Belakangan ini makin sering kita mendengar orang melecehkan, menghina, menghujat orang lain, bahkan juga diarahkan kepada Presiden.
Di era media berbasis internet, kejadian seperti itu menjalar cepat, menjadi viral. Timbul bermacam reaksi yang memperkeruh dan memanaskan situasi. Publik tampaknya juga tidak punya tuntunan bagaimana memahami hal itu.
Tulisan Haryatmoko, ”Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi” (Kompas, 10/8/2023), mengulas fenomena ini dalam kerangka wacana kritis. Haryatmoko memaparkan dan menganalisis aspek konseptual dan teoretikal, juga implikasi strategis dan teknisnya.
Dalam demokrasi, tulis Haryatmoko, wacana kritis berperan penting. Atmosfer politik yang terbuka terhadap wacana kritis mendorong warga negara yang kompeten terlibat dalam analisis kebijakan publik dan perdebatan rasional yang sehat. Tujuannya meningkatkan kualitas kebijakan, yang juga bisa dipertanggungjawabkan secara etika.
Ketika menyampaikan gagasan atau kritik di ruang publik, ada berbagai cara, tambah penulis. Ada perbedaan antara devil’s advocate dan demagog. Yang pertama, merangsang pemikiran kritis dari perspektif alternatif, menunjukkan kekurangan dan konsekuensi yang tidak diinginkan, menyajikan argumen melalui perdebatan yang sehat. Juga memberi masukan demi kebijakan publik yang bermutu.
Sementara demagog memanipulasi emosi publik serta mendistorsi informasi. Caranya dengan menyerang pribadi, menghina, menghujat, mengambinghitamkan, menebarkan ujaran kebencian, serta mengabaikan bukti. Sifatnya destruktif tanpa alternatif atau solusi berharga. Demagog biasanya berdalih pada kebebasan berekspresi.
Menurut saya, Haryatmoko telah mengulas fenomena demagogi yang kian marak dengan komprehensif, tetapi padat, secara ilmiah populer sehingga mudah dicerna.
Semoga ini bisa memperkaya pengetahuan dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang fenomena ini. Terima kasih, Romo.
Eduard Lukman
Jl Warga, Pejaten Barat