Ucapan yang bernada penghinaan kepada pejabat negara sering kali berujung di permintaan maaf. Negara janganlah berlaku permisif terhadap perilaku-perilaku tak beradab dan destruktif terhadap moral bangsa ini.
Oleh
ALBINER SIAGIAN
·3 menit baca
Dalam banyak hal, wibawa itu, apalagi wibawa suatu negara atau bangsa, cenderung berseberangan dengan permisivitas. Maksudnya, permisivitas suatu bangsa cenderung melemah di mata rakyatnya ketika bangsa itu berlaku permisif. Berlaku permisif terhadap tindakan yang mengabaikan kepantasan dan kepatutan umum adalah contohnya.
Bayangkan saja, pada masa pandemi Covid-19 yang lalu, ada orang yang berbulan-bulan bebas berkeliaran sambil ”menghalo-halokan” bahwa Covid-19 adalah isapan jempol belaka. Menurut dia, Covid-19 itu tidak ada. Padahal, pada saat yang bersamaan, ribuan warga negara kehilangan nyawanya karena Covid-19. Ribuan orang kehilangan suami, istri, anak, orangtua, atau saudara yang mereka kasihi.
Lalu, ada orang yang mengaku berjabatan profesor dan bergelar doktor menemukan obat Covid-19. Tak tanggung-tanggung, dia mengaku obat racikannya dapat mencegah dan mengobati Covid-19, suatu kombinasi obat yang sulit ditemukan di kolong langit ini. Hebatnya lagi, dia mengaku bahwa obatnya telah menyembuhkan ribuan penderita Covid-19 di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Seperti bisanya, negara tidak melakukan tindakan apa-apa terhadapnya.
Akhir-akhir ini, ramai diberitakan di berbagai media perihal tuduhan penghinaan kepada presiden oleh seorang tokoh publik yang juga dikenal sebagai ahli filsafat. Dia berdalih itu adalah kritik kepada presiden. Seperti biasanya, pro dan kontra terhadapnya selalu saja ada. Padahal, menurut pemahaman umum, penyampaian kritik yang baik tak harus disertai oleh kata-kata yang tidak pantas. Jangankan kepada seorang presiden, kepada masyarakat umum pun itu sangat tidak pantas.
Ucapan bernada menghina sudah sering dialamatkan kepada presiden, baik sebagai kepala negara maupun sebagai pribadi dan keluarganya. Hal yang sama terjadi kepada pejabat lainnya. Kembali, persoalan itu berujung di permintaan maaf. Kita menjadi bangsa yang amat pemaaf dan permisif terhadap hal-hal yang secara etika dan etiket sangat tidak pantas.
Dalam hal relasi antarmanusia, kita membanggakan diri sebagai bangsa yang beradab, beradat, bermartabat, beretika, dan beretiket. Juga, kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi sopan santun. Tampaknya, saat ini, itu hanyalah pepesan kosong. Dalam banyak hal, bangsa ini seolah-olah berada di zaman keniradaban.
Budaya yang beradab
Ketika seorang siswa bertanya kepada Margaret Mead, seorang antropolog terkenal dari Amerika Serikat, perihal apa yang dianggapnya sebagai tanda-tanda pertama peradaban budaya, Margaret Mead menjawab: ”Tulang paha yang telah sembuh.” Mendengar jawaban itu, siswa itu bingung. Lalu, Margaret Mead menjelaskan sebagai berikut.
Ketika hewan mengalami cedera patah tulang paha, itu adalah pertanda kiamat baginya. Dia hanyalah seonggok daging yang menunggu dimangsa hewan lain. Terlalu lama baginya untuk menyembuhkannya sehingga dia tidak memiliki kesempatan lepas dari hewan pemangsa. Di dunia kebinatangan, kalau Anda mengalami hal serupa, tetapi Anda bisa sembuh, itu berarti Anda memiliki kesempatan bertemu dengan orang lain untuk menolongmu untuk menyembuhkan tulang pahamu yang patah itu. Itulah tanda-tanda awal peradaban budaya.
Budaya yang beradab adalah yang melaluinya manusia pemilik budaya itu saling menolong dan saling menghormati.
Secara implisit, maksud dari pernyataan Margaret Mead itu adalah orang atau budaya yang beradab adalah ketika manusia telah melakukan upaya-upaya saling menolong antarsesamanya. Juga, itu bermakna bahwa budaya yang beradab adalah yang melaluinya manusia pemilik budaya itu saling menolong dan saling menghormati. Tepatnya, mereka sudah mulai meninggalkan tabiat kebinatangannya dan menggantinya menjadi perilaku kemanusiaan. Oleh karena itu, ucapan-ucapan bernada kebinatangan terhadap sesamanya tentulah tak ada lagi di kamus orang beradab.
Dalam mengkritisi seseorang apalagi seorang presiden, misalnya, saya sangat yakin bahwa kritik yang disampaikan dengan kata-kata kasar bukanlah kritik yang sebenarnya. Itu adalah ungkapan kebencian yang dibungkus oleh kritik. Pengkritik merasa bahwa sensasi kebenciannya akan terlampiaskan pada kritiknya itu. Dan, itu adalah rupa kesesatan beragumentasi. Di pihak lain, bagi yang dikritik, hal itu justru memunculkan perlawanan. Karena itu, alih-alih menerima kritik sebagai masukan untuk perbaikan, mereka justru menganggapnya sebagai ancaman. Dan, itu adalah respons manusiawi.
Sebelum terlambat, marilah kita sebagai bangsa yang beradab meninggalkan perilaku-perilaku primitif, destruktif, dan kontraproduktif itu. Kita jangan mempertontonkannya kepada generasi muda kita. Para guru telah bersusah paya mengajari mereka pendidikan akhlak, moral, dan budi pekerti. Akan tetapi, itu kita berangus dalam sekejap mata.
Kepada pengelola media juga diharapkan agar mengambil bagian bagi pemeliharaan keadaban bangsa ini, jangan justru membentangkan karpet merah bagi tabiat tak beradab itu. Di pihak lain, negara janganlah berlaku permisif terhadap perilaku-perilaku tak beradab dan destruktif terhadap moral bangsa ini. Wibawa bangsa dan negara harus tetap dijunjung.