Lenong lahir dari rekacipta nilai-nilai moral kedaerahan menjadi sebuah pertunjukan yang dinikmati siapa pun. Meski mengalami pasang surut, upaya transformasi lenong terus dilakukan hingga kini.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·4 menit baca
Judul: Lenong: Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Depan Komedi BetawiPenulis: Syaiful AmriPenerbit: Pustaka Obor IndonesiaTahun Terbit: 2022Jumlah halaman: 180 halamanISBN: 978-623-6421-47-5
Sebagai bentuk tradisi lisan, keberadaan kesenian tradisional lenong Betawi sangat dipengaruhi oleh konteks sosial yang melingkupinya. Setiap ekspresi dan kreativitas yang dihadirkan dalam lenong harus mampu memikat masyarakat yang menonton. Namun, ketika terjadi perubahan sosial yang sangat cepat, seperti yang terjadi di Jakarta pada 1980-an, lenong perlahanditinggalkan. Lenong dianggap tak lagi relevan bagi masyarakat Jakarta yang sudah modern.
Prihatin dengan nasib lenong, beberapa seniman Betawi berupaya mempertahankan esensi lenong dan meremajakan lenong sebagai Upaya beradaptasi dengan perkembangan zaman. Penggiat budaya Betawi, Syaiful Amri, mencoba menjelaskan berbagai upayanya dalam buku berjudul Lenong: Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa Depan Komedi Betawi (Pustaka Obor Indonesia, 2022). Sesuai dengan judulnya, penulis mengajak pembaca kembali menelusuri perjalanan terbentuknya lenong Betawi dari masa prakolonial hingga eksistensinya di era globalisasi saat ini.
Asal mula lenong
Jika mundur ke asal muasalnya, julukan lenong baru dikenal pada 1920-an. Dari keterangan sumber-sumber di dalam buku ini, nama lenong berasal dari nama liang ong, yaitu sebuah grup pementasan keliling yang dikelola oleh keturunan Tionghoa. Grup pementasan Tionghoa ini awalnya menjalani pementasan wayang topeng. Mereka mengubah format pementasan, karena melihat kesuksesan pementasan sebuah grup dari Jawa Timur bernama Teater Pakiu.
Prihatin dengan nasib lenong, beberapa seniman Betawi berupaya mempertahankan esensi lenong dan meremajakan lenong sebagai Upaya beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Dalam pementasan liang ong dimasukkan unsur pencak silat dan pantun sehingga lebih menarik dan dapat diterima oleh masyarakat pada waktu itu. Lambat laun penyebutan nama liang ong pun berubah menjadi lenong. Penggabungan teater dengan musik gambang kromong yang dibumbui unsur lawakan alias bodoran dalam cerita tak berhubung menjadi ciri Lenong pada awal pembentukannya. Ciri ini selanjutnya dijadikan pakem dalam lenong.
Satu rombongan Lenong biasanya terdiri dari aktor dan pemain musik yang berjumlah 25-50 orang. Secara umum, struktur pertunjukan Lenong dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, musik gambang kromong memulai pertunjukan, kemudian tetabuhan mulai terdengar untuk memanggil para penonton. Selanjutnya, cerita dimulai.
Pascakemerdekaan, lenong mulai menjadi tontonan masyarakat. Misalnya dalam panggung hajatan di kampung-kampung. Biasanya dipentaskan selama semalam suntuk. Memasuki 1960-an, lenong dengan dramaturgi sederhana ini mulai redup.
Rekacipta lenong
Pada 1968 dilakukan kolaborasi antara Pemerintah DKI Jakarta (Pusat Penelitian & Pengembangan Kesenian Jakarta) dan seniman Betawi dalam upaya melestarikan keberadaan lenong melalui rekacipta tradisi. Rekacipta di sini berarti upaya revitalisasi dengan memadukan aspek kebaruan tanpa menghilangkan tradisi aslinya. Upaya rekacipta lenong misalnya dengan memasukkan aspek humor, bela diri, durasi waktu dipersingkat, desain tata busana, dan saluran medianya. Upaya pelestarian lenong ini terbukti cukup berhasil. Akibatnya, lenong mulai banyak ditampilkan di tengah masyarakat, seperti pertunjukan di Teater Taman Ismail Marzuki (TIM) dan televisi. Beberapa tokoh yang cukup berjasa di balik upaya ini antara lain Sumantri, Ardan, dan Ali Shahab.
Upaya rekacipta lenong misalnya dengan memasukkan aspek humor, bela diri, durasi waktu dipersingkat, desain tata busana, dan saluran medianya.
Memasuki milenium baru, upaya rekacipta lenong kembali dilakukan. Di tahun 1998, para seniman Betawi bersama Dinas Kebudayaan DKI Jakarta membentuk Yayasan Komedi Betawi (Kombet).Kombet merupakan sebuah transformasi dan inovasi dari seni pertunjukan lenong di tengah masifnya modernisasi. Semangatnya berusaha menghadirkan teater rakyat Betawi yang hidup dalam konteks dan situasi zamannya.
Menurut penulis yang juga merupakan ketua dari Yayasan Kombet, pemain Kombet merupakan kolaborasi para aktor teater modern dengan aktor seni tradisi Betawi, yaitu lenong dan topeng Betawi. Tak hanya komposisi pemainnya, penulis juga mencoba memasukkan unsur-unsur modern ke dalam struktur lenong.
Struktur lenong yang meliputi seni musik, seni sastra, dan teater serta seni bela diri, tari, dan lainnya terus diupayakan supaya sesuaidengan kebutuhan zaman. Poin penting yang dipegang penulis yaitu perimbangan antara kebutuhan beradaptasi dan kebutuhan untuk menjaga identitas tradisi. Hal ini dimaksudkan agar Kombet tetap berada dalam identitas kultural Betawi.
Rekacipta gambang rancag
Pada Kombet, proses rekacipta dilakukan pada gambang rancag. Gambang rancag terdiri atas dua unsur, yaitu gambang dan rancag. Gambang berarti musik pengiring, sedangkan rancag adalah cerita yang dibawakan. Gambang rancag dipentaskan dengan nyanyian tentang cerita rakyat Betawi dalam bentuk pantun berkait.
Beberapa lakon yang dibawakan oleh gambang rancag umumnya berupa lakon jago, seperti Si Pitung, Si Jampang atau Si Angkri. Lakon-lakon tersebut dihadirkan dalam bentuk pantun berkait. Lakon jago yang digubah menjadi pantun berkait dinyanyikan oleh dua orang bergantian sambil berbalas pantun.
Pementasan gambang rancag tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan bagi pelaku dan penonton, tetapijuga menjadi sarana protes dan kritik sosial. Misalnya, cerita Si Pitung yang merampok orang kaya yang rakus dan tuan tanah yang kejam merupakan sindiran tidak langsung supaya orang kaya tidak berbuat sewenang-wenang.
Pelestarian lenong tidak hanya berkutat pada adaptasi strukturnya. Derasnya modernisasi membutuhkan penggalian lebih dalam proses kreatif lenong, khususnya pengembangan ide dan gagasan cerita yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian, lenong mampu bertahan dan berkembang di tengah perubahan zaman.