Soal Peroketan, Kita Kehilangan Momentum
Melihat biaya peluncuran yang kian mahal, sementara kebutuhan peluncuran satelit makin meningkat, masuk akal jika Indonesia mengembangkan kemampuan peroketan dalam negeri. Butuh komitmen membangun program antariksa.
”Indonesia, dengan menggunakan sumber daya yang ada, mampu meluncurkan roket yang membawa satelitnya sendiri ke orbit. Pemerintah diharapkan memberi dukungan penuh bagi cita-cita itu.”
Alm Kisman Subandi, Perintis Peroketan
Indonesia (”Kompas”, 18/5/2009)
Ketika diminta menulis komentar tentang peluncuran program antariksa India, Chandraayan-3, dengan membawa wahana pendarat Vikram dan wahana penjelajah Pragyan, pertengahan Juli silam, tebersit perasaan masygul di hati.
India, negara berpenduduk 1,408 miliar jiwa yang belum bisa dikatakan makmur, dengan pelbagai masalah ekonomi-sosial, berhasil meluncurkan roket, mengirim wahana untuk mendarat di kutub selatan Bulan.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dicatat. Pertama, adanya tekad nasional yang kuat bahwa negara besar harus hadir di angkasa, menguasai teknologi peroketan, baik untuk meluncurkan satelit maupun meluncurkan persenjataan.
Kedua, antariksa—sebagaimana palung laut samudra—yang sering dipandang sebagai ”perbatasan terakhir” (the last frontier) harus dijangkau dan dimanfaatkan jika tidak ingin termarjinalkan, minimal terpepet dalam posisi kurang menguntungkan (disadvantage).
Keputusan India untuk memberi perhatian khusus terhadap teknologi antariksa mungkin masih dalam konsep masa lalu. Pertama, untuk merayakan daya ilahi atau kerajaan; kedua, mencari keuntungan; dan ketiga, perang.
Baca juga : Menyimak Visi Angkasa India
Peluncuran Sputnik 1, satelit buatan pertama, memicu AS dalam lomba angkasa. Setahun kemudian berdiri Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA). Beberapa tahun setelah itu, catat Neil deGrasse Tyson (Foregin Affairs, Maret/April 2012), Uni Soviet masih mengungguli AS, seperti dalam jalan di angkasa yang pertama, perempuan pertama di angkasa, pendirian stasiun angkasa pertama, dan tinggal terlama di angkasa.
Namun, AS seolah tak memedulikan itu. Adikuasa ini memilih mendaratkan manusia di Bulan dan memulangkan mereka dengan selamat sebagai sasaran terutama, seperti dicanangkan oleh Presiden John F Kennedy saat berpidato di sidang gabungan Kongres, Mei 1961.
Pidato Kennedy secara implisit juga merupakan respons atas keunggulan Soviet dan komunisme pada masa Perang Dingin. Namun, justru karena itu bangsa Amerika tergerak untuk mengucurkan dana. DeGrasse Tyson menegaskan, jika hanya untuk sekadar mendaratkan manusia di Bulan, mungkin malah tak seorang pun berniat menuliskan cek.
Persaingan mutakhir
Pada 2012, James Clay Moltz (Asias’s Space Race, Columbia University Press) juga menulis buku tentang lomba antariksa di Asia. Diulas program-program antariksa, tidak saja yang sudah kita kenali, seperti India, China, dan Jepang, tetapi juga Korea Selatan (Korsel).
Yang menarik, di bab terakhir (6), Moltz juga mencantumkan Indonesia, bersama Australia, Malaysia, Korea Utara (Korut), Pakistan, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam, sebagai negara yang mulai tampil (emerging) dalam kancah antariksa. Sementara kita tidak melihat perkembangan berarti di Malaysia, Filipina, dan negara kita sendiri, Moltz punya alasan mengapa ia mencantumkan negara-negara di atas.
Kalau Jepang, Korut, dan Korsel, kita tak ragu mengakuinya. Korut, khususnya, unggul dalam peroketan militer. Negara itu juga membuktikan diri dalam peluncuran satelit.
Jepang sempat mengalami kegagalan dalam uji coba mesin roket H3 karena kegagalan mesin roket Epsilon S, yang sebelumnya sudah berhasil dalam lima kali peluncuran (Phys.org, 14/7/2023).
Sementara itu, roket Korsel, Nuri, sukses dalam peluncuran delapan satelit ke orbit pada 2 Mei 2023. KSLV-II Nuri merupakan roket hasil rancangan dalam negeri (Space.com, 26/5/2023).
Ketika Washington dan Seoul bekerja sama memperkuat persekutuan mereka, Korut merespons dengan meluncurkan sejumlah rudal, termasuk rudal jelajah strategis, rudal jarak pendek, dan sejumlah rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-18 (Nytimes.com, 24/7/2023).
Australia sebenarnya punya berbagai sumber daya, seperti daratan yang luas dan akses ke teknologi karena kedekatan dengan AS dan Inggris. Namun, setidaknya hingga 2009, negara ini tak memperlihatkan ketertarikan khusus pada program ruang angkasa. Baru di tahun itu ia mulai menata kembali organisasi keantariksaan, perencanaan, dan pengembangan kemampuan, baik mandiri maupun bekerja sama dengan mitra luar (Moltz, 160).
Indonesia melalui program satelit komunikasi domestik Palapa yang dimulai pada 1976 sebenarnya punya momentum bagus untuk mengembangkan potensi keantariksaannya.
Peroketan Indonesia
Indonesia melalui program satelit komunikasi domestik Palapa yang dimulai pada 1976 sebenarnya punya momentum bagus untuk mengembangkan potensi keantariksaannya. Selain komunikasi domestik, program antariksa Indonesia ditandai dengan pemanfaatan data satelit Landsat, yang stasiun buminya dibangun kerja sama dengan AS pada 1981. Pemanfaatan teknologi satelit Indonesia juga diperkuat oleh kerja sama dengan Perancis untuk memanfaatkan data satelit SPOT.
Namun, satelit-satelit yang dimanfaatkan Indonesia itu diluncurkan roket asing. Sebelumnya, kita mengandalkan roket Delta AS, juga pesawat ulang alik AS, tetapi lalu beralih ke Ariane Perancis dan akhirnya roket Long March China.
Melihat biaya peluncuran yang kian mahal, sementara kebutuhan peluncuran satelit makin meningkat, masuk akal jika Indonesia berkeinginan mengembangkan kemampuan peroketan dalam negeri. Dalam hal ini, peranan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan, sebelum era BRIN) perlu kita kenang, dengan pusat peluncuran di pantai selatan Pameungpeuk, Garut.
Fasilitas yang dulu dikenal dengan nama Staspro (Stasiun Peluncuran Roket) sudah berdiri sejak 1963. Kegiatan awalnya adalah meluncurkan roket ilmiah. Sementara itu, balonsonde juga diluncurkan untuk menyelidiki susunan atmosfer, dalam hal ini ke stratosfer hingga ketinggian 30 kilometer. Selain roket buatan Amerika MSS, ada juga roket buatan Rumpin, sekitar Jakarta, yang disebut Romet (Roket Meteo).
Saat penulis meninjau fasilitas ini pada akhir 1981 (Kompas, 26/12/1981), tampak pula roket Kappa buatan Jepang. Jika Romet panjangnya 1,3 meter, roket Kappa panjangnya 11 meter dengan roket pendorong seberat 1.165 kilogram (kg).
Sesungguhnya, Romet dan Kappa adalah cikal bakal peroketan modern Indonesia. Di tahun-tahun berikutnya, kita juga mengembangkan program peroketan hingga ke seri RX-150 dan 300. Sayang program ini berlangsung tak konsisten. Ada kalanya peroketan menonjol, terkadang penginderaan jauh menggantikan.
Kemampuan domestik yang patut dicatat adalah ketika Lapan berhasil meluncurkan roket RX-320 (angka memperlihatkan ukuran garis tengah selongsong roket), roket berbobot 500 kg. Masih bisa dipertanyakan, apakah dengan rekam jejak yang ada BRIN bisa menguatkan diri untuk mampu meluncurkan satelit mikro sekalipun ke orbit rendah.
SDM mungkin jadi satu kendala, demikian pula teknologi. Namun, yang lebih perlu ada adalah pemimpin yang visioner. Untuk pengembangan roket jarak jauh boleh jadi kesempatan telah tertutup, kecuali kita menjadi negara ”bengal” (rouge) seperti Korut. Ini karena sejak 1987, AS dan negara maju menegakkan rezim pengekangan yang dinamai Missile Technology Control Regime.
Akhir 1987, dengan program peroketan yang dijalankan lembaga kajian IISS London, Indonesia dilaporkan tengah mengembangkan rudal jarak sedang untuk masa depan pasca-era Bumi.
Prakarsa di atas tak mengherankan, mengingat teknologi peroketan bersifat ganda (dual-use). Ia bisa digunakan untuk meluncurkan satelit komunikasi dan bisa dimodifikasi menjadi rudal balistik.
Baca juga : Saatnya Melirik Teknologi Luar Angkasa
Jangka dekat dan jangka jauh
Jika ada komitmen, Indonesia bisa mendesain program peroketan, mulai dari jangka dekat hingga jangka jauh. Pada era Perancis sudah mengembangkan roket Ariane generasi keenam, yang peluncuran pertama dijadwalkan kuartal IV-2023, program apa pun yang kita laksanakan tentu teramat mikro dibandingkan Ariane. Namun, tradisi yang diwakili Kappa dan RX tak boleh kita tinggalkan.
Jika ada kendala dalam rekayasa, kita pernah punya pengalaman kesepakatan dengan China. Saat itu disepakati RI akan membeli roket China asalkan China setuju alih teknologi sehingga peneliti Indonesia bisa membongkar dan mempelajari roket itu (Kompas, 1/6/2005).
Pertama-tama, kita belum berwacana tentang Indonesia sebagai space-faring nation karena untuk menjadi sea-faring nation yang banyak digaungkan melalui slogan tol maritim saja masih belum sepenuhnya kita jalankan. Akan tetapi, peroketan kita butuhkan untuk peluncuran satelit-satelit yang akan membantu kita dalam komunikasi, transportasi, dan pengelolaan sumber daya alam. Kemampuan peroketan juga bisa memberi kita bekal untuk menyongsong masa depan, yang paling jauh sekalipun.
Dalam jangka jauh, kita tak lupa dengan pesan mendiang fisikawan besar Stephen Hawking yang ia tuangkan dalam bukunya, The Universe in a Nutshell, bahwa masa depan manusia ada di koloni antariksa. Ini menyiratkan bahwa hanya bangsa yang punya visi maju tentang antariksa yang akan survive.
Semangat peroketan
Yang tak boleh dilupakan adalah menyemaikan benih cinta peroketan di kalangan generasi muda. Di masa lalu ada lomba roket untuk kalangan pelajar yang diprakarsai The Asia-Pacific Regional Agency bersama dengan Pusat Peragaan Iptek TMII dan Lapan (waktu itu).
Mungkin ini primitif, sebagaimana roket 1960-an yang diluncurkan Lapan, tetapi di dalam semua itu terkandung pengalaman dan api semangat yang tak kenal henti. Jiwa kepeloporan yang dulu diperlihatkan para bapak peroketan dunia, seperti Robert H Goddard (AS), Konstantin Tsiolkovsky (Rusia), dan Hermann Oberth (Jerman), kiranya patut menjadi inspirasi bagi perekayasa antariksa Indonesia. Ada pula nama besar Wernher von Braun yang semasa Perang Dunia II ikut merekayasa roket V2 Jerman. Di Indonesia sendiri sudah pernah dikenal sosok-sosok yang punya komitmen besar terhadap peroketan, seperti Adi Sadewo Salatun dan Kisbandi.
Bagi Indonesia, peroketan adalah teknologi yang niscaya harus dikuasai sebagaimana teknologi informasi, komunikasi, juga bioteknologi dan rekayasa genetika, serta energi terbarukan. Namun, ujar Seneca Muda, memang jalan ”ke bintang dari Bumi tak ada yang mudah (non est ad astra mollis e terris via)”.
Ninok Leksono Rektor UMN, Alumnus Department of War Studies, King’s College, UK