Akhir Tragis Upaya Memperjuangkan Hak di Antariksa?
Akankah upaya Indonesia memperjuangkan hak-haknya di antariksa berakhir tragis? Jika pemerintah dan DPR tetap tutup mata, maka visi Indonesia Emas 2045 dan Bonus Demografi 2025-2035 pun akan bergulir tanpa makna.
Penegasan Presiden Joko Widodo tentang Visi Indonesia Emas 2045 dan Bonus Demografi 2025-2035 dalam berbagai kesempatan membuat penulis kagum tetapi sekaligus gundah.
Kagum karena meski sudah di ujung masa jabatan sebagai presiden, beliau tetap gigih menyiapkan jalan untuk membangun Industri 4.0, menyongsong seabad kemerdekaan RI.
Baginya, peluang menjadikan Indonesia sebagai negara maju terbuka dengan adanya Bonus Demografi 2025-2035. Pada rentang waktu tersebut Indonesia akan memiliki penduduk usia produktif sebesar 68,3 persen, terbanyak sepanjang masa. Mereka bisa diberdayakan untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.
Kebijakan ”blunder”
Namun, di tengah optimisme tersebut ada kegundahan yang harus penulis sampaikan, yakni tentang dampak keputusan pemerintah membubarkan Depanri (Dewan Penerbangan dan Antariksa RI) dan lembaga penelitian non-kementerian pada 2022, termasuk di antaranya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Sebagai Kepala Lapan tahun 2008-2010, saya menilai keputusan ini sebagai blunder.
Masalahnya, di satu sisi kita ingin mengejar Visi Indonesia Emas dan memajukan negeri. Namun, di sisi lain, ratusan bahkan mungkin ribuan peneliti yang diharapkan bisa memberi kontribusi lewat pemikirannya justru dimarjinalkan lalu diberi seragam baru dalam wadah bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sebagai orang yang pernah memperdalam iptek di bidang rekayasa satelit di Amerika Serikat, saya pesimistis era Industri 4.0 bisa tercapai tanpa optimalisasi jajaran peneliti yang telah terlatih memecahkan berbagai masalah, menelurkan inovasi, dan menjadi penopang modernisasi.
Di balik sejarah kemunculan berbagai negara maju, selalu ada militansi kaum ilmuwan serta peneliti yang ikut memuluskan jalan menuju kebangkitan perekonomian dan industri seperti yang telah ditargetkan dalam tujuan nasional. Mereka juga memberikan pemikiran-pemikiran baru.
Hemat penulis, menguasai iptek dan membangun kemandirian memang terkesan mahal dan tidak langsung beri kontribusi pada kemakmuran serta kesejahteraan bangsa. Tak heran hampir semua negara maju mengawalinya dengan tentangan bahkan penolakan di kongres atau lembaga tinggi negara serupa DPR. Itu karena anggaran yang diperlukan pasti besar, sementara risiko kegagalannya tidaklah kecil.
Di balik sejarah kemunculan berbagai negara maju, selalu ada militansi kaum ilmuwan serta peneliti yang ikut memuluskan jalan menuju kebangkitan perekonomian dan industri seperti yang telah ditargetkan dalam tujuan nasional.
Namun, penguasaan iptek sering menelurkan teknologi spin-off. Teknologi spin-off adalah semacam inovasi yang muncul di perjalanan, yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan industri dan penyempurnaan kualitas produk. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa adalah negara-negara yang paling banyak menangguk nilai tambah berkat teknologi spin-off.
Dari dokumen yang diterbitkan NASA (Badan Penerbangan dan Antariksa AS) pada 2016, tercatat lebih dari 2000 spin-off muncul dalam perjalanan penguasaan iptek keantariksaan. Pernak-pernik yang menghidupkan industri kecil-besar ini meliputi teknologi komputer, pengayaan lingkungan hidup dan pertanian, obat-obatan dan alat bantu kesehatan, perangkat penyelamat, hingga robot yang untuk meningkatkan produktivitas industri.
Jika sekarang banyak orang terbantu dengan aplikasi share-loc di telepon seluler, ini juga bagian dari teknologi spin-off.
Berkat komersialisasi sinyal jaringan satelit GPS (global positioning system) yang semula hanya digunakan untuk kepentingan militer, kini AS menangguk tambahan pendapatan jutaan dollar AS, malah mungkin miliaran dollar AS per tahun.
Kemasan makanan kedap udara dan material teflon yang belakangan lazim melapisi penggorengan serta alat masak lain, juga berasal dari buah pikiran insinyur keantariksaan.
Inovasi-inovasi yang semula untuk keperluan astronot di ruang angkasa ini selanjutnya diaplikasikan jadi peralatan rumah tangga. Teknologi spin-off yang semula hanya digunakan sebagai penunjang ini pun membuka peluang industri baru dan menyerap jutaan tenaga kerja.
Iptek keantariksaan
Awal sejarah penguasaan iptek keantariksaan sendiri tak lepas dari ketegangan di masa Perang Dingin, antara AS, Uni Soviet, dan sekutunya. Sebagian dari surplus roket peluncur bom berkekuatan tinggi coba digunakan untuk mengirim muatan ke ruang angkasa.
Dimulai dengan peluncuran satelit artifisial Sputnik dengan roket peluncur ICBM R-7 pada 1957, Uni Soviet kemudian coba menggunakannya untuk melontarkan manusia ke ruang angkasa. Dan ternyata bisa!
Keberhasilan mengirim Yuri Gagarin ke ruang angkasa pada 1961 selanjutnya menggiring pemanfaatan iptek keantariksaan ke perbatasan terakhir pengembaraan manusia (the last frontier), yakni angkasa luar.
Delapan tahun kemudian, AS mengunggulinya dengan perjalanan lebih gila, yakni mendaratkan Neil Amstrong dan Edwin Aldrin ke bulan pada 1969.
Pengiriman wahana dan manusia ke langit rupanya melahirkan harapan baru dan eksploitasi ruang angkasa pun berlanjut. Setelah diisi berbagai muatan militer, kedua negara akhirnya sepakat membangun kerja sama di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS).
Sejak tahun 2000 itu pula, laboratorium yang mengawang-awang di orbit rendah bumi ini dijejali riset-riset untuk tujuan damai dan terbuka untuk negara lain. Ibarat lagu grup band ABBA, ”The Winner Takes It All”, di perbatasan terakhir itu pula AS, Uni Soviet (kini Rusia), disusul Eropa, China, lalu India, meraih superioritas dan mendapatkan segalanya.
Indonesia sendiri telah mengawali upaya penguasaan iptek keantariksaan pada 1964, tak lama setelah AS dan Uni Soviet memulai. Bahkan, cuma setahun setelah Lapan berdiri, Indonesia telah berhasil meluncurkan roket Kartika I ke antariksa. Kartika I cukup menghebohkan dunia lantaran sebuah majalah di AS melaporkan, muatan telemetri dibawa mampu merekam sinyal satelit Tiros milik AS.
Keberhasilan tersebut menaikkan pamor Indonesia sebagai negara kedua di Asia-Afrika setelah Jepang yang mampu meluncurkan roket ilmiah buatan sendiri ke ruang angkasa. Keberanian Presiden Soekarno menggagas Konferensi Asia Afrika pada 1955 dan membangun angkatan perang yang cukup besar tak ayal menjadikan Indonesia negara yang disegani dalam percaturan dunia.
Sayang, pencapaian gemilang tersebut tak berlanjut. Pergantian rezim pemerintahan, perubahan haluan negara dan keinginan politik (political will) telah mengubah kepentingan nasional (national interest). Pemerintahan Orde Baru mengalihkan fokus ke bidang pertanian sebagai pilihan yang dipandang jauh lebih realistis untuk memberi kemakmuran dan menyejahterakan rakyat.
Indonesia sendiri telah mengawali upaya penguasaan iptek keantariksaan pada 1964, tak lama setelah AS dan Uni Soviet memulai. Bahkan, cuma setahun setelah Lapan berdiri, Indonesia telah berhasil meluncurkan roket Kartika I ke antariksa.
Baca juga: Soal Peroketan, Kita Kehilangan Momentum
Sampai di situ, jika boleh mengevaluasi, keberhasilan Kartika I dan perancangan roket-roket ilmiah berikutnya (RX-320, -450) yang tak pernah lagi menembus batas antariksa tidaklah lepas dari dukungan Depanri yang dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah No 241963, yang kemudian dipertegas dengan Keputusan Presiden No 99/1993 jo Keppres No 132/1998.
Peraturan-peraturan itu menempatkan Depanri sebagai forum tingkat tinggi yang bertugas membantu Presiden RI dalam perumusan kebijakan umum di bidang penerbangan dan antariksa, mulai dari memberi pertimbangan, pendapat, hingga saran terkait pengaturan dan pemanfaatan wilayah udara dan antariksa.
Itu artinya, segala hal yang dikerjakan Lapan harus senantiasa sesuai dengan kepentingan nasional. Tidak sekadar membuat roket ilmiah dan serial satelit mikro, tetapi juga harus dipastikan bahwa program riset tetap berjalan menuju arah pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Selain itu, Depanri juga menjadi kepanjangan tangan pemerintah yang terus memperjuangkan hak-hak Indonesia di ruang angkasa. Untuk itu selalu ada utusan dalam sidang tahunan UNCOPOUS di Vienna, Austria, yang di antaranya membahas pengaturan kegiatan keantariksaan yang adil dan berimbang di orbit geostasioner serta hal-hal terkait definisi-delimitasi antariksa.
Keadilan di antariksa
Keadilan di antariksa? Ya, itulah fakta yang harus kita sadari. Jadi, walau antariksa terkesan sunyi-sepi dan tak terbagi menjadi wilayah-wilayah teritorial, nyatanya memang riuh dengan berbagai upaya eksploitasi dari sejumlah negara.
Misalnya, untuk penempatan satelit komersial di slot orbit geostasioner. Indonesia sebagai negara yang membentang di bawah seperdelapan garis orbit geostasioner tentu harus peduli dengan upaya penjajahan model baru tersebut.
Maka, wajar bila sejak 2016 banyak negara, termasuk Indonesia, rajin mengikuti pertemuan internasional untuk membahas masalah-masalah terkait space-economy.
Baca juga: India Mencoba Mendarat Kembali di Bulan
Dengan demikian, membubarkan Lapan, juga Depari, serta memarjinalkan kegiatan penguasaan iptek keantariksaan sama artinya dengan menafikan cita-cita luhur para pendiri bangsa yang ingin menjadikan Indonesia maju dan berdaulat dalam arti luas, yakni di tanahnya sendiri, laut, maupun di ruang udara/antariksa di atasnya.
Pembubaran Depari dan Lapan praktis membuat sikap Indonesia terhadap kebijakan-kebijakan yang telah disepakati bersama dengan negara-negara lain menjadi tak jelas.
Ketidakjelasan sikap ini tentu sangat menguntungkan negara-negara maju yang sejak dulu ingin menjegal perjuangan negara-negara ”kolong”, yakni negara-negara ekuator yang seharusnya memiliki privilese atas kavling orbit geostasioner di atasnya.
Belum lagi jika dikaitkan dengan pasal ganti rugi yang tercantum dalam Space Treaty 1967. Indonesia tak lagi memiliki instrumen resmi untuk meminta pertanggungjawaban manakala misalnya ada rudal balistik antarbenua jatuh keluar jalur lalu menimpa pemukiman padat penduduk.
Akankah upaya Indonesia memperjuangkan hak-haknya di antariksa berakhir tragis? Jika pemerintah serta DPR tetap tutup mata, visi Indonesia Emas 2045 dan Bonus Demografi 2025-2035 pun akan bergulir tanpa makna.
Lebih jauh kita juga akan bersama-sama melihat sandyakalaning Nusantara.
Adi Sadewo Salatun, Kepala Lapan 2008-2010