AS dan China seharusnya rujuk. Jika tidak, biayanya secara ekonomi besar dan merugikan kedua negara. Dunia turut terkena imbas, terutama korporasi global.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pengenaan tarif oleh Amerika Serikat atas impor China merugikan konsumen AS. Tarif telah memaksa China merelokasi sebagian industrinya ke negara yang bebas tarif AS, termasuk Meksiko. Relokasi ini merugikan pekerja di China.
Sanksi lain, khususnya hambatan yang dikenakan AS atas pemasaran cip ke China, telah memunculkan keluhan korporasi. Korporasi AS terhambat menjual di pasar China yang begitu besar dan berpotensi menyurutkan ide-ide Silicon Valley.
ASEAN yang menjadi bagian pola manufaktur China akan turut terpengaruh walau di sisi lain negara seperti Vietnam telah ketiban relokasi industri China untuk tujuan pasar AS.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyuarakan deeskalasi dan menolak decoupling ekonomi dengan China. Hal serupa dinyatakan Presiden Komisi Uni Eropa (UE) Ursula von der Leyen. UE tidak berniat mendukung decoupling.
Meskipun demikian, Stephen Roach, peneliti dari Paul Tsai China Center Yale Law School, seperti diberitakan Reuters, 8 Agustus lalu, mengatakan, ada indikasi decoupling antara AS dan China. Perang ekonomi AS-China turut berpotensi menurunkan perekonomian dunia serta mengimbas negara eksportir di Asia, seperti Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan.
Pemerintahan AS, di bawah Joe Biden, berupaya mencegah decoupling ekonomi, diterjemahkan dengan kunjungan Yellen ke China, 8 Juli lalu. Namun, upaya pencegahan decoupling berlangsung setengah hati.
Kementerian Keuangan China, 14 Juli 2023, meminta AS terlebih dulu mencabut sanksi ekonomi agar relasi ekonomi kedua negara berjalan lebih lancar. Yellen menjawab, upaya pencegahan decoupling tidak berarti sanksi dicabut segera. Alasannya, China masih menjalankan praktik dagang tidak fair, alasan yang pernah menimpa Jepang dekade 1980-an.
Kedua negara ini sulit rujuk. Biden konstan meminta China melepas dukungan pada Rusia yang menginvasi Ukraina. China juga menegaskan relasi China-Rusia sangat solid.
Di atas semua itu, China dan AS adalah dua kekuatan geopolitik yang tertakdir bentrok. Upaya menjatuhkan keduanya setidaknya secara verbal sulit diakhiri.
Ada efek buruk perseteruan ini, termasuk bagi ASEAN, hingga urusan non-ekonomi, seperti sedang menimpa Filipina secara militer. Meski demikian, untuk urusan ekonomi, perseteruan dua kekuatan geopolitik ini tidak akan menjatuhkan perekonomian global dalam jangka panjang.
Era Asia dipimpin China menjadikan Asia sebagai pasar sekaligus pelaku industri. Hanya saja, untuk sementara waktu korporasi global akan menghadapi sedikit kekacauan sebelum menemukan keseimbangan. Lembaga konsultan global E&Y, 13 Juni 2022, menyimpulkan korporasi global sedang melakukan penyesuaian terhadap tantangan yang ada agar tetap menjangkau konsumen, termasuk konsumen Asia.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO