Koneksitas dalam Tindak Pidana Korupsi
KPK sempat melakukan operasi tangkap tangan dalam dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas. Puspom TNI mendatangi KPK dan menyatakan tindakan KPK salah. Bagaimana kewenangan KPK dalam tindak pidana korupsi anggota TNI ?
There is a higher court than courts of justice and that is the court of conscience. It supercedes all other courts.
Mahatma Gandhi
Perkataan Gandhi di atas menyiratkan bahwa pengadilan sebenarnya itu adalah di hati nurani kita. Perkataan itu akan menjadi relevan dalam diskusi, apakah anggota TNI aktif dapat diproses hukum melalui peradilan tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dalam dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas. Namun, ternyata salah satu yang terkena OTT adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif.
Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI mendatangi KPK dan menyatakan tindakan KPK tersebut salah karena hanya Puspom TNI yang berwenang menyidik tindak pidana korupsi anggota TNI aktif. Pimpinan KPK pun meminta maaf.
Bagaimana sebenarnya kewenangan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota TNI?
Pasal 198 UU Peradilan Militer menegaskan bahwa jika terjadi tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang berada pada lingkup peradilan militer dan orang pada lingkup peradilan umum, maka perkara diperiksa dalam lingkup peradilan umum.
Peradilan khusus
Pada dasarnya peradilan militer itu merupakan peradilan yang bersifat khusus. Hukum pidana militer, seperti diungkapkan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej, disebut sebagai ius speciale dan merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) mengatur bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit atau dalam konteks hukum saat ini adalah anggota TNI.
Peraturan ini membentuk kewenangan absolut bagi pengadilan militer sebagai satu-satunya pengadilan yang dapat mengadili prajurit. Kewenangan ini juga berimbas pada peradilan yang melingkupi kewenangan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan yang semuanya dilakukan oleh lingkup militer, seperti Polisi Militer, Oditurat Militer, dan pengadilan militer.
Namun, kewenangan absolut tersebut dapat dikecualikan jika terdapat koneksitas. Pasal 198 UU Peradilan Militer menegaskan bahwa jika terjadi tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang berada pada lingkup peradilan militer dan orang pada lingkup peradilan umum, maka perkara diperiksa dalam lingkup peradilan umum.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (kiri) dan Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko (kanan) menyampaikan keterangan pers di Mabes TNI, Jakarta, Senin (31/7/2023).
Norma dasar dari koneksitas adalah menyerahkan anggota TNI untuk diadili di lingkup peradilan umum. Namun, hal tersebut dapat dikecualikan jika terdapat pertimbangan dari Menteri Pertahanan yang disetujui Menteri Kehakiman atau saat ini bernama Menteri Hukum dan HAM.
Peraturan ini sejalan dengan Pasal 98 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur mengenai koneksitas. Dalam koneksitas, sekalipun diadili pada peradilan umum, harus dibentuk tim koneksitas yang terdiri dari polisi militer, oditur, dan penyidik dalam lingkup peradilan umum. Tim itu dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM.
Pasal 90 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan lingkup peradilan yang berwenang dalam mengadili perkara tindak pidana, diadakan penelitian antara jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi berdasar hasil penyelidikan tim gabungan di atas.
Pasal 91 KUHAP sebagaimana Pasal 200 UU Peradilan Militer menegaskan, apabila kerugian yang terjadi terletak pada kepentingan umum, perkara diadili pada lingkup peradilan umum. Sementara jika kerugian ada pada kepentingan militer, maka diadili dalam lingkup peradilan militer.
Baca juga : Pentingnya Pembentukan Tim Koneksitas KPK dan TNI
Pemisahan kepentingan umum dan kepentingan militer ini sebenarnya sudah coba diatasi dalam Pasal 65 UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Pasal tersebut mengatur bahwa prajurit tunduk pada peradilan militer jika melanggar hukum pidana militer dan tunduk pada peradilan umum jika melanggar pidana umum. Oleh karena itu, Peradilan Militer semangatnya akan dikhususkan untuk tindak pidana militer yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer dan UU militer terkait. Namun, jika hal itu merupakan pidana yang berlaku juga bagi sipil, maka prajurit tunduk pada peradilan umum.
Hanya saja, memang Pasal 74 UU TNI mewajibkan adanya revisi UU Peradilan Militer dulu untuk menerapkan Pasal 65 UU TNI. Kewenangan absolut yang diatur dalam UU Peradilan Militer perlu dicabut untuk menerapkan Pasal 65 UU TNI.
Pasal 91 KUHAP sebagaimana Pasal 200 UU Peradilan Militer menegaskan, apabila kerugian yang terjadi terletak pada kepentingan umum, perkara diadili pada lingkup peradilan umum.
Kewenangan absolut Pengadilan Tipikor
Bagaimana dengan tindak pidana korupsi? Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat khusus dan memiliki pengaturan yang sangat komprehensif. Pada UU di bidang materiil, terdapat UU No 31/1999 jo 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan di bidang formil, terdapat UU No 30/2002 jo 19/2019 tentang KPK dan UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor).
Dengan terjadinya diskursus mengenai kewenangan absolut, dapat dilihat terlebih dahulu kewenangan absolut Pengadilan Tipikor. Pasal 5 UU Pengadilan Tipikor secara tegas mengatur ”Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi”.
Dengan demikian, sejak tahun 2009, kewenangan absolut mengadili tindak pidana korupsi dimiliki Pengadilan Tipikor tanpa membedakan subyek hukum yang terlibat. Jika melihat historisnya, Pengadilan Tipikor sempat diatur dalam Pasal 53 UU KPK. Namun, karena pengadilan khusus dibentuk dalam Pengaturan UU KPK dan tidak diatur secara khusus, maka Pasal 53 UU KPK tersebut dianggap bertentangan dengan konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006.
Akan tetapi, sekalipun bertentangan, MK menganggap Pengadilan Tipikor memiliki tujuan penting untuk memberantas tindak pidana korupsi sehingga memberikan kesempatan bagi pemerintah selama tiga tahun untuk membentuk Undang-Undang Khusus.
Kemudian, pada 2009 dibentuk UU Pengadilan Tipikor. Putusan MK dan UU Pengadilan Tipikor menunjukkan urgensi kekhususan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 42 UU KPK juga mengatur bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Pasal 42 ini menegaskan bahwa KPK dapat menjadi koordinator dalam perkara koneksitas. Dengan konsep ini, maka sejatinya jika terjadi korupsi sipil-militer, penyelesaiannya dilakukan dengan koneksitas yang melibatkan KPK dan penyidik militer terkait, Oditurat Militer terkait, serta diadili di Pengadilan Tipikor.
Tak bisa digunakan
Jika kemudian disandingkan antara UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor dengan UU Peradilan Militer, yang menjadi pertanyaan adalah mana hukum yang bersifat lebih khusus? Asas hukum yang khusus mengalahkan hukum yang lebih umum (lex specialis derogat legi generalis) tidak dapat digunakan dalam konteks ini.
Namun, pengembangan terhadap asas ini bisa digunakan, yakni asas lex consumen derogat legi consumpte, hukum yang mendominasi memakan ketentuan lainnya.
Menurut Jan Remmelink, hukum yang paling mendominasi adalah hukum yang paling berkaitan dengan perbuatan yang secara nyata dilanggar.
Dalam konteks ini, tindak pidana korupsi mengakibatkan UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor bersifat lebih dominan dari UU Peradilan Militer yang sejatinya juga mewajibkan adanya koneksitas. Oleh karena itu, dibentuknya koneksitas merupakan sebuah keniscayaan jika sipil-militer terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK, seperti dalam suap di Bakamla; KPK dan Puspom TNI berjalan terpisah menyidik perkara yang sama dengan subyek yang berbeda-beda. Selain prajurit diperiksa oleh KPK dan diadili di Pengadilan Tipikor, prajurit juga disidik Puspom TNI dan dituntut oditurat di pengadilan militer.
Dalam konteks ini, tindak pidana korupsi mengakibatkan UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor bersifat lebih dominan dari UU Peradilan Militer yang sejatinya juga mewajibkan adanya koneksitas.
Kasus pengadaan helikopter tahun 2015-2017 juga memiliki penyidikan yang berbeda. Dalam konteks tersebut, pelaku sipil dari PT Diratama Jaya Mandiri telah dijatuhi vonis di Pengadilan Tipikor. Namun, peradilan militer belum sampai proses peradilan karena memiliki kesulitan dalam pembuktian. Bahkan, terdengar kabar terdapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) karena kurangnya alat bukti.
Dalam kedua contoh kasus tersebut, tidak dilaksanakan prinsip koneksitas yang diamanahkan UU Peradilan Militer, KUHAP, dan UU KPK.
Harapannya, dalam perkara Basarnas, dengan adanya konferensi pers kedua pihak, KPK dan Puspom TNI, akhirnya dapat dibentuk peradilan koneksitas dalam perkara tindak pidana korupsi. Ini akan memperkuat pemberantasan korupsi di tubuh TNI dan meningkatkan integritas TNI ke depan.
Muhammad Fatahillah AkbarDosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Muhammad Fatahillah Akbar