Terjadi lima perubahan signifikan dalam hubungan antara pemain-pemain kunci di Timur Tengah. Perubahan itu sangat berdampak atas terbentuknya paradigma baru terkait situasi di kawasan Timur Tengah.
Oleh
Musthafa Abd Rahman
·4 menit baca
Dalam tiga tahun terakhir ini, setidaknya terjadi lima perubahan signifikan dalam hubungan antara pemain-pemain kunci di Timur Tengah yang sangat berdampak atas terbentuknya paradigma baru terkait situasi di kawasan tersebut.
Kelima perubahan besar tersebut adalah pertama, normalisasi hubungan Arab-Israel lewat kesepakatan Abraham (Abraham Accord) pada tahun 2020. Kesepakatan Abraham itu yang dimediasi AS adalah antara Israel-Uni Emirat Arab (UEA), Israel-Bahrain, Israel-Maroko dan Israel-Sudan.
Kedua, normalisasi hubungan Arab-Turki, yakni persisnya Arab Saudi-Turki dan UEA-Turki. Adapun hubungan Mesir-Turki masih terus dalam proses menuju normalisasi. Ketiga, rekonsiliasi Arab Teluk dalam forum KTT Dewan Kerja sama Teluk (GCC) di kota Al Ula – Arab Saudi pada Januari 2021.
Keempat. normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi pada bulan Maret lalu dengan mediasi China. Kelima, normalisasi hubungan Arab-Suriah dalam KTT Liga Arab di Jeddah-Arab Saudi pada bulan Mei lalu. KTT Liga Arab tersebut, untuk pertama kalinya dihadiri Presiden Suriah Bashar Al Assad yang absen dalam forum KTT Liga Arab sejak tahun 2011.
Kelima perubahan besar tersebut membawa dampak positif yang luar biasa dan berandil atas terciptanya situasi yang lebih damai, harmonis dan aman di Timur Tengah. Sebelum terjadi lima perubahan besar itu, Timur Tengah menyaksikan persaingan, pertarungan dan bahkan perang proksi antara pemain-pemain kunci tersebut.
Iran-Arab Saudi
Ada dua dari kelima perubahan besar itu yang paling besar pengaruh dan dampak positifnya, yaitu normalisasi Arab Teluk dan normalisasi Arab-Turki. Adapun normalisasi Arab-Israel lewat kesepakatan Abraham relatif tidak terlihat pengaruhnya, khususnya atas perkembangan isu Palestina dan hubungan bilateral antara Israel dan negara Arab yang terlibat normalisasi hubungan dengan Israel, kecuali hubungan UEA-Israel.
Normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi masih sangat ditunggu dampak positifnya, khususnya kerja sama Iran-Arab Saudi dalam menciptakan stabilitas di kawasan Teluk Persia. Situasi tegang di kawasan Teluk Persia terakhir ini menyusul aksi saling mobilisasi militer antara AS dan Iran, menunjukkan normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi belum memberi dampak yang diharapkan atas semakin terciptanya stabilitas dan keamanan di kawasan Teluk Persia.
Meski demikian, normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi merupakan peristiwa besar yang sangat positif bagi kawasan Timur Tengah. Normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi itu cukup berandil atas terciptanya situasi status quo di Yaman atau semacam gencatan senjata, meskipun masih belum tercapai solusi politik. Mencapai gencatan senjata di Yaman ternyata jauh lebih mudah dari pada mencapai solusi politik.
Sedangkan normalisasi Arab-Suriah memang diprediksi hanya berdampak positif sebatas hubungan bilateral Suriah dan negara-negara Arab lainnya, tapi tidak ada pengaruh apa-apa atas situasi kawasan.
Tentu yang paling diuntungkan dari normalisasi hubungan Arab-Suriah itu adalah rezim Presiden Bashar al Assad di Damaskus. Presiden Al Assad semakin mendapat legitimasi regional untuk terus bertahan sebagai presiden Suriah dan posisinya kian kuat dalam menghadapi kubu oposisi di Suriah.
Meski demikian, normalisasi hubungan Arab-Suriah belum terlihat akan berdampak pada tercapainya kesepakatan solusi politik secara komprehensif di Suriah. Isu Suriah sudah terlalu kompleks dan sudah jauh berada di atas kapasitas dunia Arab. Kekuatan internasional, seperti AS dan Rusia, serta kekuatan regional non-Arab, seperti Turki dan Iran, sudah terlalu kuat pengaruhnya di Suriah. Pengaruh dunia Arab sendiri malah terlihat lemah di Suriah.
Namun dampak isu normalisasi Arab Teluk dan Arab-Turki jauh lebih besar dalam konteks regional maupun internasional. Pasca tercapainya kesepakatan rekonsiliasi antara Qatar di satu pihak dan Arab Saudi, UEA, Bahrain plus Mesir dipihak lain, dalam forum KTT Dewan Kerja sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, maka segera turut tercipta situasi yang kondusif di tubuh organisasi GCC.
Dampak dari terjadinya rekonsiliasi ditubuh GCC itu, maka segera terjadi rekonsiliasi antara Turki di satu pihak dan Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir (kuartet Arab) dipihak lain. Rekonsiliasi kuartet Arab-Turki itu, segera pula memberi dampak positif di Libya.
Seperti diketahui, Turki berada di belakang pemerintah Tripoli atau Libya Barat dan UEA-Mesir mendukung pemerintah Benghazi atau Libya Timur. Meski belum tercapai kesepakatan politik komprehensif di Libya, namun minimal tercapai semacam kesepahaman gencatan senjata antara Tripoli dan Benghazi.
Lima perubahan besar di Timur Tengah itu, khususnya terkait isu rekonsiliasi Arab Teluk dan Arab-Turki, diharapkan melahirkan ekosistem baru yang kokoh dan dihormati oleh semua pihak. Memang harus diakui untuk mencapai ekosistem baru di Timur Tengah yang memberi harapan terwujudnya perdamaian, keamanan, stabilitas dan harmonisasi, masih sulit selama isu konflik Israel-Palestina dan isu nuklir Iran belum ada titik terang solusi yang bisa diterima oleh semua pihak.
Karena itu, selama isu konflik Israel-Palestina dan isu nuklir Iran masih menggantung, maka selama itu pula Kawasan Timur Tengah tidak seperti Kawasan lain yang lebih menikmati perdamaian, keamanan dan kemakmuran.*