Anjing Gila Makin Menggila
Kematian akibat gigitan anjing gila atau rabies meningkat di sejumlah daerah. Memberantas rabies berarti memutus mata rantai penularannya dengan mengeliminasi anjing-anjing tak bertuan secara manusiawi.
Anjing gila atau rabies menjadi masalah di sejumlah daerah. Pemerintah Kabupaten Timur Tengah Selatan dan Sikka di Nusa Tenggara Timur, serta Sintang di Kalimantan Barat menyatakan kejadian luar biasa (KLB) rabies di wilayah mereka karena korban gigitan anjing gila dan meninggal meningkat. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga menghawatirkan masalah rabies.
Di sejumlah daerah, kasus anjing gila semakin menggila. Menggila, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti menghebat, melonjak, meningkat.
Pada 2022, di Bali, misalnya, jumlah kasus rabies anjing diteguhkan laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVET) Denpasar mencapai 702 (tertinggi sejak 2008), jumlah gigitan 34.858 kasus, jumlah korban meninggal 22 orang. Data Kementerian Kesehatan, selama Januari-April 2023 menggambarkan, jumlah gigitan anjing terbanyak ditemukan di Bali (lebih dari 15.000), disusul NTT, Sulawesi Selatan, kemudian Kalimantan Barat.
Jumlah kematian dinilai kecil dibandingkan jumlah gigitan anjing. Hal ini disebabkan sebagian besar korban gigitan segera mendapatkan vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies (SAR). Temuan VAR sebagai post exposure prophylaxis (PEP) memang luar biasa sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada peringatan Hari Rabies Sedunia (World Rabies Day) yang ke-16 (2022) mengusung tema ”One Health, Zero Death”. Sayang sekali, kematian karena rabies 2022 justru meningkat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain.
Baca juga: Gigitan Anjing Gila yang Mengancam Jiwa
Total kematian karena rabies di NTT dalam 25 tahun sekitar 400 orang, sedangkan Bali dalam 14 tahun 125 orang. Hal yang lebih ditakuti bukan angka kematian, tetapi derita pasien menuju kematian sangat mencekam bagi keluarga korban. Penulis menyebut kematian karena rabies bukan RIP (rest in peace), tetapi RIH (rest in horror).
Pemerintah telah berupaya keras menangani rabies melalui vaksinasi masal, eliminasi terbatas di sekitar wilayah gigitan dan memberikan VAR/SAR. Pemprov Bali mengupayakan sendiri VAR/SAR bagi masyarakat, diberikan secara gratis lewat Rabies Centre yang tersebar di banyak wilayah.
Rabies tidak hanya mengancam masyarakat, tetapi juga dokter hewan praktisi. Beberapa praktisi (termasuk penulis) pernah digigit pasien anjing, yang kemudian terbukti positif rabies secara FAT (fluorescent antibody test). Beruntung, segera mendapat VAR.
Menilik perkembangan rabies selama ini, diprediksi sulit mencapai bebas rabies pada 2030. Diperlukan cara yang lebih baik untuk memberantas rabies.
Memutus rantai penularan
Memperhatikan situasi rabies di Bali, Forum Dokter Hewan Peduli Rabies melakukan berapa kali diskusi: ”Mengapa rabies tak kunjung beres?” Sebagian besar anggota forum, termasuk penulis, telah mengamati rabies selama 14 tahun.
Menghentikan penularan rabies berarti memutus rantai/siklus penularan. Dalam diskusi tersebut, terungkap letak rantai penularan rabies.
Dalam hal ini, ada tiga kelompok anjing, yaitu (A) tidak bertuan, (B) bertuan tetapi sebagian dibiarkan lepas ke jalan, (C) bertuan sebagai bagian dari keluarga pemilik (companion animal).
Dari pengamatan 14 tahun terhadap puluhan kasus rabies anak anjing dan anjing dewasa disimpulkan, siklus rabies terjadi di kelompok A. Kelompok ini sulit ditangkap untuk divaksin, rawan tertular cacing, kutu, dan penyakit kelamin menular (transmissible veneral tumour).
Kehidupan anjing kelompok A sangat tidak sejahtera karena harus mencari makan sendiri dari sisa-sisa makanan rumah tangga, sisa makanan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, atau belas kasihan pencinta anjing. Andaikan bisa divaksin, kekebalan yang ditimbulkan tidak optimal karena sebagian besar menderita anemia akibat cacingan dan kutuan. Dalam kelompok A termasuk anjing yang dibuang pemilik karena macam-macam alasan.
Dari pengamatan 14 tahun terhadap puluhan kasus rabies anak anjing dan anjing dewasa disimpulkan, siklus rabies terjadi di kelompok A.
Kelompok A bisa menularkan rabies ke kelompok B yang belum divaksin. Kelompok B mempunyai tingkat kesejahteraan sedang, sebagian makanan di sediakan pemilik. Apabila pemilik terlambat atau kurang memberikan makanan, mereka akan berkeliaran di jalan mencari makan. Sayangnya hanya sebagian kelompok B bisa divaksin. Kelompok A dan B ini merupakan penular rabies ke orang.
Kelompok C sangat sejahtera, mendapat kasih sayang pemilik, divaksin, diberi obat cacing dan obat kutu secara teratur. Bahkan sering dibawa ke salon anjing untuk potong bulu, dimandikan dengan sampo khusus (medicated shampoo) dan diberi parfum. Beberapa anjing kecil sering diajak tidur bersama pemilik. Apabila pemilik bepergian, mereka dititipkan di tempat penitipan anjing. Tempat penitipan pun mengirimkan video ke pemilik anjing tiap hari. Lebih dari itu tersedia makanan khusus untuk anak anjing, anjing lansia, kelebihan berat badan, baru sembuh, penderita gangguan ginjal, diare, dan lain-lain. Beberapa anjing berbulu tebal disediakan ruang ber-AC. Kelompok C aman dari penularan rabies.
Pelajaran dari pembebasan rabies di Inggris (1902) dan Jepang (1950), dilakukan dengan eliminasi anjing jalanan, disertai peraturan ketat lalu lintas hewan penular rabies. Dari dalam negeri, pelajaran pembebasan rabies di Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, melalui vaksinasi bisa berhasil karena jumlah anjing jalanan sangat minim. Pulau Nusa Penida berhasil dibebaskan dari rabies (2011) melalui eliminasi anjing grup A hanya dalam beberapa hari meskipun ada yang mengkritik cara eliminasinya.
Dari beberapa pelajaran di atas, memutus rantai penularan rabies bisa dilakukan apabila anjing kelompok A dieliminasi secara manusiawi (euthanasia). Praktisi dokter hewan dengan senang hati mau membantu eliminasi karena memerlukan keahlian penyuntikan ke pembuluh darah (intra vena).
Sebenarnya penolakan eliminasi anjing pada masa lalu disebabkan penggunaan racun strychnine yang membuat anjing kesakitan sebelum mati. Pemerintah tampaknya trauma melakukan eliminasi anjing tidak bertuan, khawatir dituduh sebagai pelanggaran kesejahteraan hewan.
Sebagai informasi, Pemerintah Australia menyatakan perang terhadap kucing tidak bertuan karena jumlahnya jutaan, mengancam pelestarian satwa asli Australia: bandicoot, bilbies, numbat, quokka, quoll, dan lain-lain. Kucing bukan satwa asli Australia, dibawa dari Eropa sekitar 350 tahun lalu. Cukup lama pemerintah mencari cara eliminasi kucing tak bertuan secara manusiawi.
Baca juga: Kapan Indonesia Bebas Rabies?
Melalui penelitian, berhasil ditemukan bahan kimia eliminasi humanis: para amino propiophenone (PAPP), nama dagangnya ”Curiosity”. ”Curiosity” dikemas dalam bentuk umpan (bait) yang disukai kucing. Eliminasi juga menggunakan senjata api.
Apabila Australia berani mengambil keputusan eliminasi kucing tak bertuan untuk melindungi satwa asli, maka lebih bijaksana apabila kita mengeliminasi anjing tak bertuan karena mengancam jiwa manusia melalui rabies. Biarlah penyayang anjing merawat anjingnya dengan baik, memberi makanan cukup, dan melindungi mereka dari penyakit menular.
Perlu dilakukan pencatatan kepemilikan anjing sehingga jumlah mereka diketahui pasti. Anjing kelompok C tercatat rapi status kesehatan mereka dari lahir sampai tua di praktisi dokter hewan.
Soeharsono, Dokter Hewan; Praktisi Hewan Kecil di Bali