca fenomena sosial sebuah masyarakat tertentu, para sastrawan dan budayawan mungkin punya penglihatan tersendiri yang perlu disimak. Jika anggota sebuah suku masih mau melihat kondisi masyarakatnya secara jujur dan jernih, sekali pun pahit, adalah pertanda positif.
Terakhir, setahun sebelum kepergian Buya Syafii, perhatiannya dan rasa sayang yang tinggi terhadap kehidupan seni dan budaya di republik ini, ia ungkapkan lagi.Saat Buya menyampaikan pidato pada Sidang DPRD Sumatera Barat (1 Oktober 2021), Buya mengatakan, sebagian kekuatan Sumatera Barat terletak pada terwujudnya kerja sama yang erat antara ranah dan rantau, sesuatu yang kurang dibina di masa lalu. Termasuk potensi para budayawan dan sastrawan, baik yang tinggal di ranah ataupun di rantau, perlu secepatnya disapa dan diberdayakan.
Menurut Buya, para seniman dan budayawan Sumatera Barat, punya kecintaan yang tulus dan dalam terhadap tanah Minang, sekalipun sebagian mereka lahir di bumi Nusantara yang lain. Mereka umumnya punya intuisi yang lebih tajam dibandingkan dengan kebanyakan kita. Dalam epilog buku Ranah Gurindam dalam Sorotan (97:2022), Gus tf Sakai memperjelas pidato Buya pada Sidang DPRD Sumatera Barat itu.
Menurut Gus tf Sakai, bagi Buya, seni adalah ”upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia agar dibimbing oleh keindahan”. Melihat kondisi dan kualitas kepemimpinan yang amburadul, Buya menulis: ”Apakah politisi kita tidak kenal seni, tidak kenal sastra sehingga batin dan perbuatan sebagian mereka begitu kumuh, begitu hitam. Tidak peduli apakah mereka pakai jilbab atau buka rambut bagi koruptor perempuan. Kelakuan mereka sudah tidak bisa dibedakan, sama-sama buruk, sama-sama najis.”
Maka, wajar belaka jika Buya Syafii—yang menyebut dirinya sebagai ”penikmat seni”—selalu tampil dalam sosok yang tak pernah diam, selalu peduli, peka dengan berbagai ketidakadilan, bahkan walau ketidakadilan—laku bobrok dan kumuh itu, berasal dari kalangan sendiri; kampung halaman sendiri. Memang, Buya Syafii tak sempat melahirkan karya seni atau karya sastra seperti Buya Hamka. Namun, kepedulian Buya pada ranah budaya sudah indah pada jejak pikir dan laku keindonesiaan, keislaman, dan kebangsaan yang ia persembahkan untuk bangsa Indonesia selama hidupnya. Begitulah Buya, ia sudah bertungkus lumus untuk republik ini. Sebab, manusia tanpa kebudayaan belum menjadi manusia.
Alhasil, andai Buya Syafii dapat kembali berbisik lirih, tentu ia tak suka kemewahan yang dilekatkan pada jasadnya yang terlelap dan tak akan pernah bangkit lagi. Keluarbiasaan dan kemegahan yang disematkan semasa hayatnya saja sering kali ditolak Buya dengan senyum. Ya, begitulah seni hidup Buya Syafii.