Pengisapan negara atau blok terhadap satu negara telah terbukti lewat kolonialisme. Pengisapan dengan aneka cara tetap terbuka di zaman modern.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
EUROPEAN UNION/OSCAR SIAGIAN
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell Fontelles bertemu dengan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, di Jakarta, 13 Juli 2023.
Belanda yang kini anggota Uni Eropa telah ”mengisap” ekonomi Indonesia ratusan tahun. UE berpotensi menjelma menjadi ”pengisap”. Pada Desember 2019, UE sudah mengenakan tarif tambahan terhadap produk minyak kelapa sawit dengan alasan produk ini dapat fasilitas subsidi.
Baja Indonesia juga terkena tarif. Diduga, UE melakukan itu sebagai penolakan atas langkah Indonesia yang sejak 2020 melarang ekspor bijih nikel demi hilirisasi. Ini penolakan pada ”hak pembangunan” negara berkembang yang dimungkinkan lewat peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
DOKUMENTASI WTO
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala dan Presiden FIFA Gianni Infantino menandatangani nota kesepahaman menjadikan perdagangan internasional serta sepak bola sebagai katalis pertumbuhan, inklusi sosial, dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), September 2022.
Indonesia juga menghadapi WTO yang tidak fair lewat pernyataan, ”Pelarangan ekspor bijih nikel dan hilirisasi tak sejalan dengan peraturan perdagangan global (Reuters, 12 Desember 2022). Indonesia merespons dengan mengajukan banding lewat Appellate Body. Persoalannya lembaga banding WTO itu sedang tidak berfungsi karena AS keluar sepihak dari WTO. Ada badan sengketa sementara yang dicoba dihidupkan tetapi AS menolak langkah ini (laporan WTO, 30 Mei 2023).
Di luar itu, UE tidak berhenti menekan. Terbaru, ekspor biodiesel Indonesia ke UE lewat China dan Inggris sedang diselidiki, apakah bertujuan menghindari tarif. Jauh sebelum itu, The European Food Safety Authority (EFSA) menyatakan minyak sawit berpotensi mengandung carcinogenic walau tidak merekomendasikan penghentian konsumsi (Reuters, 11 Januari 2017). AS tidak mengikuti EFSA.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petani sawit memindahkan sawit di lahan perkebunan di Desa Sukarami, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Februari 2019.
UE juga mencoba menghambat perdagangan produk terkait pertanian, pertambangan, dan upaya hilirasi di negara berkembang. Pada 17 Agustus 2023, Komisi UE mengadopsi peraturan yang dinamai Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Inti CBAM adalah membatasi perdagangan lintas batas produk-produk penyebab kebocoran kabon dalam proses produksinya. Produk yang terkena CBAM adalah kaolin, semen, pupuk, bijih besi, baja, aluminium, hidrogen, energi listrik, termasuk bocoran karbon saat hilirisasinya.
Pada Desember 2022, UE menyetujui peraturan baru yang disebut The EU Deforestation-free Regulation (EUDR). Inti aturan ini adalah melarang impor produk yang terkait dengan deforestasi. Baik CBAM dan EUDR tak senada dengan peraturan WTO, yang melarang aturan atau tarif tambahan hingga hambatan nontarif meski WTO membuka kekecualian.
”Pakar hukum perdagangan internasional seperti Joel Trachtman dari Tufts University ... telah menelaah area di mana CBAM dapat memicu pelanggaran WTO. Kesimpulan umumnya, CBAM adalah wilayah yang belum dipetakan,” demikian dituliskan Tori K Smith, Direktur International Economic Policy di American Action Forum, 8 Februari.
Aksi UE sepihak dan rentan diskriminatif demi eksistensi industrinya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berkata, UE bertindak mirip imperialis.