Politik ”Big Data” Dasar
Politik ”big data” dalam arena kekuasaan dan pengetahuan menjadi arena keberpihakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat serta menyelesaikan permasalahan mendasar yang terjadi di masyarakat.
Dalam buku How the Information Revolution is Transforming Our Lives, Brian Clegg mengabarkan bahwa mahadata atau big data dapat memberikan kebebasan dan kemerdekaan jika dikelola dengan baik. Big data dapat membuat politik murni demokratis dan keputusan politik lebih baik dalam membangun kehidupan masyarakat.
Clegg berikhtiar dengan pemanfaatan big data, pemangku kebijakan dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Kebijakan yang bersandar pada riset dengan pemanfaatan big data dapat melahirkan keputusan yang lebih adil. Data menjadi unsur fundamental pengembangan pengetahuan dan pijakan yang kuat untuk pengambilan keputusan.
Big data dapat digunakan menganalisis preferensi dan pandangan masyarakat secara luas sehingga keputusan politik yang diambil lebih tepat dan sesuai kebutuhan rakyat. Big data memungkinkan para pemimpin untuk lebih responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan warganya. Maka, penting bagi kita untuk memperlakukan data sebagai fakta yang hidup, bukan sekadar sekumpulan angka dan statistik yang dingin.
Baca juga: "Big Data" untuk Kesejahteraan
Data merupakan bentuk personifikasi angka jiwa manusia. Angka tersebut harus dipahami, dihargai, dan dipertanggungjawabkan dalam berbagai kebijakan politik. Wahono (2020) menegaskan bahwa data tidak boleh menyembunyikan fakta melalui angka agregat, seperti produk domestik bruto (PDB) berdasarkan per kapita, masih menyembunyikan banyak fakta karena perbedaan antara kaya dan miskin disatukan dalam angka rata-rata. Begitupun pengukuran angka ketimpangan, kemiskinan, dan angka tengkes (stunting) yang hanya disajikan dalam jumlah dan persentase. Kondisi ini pada dasarnya menyembunyikan fakta-fakta di balik angka tersebut.
Ketidaklogisan data
Ketika lembaga negara dan wali data tidak menyajikan data yang lengkap dan terperinci, pada prinsipnya menjadi masalah politik data. Data digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan tertentu dalam melayani pemangku kebijakan. Analisis data sebagai bagian dari konfigurasi ulang serangkaian arena kekuasaan dan pengetahuan dalam akumulasi data publik dan pribadi.
Politik data digunakan untuk melegitimasi berbagai keberhasilan capaian pembangunan. Politik data tersebut dapat dipotret dari hasil sensus penduduk tahun 2020, pembaruan data Sustainable Development Goals (SDGs) Desa tahun 2020 dan pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) tahun 2023 yang harusnya menghasilkan big data dasar.
Sayangnya, data yang dihasilkan dalam pendataan tersebut tidak koheren, ini ditemukan dari perbandingan analisis hasil pendataan Badan Pusat statistik (BPS) Indonesia tahun 2020 dengan Data Desa Presisi (DDP). BPS merilis piramida penduduk Indonesia berbentuk stasioner, yang menunjukkan keseimbangan pertumbuhan penduduk antara tingkat usia produktif lebih besar dibandingkan dengan tidak produktif.
Konsekuensi dari perbedaan agregat antara data makro dan data mikro berimplikasi pada kesalahan dalam merumuskan kebijakan publik dalam skala nasional.
Hal ini sangat kontras dengan hasil pendataan DDP tahun 2021 di 15 Desa, Kabupaten Gianyar, ditemukan bentuk piramida penduduk konstruktif, penduduk usia tua lebih dominan daripada usia produktif. Hal ini berbeda juga dari hasil pendataan DDP 113 desa di Sulawesi Barat, ditemukan bentuk piramida penduduk ekspansif, penduduk usia muda lebih dominan dari pada usia produktif.
Hasil agregasi skala nasional menyembunyikan banyak fakta di tingkat desa. Konsekuensi dari perbedaan agregat antara data makro dan data mikro berimplikasi pada kesalahan dalam merumuskan kebijakan publik dalam skala nasional. Akhirnya, data yang dikumpulkan di tingkat desa tidak dimanfaatkan secara optimal.
Ketidaklogisan (incoherent) data dengan pengukuran pencapaian pembangunan berimplikasi kepada kesalahan intervensi kebijakan. Hal disebabkan oleh penggunaan metode dan indikator yang berbeda terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Serta, pengukuran pencapaian pembangunan berbeda di setiap tingkatan pemerintah desa, daerah, dan pemerintah pusat.
Baca juga: Menilik Kualitas "Big Data"
Di tingkat desa, pengukuran capaian pembangunan menggunakan Indeks Desa Membangun (IDM) yang mengukur tiga dimensi, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang sumber datanya dari pembaharuan data SDGs Desa. Pengukuran ini berbeda dengan pengukuran capaian pembangunan pemerintah daerah yang menggunakan Indeks Kinerja Utama (IKU) yang menggunakan enam indikator layanan dasar yang terdiri dari pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penata ruang, perumahan rakyat dan pemukiman, ketenteraman dan ketertiban umum, serta perlindungan masyarakat, dan sosial.
Kemudian, sumber data yang digunakan berbasis pada data sektoral. Sama hal dengan pemerintah pusat pengukuran capaian keberhasilan kebijakan pembangunan menggunakan data sektoral, yang tidak mencerminkan kondisi utuh permasalahan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Politik data dasar
Big data dasar memiliki potensi besar untuk memengaruhi kebijakan publik, alokasi sumber daya, dan keputusan-keputusan penting dalam pemerintahan. Kumpulan data yang sangat besar dapat dianalisis secara komputasi. Data dasar berupa informasi identitas diperoleh dari kemampuan pengumpulan data yang semakin canggih di internet, jejaring sosial, internet of things (IoT), kecerdasan buatan (AI), sensor, dan sensus. Big data dasar dapat membantu mengurangi risiko kekeliruan penyusunan kebijakan publik.
Di sinilah urgensi politik big data dasar, yang tidak hanya berkaitan dengan pertarungan politik seputar pengumpulan dan pemanfaatan data. Politik data dasar sebagai ”arena kekuasaan dan pengetahuan” yang belum menemukan subyeknya (Beraldo dan Milan 2019). Artinya, data sebagai mediator memainkan peran sentral, baik sebagai repertoar tindakan atau sebagai obyek perjuangan.
Praktik politik big data dasar hanya dapat dilakukan lembaga negara penyedia atau wali data, yang bisa mengumpulkan data dasar.
Politik big data dasar dalam penyusunan kebijakan publik suatu keharusan dipertanggungjawabkan secara etis. Ketika data dipertanggungjawabkan dengan baik, kita dapat menghindari manipulasi informasi atau pemalsuan fakta yang merugikan masyarakat. Politik big data dasar memiliki kekuatan performatif untuk memperkuat kebijakan publik. Namun, big data dasar bisa menjadi generatif dari hubungan kekuasaan pada skala yang berbeda dan saling terkait untuk kepentingan tertentu.
Praktik politik big data dasar hanya dapat dilakukan lembaga negara penyedia atau wali data, yang bisa mengumpulkan data dasar. Namun, hasil analisis data dasar tersebut hanya berupa data agregat yang tidak dapat ditelusuri, dikonfirmasi, dan ditampilkan berdasarkan nama, alamat, dan titik koordinat.
Akibatnya, data tersebut hanya memberikan informasi asimetris yang merugikan pihak pengambil kebijakan dengan tingkat akuntabilitas yang rendah. Pengambilan keputusan politik berdasarkan data agregat dapat menyebabkan ketidakefektifan dan ketidakadilan dalam implementasinya. Ini terjadi karena data agregat mungkin tidak mencerminkan kebutuhan dan kondisi aktual individu atau kelompok tertentu yang mungkin mengalami situasi yang berbeda.
Baca juga: ”Big Data” Bukan Segalanya
Butuh data desa presisi
Solusi dari data yang tidak koheren untuk pengukuran pencapaian pembangunan di tingkatan pemerintahan adalah intervensi politik data dengan mengadopsi sistem pendataan Data Desa Presisi. Pendataan tersebut menyediakan big data dasar yang mengintegrasikan berbagai pendekatan spasial, sensus, digital, dan partisipatif (Sjaf 2022). Big data dasar tersebut sebagai fakta yang mencerminkan kehidupan di setiap angka tersaji.
Maka, politik big data dalam arena kekuasaan dan pengetahuan menjadi arena keberpihakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, serta, menyelesaikan permasalahan mendasar yang terjadi di masyarakat. Sebab, analisis big data dasar dapat dikonfigurasikan dengan basis intervensi kebutuhan rumah tangga berdasarkan nama, alamat, dan koordinat. Dengan memanfaatkan big data dasar, dapat dilakukan transformasi kebijakan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Sampean, Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University, Pegiat Data Desa Presisi IPB University