Durga dalam Perspektif Ilmiah dan Dialektika Kultural
Di buku tentang Durga ini, para pemikir dari berbagai disiplin ilmu membahas arti penting dan refleksi pemikiran Hariani Santiko di bidang yang digeluti. Mereka para cendekiawan bidang arkeologi, filologi, sastra, dsb,
Judul : Membaca Durga (Bunga Rampai Tulisan Pemikiran tentang Durga)
Penulis: Goenawan Mohamad, dkk.
Kurator : Seno Joko Suyono, dkk.
Penerbit: Borobudur Writers and Cultural Society (BWCF)
Tahun terbit: Cetakan I, 2022
Tebal: xii; 445 halaman
ISBN: 978-623-98637-1-5
Pembicaraan tentang (ke)budaya(an) Indonesia dengan segala kandungan nilai dan maknanya selalu menarik untuk disimak. Ekspresivitasnya membuka kemungkinan untuk dibaca ulang dan dimaknai kembali dalam dialektika zaman. Basis logika dan dialog kreatif yang terjadi lewat akulturasi dan asimilasi budaya dalam dinamika Nusantara menjadi wacana penting untuk dikaji.
Gagasan tersebut terangkum dalam buku bunga rampai forum Borobudur Writers and Cultural Forum (BWCF) 2022 tentang pemikiran arkeolog Hariani Santiko (1940-2021) tentang Durga Mahisasuramardini ini. BWCF menyebut pentingnya kajian disertasi ini karena menyajikan data dan analisis mengenai salah satu peninggalan arkeologi kita yang terpenting, tetapi dilupakan dan jarang dibahas: arca-arca Durga.
Dengannya kita bisa memahami salah satu unsur religi terkuat yang pernah berkembang di Nusantara. Disertasi Hariani Santiko ini bersifat internasional karena darinya kita bisa membandingkan Durga sebagai salah satu panteon kuat yang pernah dipuja atau dimuliakan dalam Jawa kuno dengan Durga di India kuno atau bahkan India atau Bali sekarang.
BWCF sendiri adalah forum tahunan yang mempertemukan penulis, peneliti, pekerja kreatif, serta pegiat budaya dan keagamaan. Ia mengkaji ulang pemikiran penting para cendekia yang melakukan kajian terhadap sejarah dan budaya Nusantara.
Setiap tahun BWCF memilih tema untuk memantik diskusi soal gagasan pada antropologi, arkeologi, sastra, seni, hingga religi Indonesia melalui pidato kebudayaan, peluncuran buku, ceramah umum, simposium, dan pertunjukan seni. Seperti pada forum BWCF tahun 2023 yang akan berlangsung pada 23-27 November akan mengusung tema ”Membaca Ulang Pemikiran Prof Dr Edi Sedyawati: Ganesa, Seni Pertunjukan dan Diplomasi Kebudayaan”.
Disertasi Hariani Santiko ini bersifat internasional karena darinya kita bisa membandingkan Durga sebagai salah satu panteon kuat yang pernah dipuja atau dimuliakan dalam Jawa kuno dengan Durga di India kuno atau bahkan India atau Bali sekarang.
Di buku tentang Durga ini, para pemikir dari berbagai disiplin ilmu membahas arti penting dan refleksi pemikiran Hariani di bidang yang digeluti. Mereka adalah para cendekiawan di bidang arkeologi, filologi, seni pertunjukan, filsafat, hingga sastra. Nama-nama seperti Titi Surti Nastiti, Agus Aris Munandar, Hudaya Kandahjaya, Goenawan Mohamad, Lydia Kieven, Cok Sawitri, dan Stephen Headley menawarkan berbagai kemungkinan terbuka untuk memperkaya wacana serta pengetahuan para akademisi dan pelaku seni kontemporer.
Dengan tema pembahasan yang luas, mulai dari kajian tantra, etnografi ritus komunal, kajian tekstual manuskrip, hingga konsepsi Durga dalam sastra dan perspektifnya dalam kajian budaya dan ekspresi kontemporer, kita diajak menemukan makna praktik budaya yang ada dalam masyarakat Nusantara.
Ragam wujud
Seperti kita ketahui, dalam agama Hindu, Durga adalah istri Dewa Siwa yang juga dikenal dengan nama Uma atau Parwati. Durga adalah ibu dunia penyebab adanya nama dan rupa karena ia adalah aspek krodha (dahsyat atau menakutkan) sekaligus sakti (kekuatan/tenaga) dari Siwa. Durga bertugas melindungi manusia dari kesulitan yang ditimbulkan oleh serangan musuh atau orang jahat. Durga sendiri berarti benteng atau ia yang memusnahkan kesulitan-kesulitan atau halangan.
Durga digambarkan memiliki beraneka wujud dan rupa di berbagai kebudayaan. Di India, ia biasanya digambarkan sebagai wanita cantik berkulit kuning yang menunggangi seekor harimau. Durga digambarkan memiliki banyak tangan yang memegang senjata berbeda, hadiah dari para dewa.
Simposium Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2022 yang berlangsung secara daring, Jumat (25/11/2022). BWCF digelar pada 24-27 November 2022 secara daring dan luring di Yogyakarta. BWCF tahun 2022 bertema “Membaca Ulang Pemikiran Hariani Santiko (1940-2021): Durga di Jawa, Bali, dan India”.
Di Nusantara, Durga juga memiliki beragam aspek wujud. Kurator BWCF 2022, I Gusti Agung Paramita, menyebut, selama lebih kurang 700 tahun, segala produk keagamaan yang berkaitan dengan Durga direpresentasikan dalam bentuk arca, relief, prasasti, hingga kakawin. Di Jawa, arca tertua Durga diperkirakan berasal dari abad VIII, sedangkan yang termuda sekitar abad XV.
Arca-arca ini memiliki estetika luar biasa dan khas, yang berbeda dengan arca di India. Dewi Durga digambarkan dalam pose membunuh Mahisa atau kerbau dengan berdiri di atas punggung binatang tersebut, dengan satu kaki menginjak lehernya. Itulah sosok Durga Mahisasuramardini yang dianggap mengerikan. Hariani menduga perubahan citra Durga dari wujudnya yang ayu menjadi sosok demonis disebabkan fenomena sosial dalam masyarakat Jawa kuno terkait tantrisme.
Seperti pada tafsir masyarakat atas Durga yang kerap dimaknai sebagai Rangda Indirah dalam kisah Calon Arang. Ia adalah janda sakti yang sakit hati karena tidak ada yang meminang anak perempuannya. Sebagai pemuja setia, Rangda Indirah meminta kepada Durga agar dianugerahi kesaktian yang membuatnya mampu menyebarkan wabah penyakit. Durga sendiri kala itu tidak bersosok perempuan cantik, tetapi berwujud raksasa karena dikutuk Dewa Siwa. Ni Wayan Pasek Ariati dalam pidato kebudayaannya menyebut inilah paradoks yang menggambarkan Durga secara mistis sekaligus menakutkan.
Di sisi lain, kajian ini membantu kita memaknai respons kreatif masyarakat Nusantara dalam dialektika kultural yang dihadapinya dalam menerima, menanggapi, mengolah, dan menjadikan budaya luar, seperti India, Tionghoa, Eropa, dan Arab, sebagai bagian kekayaan kulturalnya.
Hariani menduga perubahan citra Durga dari wujudnya yang ayu menjadi sosok demonis disebabkan fenomena sosial dalam masyarakat Jawa kuno terkait tantrisme.
Seperti dalam tradisi India, di Benggala, Durga adalah Vana Durga, dewi penguasa tumbuhan yang disembah para petani. Korelasinya dengan kesuburan merupakan sifat Uma yang sering kali disimbolkan sebagai yoni dalam candi-candi Siwa di Jawa: lambang energi feminin sekaligus fertilitas. Kultus semacam ini, menurut Hariani, merupakan bagian dari kultur dewi ibu pada masyarakat agraris.
Maka, Durga, Uma, dan Parwati (juga Kali di India) pada dasarnya adalah perwujudan dari entitas yang sama. Mereka semua adalah manifestasi aspek-aspek sang batari. Uma atau Parvati merupakan ketenangannya, Durga mewakili kemarahannya, dan Kali sebagai bentuk keganasannya. Konsep ini juga bisa ditemukan dalam novel, tari, dan wayang. Seperti novel Durga Umayi karya YB Mangunwijaya, tokoh utamanya menjalani peran Uma dan Durga, lembut sekaligus kejam (Abdi, 2023).
Kajian ini penting karena berdasar analisis ikonografis, kita dapat mempertimbangkan konteks seni, mitologi, religiositas, dan sejarah yang lebih luas. Perspektif-perspektif yang terkandung di dalamnya menjelaskan Durga bukan semata presentasi artistik, melainkan juga mempunyai peran kolektif yang memiliki esensi filosofis dalam aktivitas kreatif melalui simbol-simbol metaforis yang bersifat simbolik dan holistik. Seperti upacara slametan sembelih kerbau yang masih menjadi ritual tradisi perdesaan di Jawa, juga upacara tahunan Sesaji Mahesa Lawung Keraton Surakarta, menandai sisa-sisa ritual tentang Durga yang masih berlangsung hingga kini.
Durga dalam konteks komunal menjadi bagian dari perjalanan sebuah kelompok masyarakat dalam religiositas imanen, logika sosiokultural dan politik (kebudayaan) Nusantara. Seperti tafsir atas Durga bertangan banyak, dalam konteks feminisme, sejajar dengan logika emansipatoris perempuan modern. Ia merefleksikan Durga yang tidak hanya berperan sebagai istri atau ibu dalam tataran domestik, tetapi juga sosok yang multiperan dengan kompleksitas fungsi sebagai perempuan: antitesis prinsip maskulinitas.
Jika dipahami dalam perspektif semacam ini, budaya akan senantiasa mampu menyediakan ruang untuk memperluas pandangan, mendewasakan pemikiran, dan mematangkan sikap bersama. Kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) digunakan untuk memaknai masa lalu, memperkaya penghayatan atas masa kini sebagai sebuah kontekstualisasi yang hadir dengan napas, artikulasi, dan pemaknaan baru.
Baca juga : Snouck Hurgronje dan Kisah Menjinakkan Hindia Belanda
Membaca pemikiran Hariani Santiko dalam buku ini bisa menjadi medium transformasi nilai-nilai kultural sekaligus pengembangan wacana ilmu pengetahuan. Pemaknaan tentang Durga mengingatkan kita agar tidak lupa dengan kerja-kerja besar intelektual kita sendiri terkait dengan peninggalan Nusantara. Ia sekaligus juga bisa menjadi sebuah usaha mengunjungi kembali dan menemukan kembali gagasan-gagasan yang lebih mendasar dan kontekstual tentang presentasi kebudayaan dan representasi nilai kehidupan yang patut menjadi refleksi dan preservasi peradaban yang lebih baik.
Purnawan Andra Bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek