Polusi udara kota-kota besar di Indonesia adalah isu lama yang tak tuntas ditanggulangi. Polusi makin menjadi dengan kesehatan masyarakat sebagai taruhannya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Saat ini ada tiga kawasan dengan polusi udara tertinggi: DKI Jakarta, Tangerang Selatan, dan Tangerang. Dengan indeks kualitas udara 164—diukur tanggal 6 Agustus 2023—DKI Jakarta bahkan menduduki peringkat kedua kota paling tercemar dunia setelah Dubai, Uni Emirat Arab.
Indeks kualitas udara mengukur tingkat pencemaran udara dan dampaknya pada kesehatan manusia. Indeks ini menggunakan enam parameter berupa kandungan partikulat, ozon, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, karbon monoksida, dan timbal pada kondisi tertentu. Zat-zat tersebut, ketika melebihi ukuran baku, memicu berbagai gangguan kesehatan. Dari mata berair, pusing, berat badan bayi rendah, hingga masalah kardiovaskular dan perubahan DNA.
Budi Haryanto, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pernah meneliti data catatan medis di rumah sakit Indonesia. Hasilnya, 57,8 persen dari seluruh penyakit pasien rawat jalan dan rawat inap terkait pencemaran udara (Kompas, 24/9/2021).
Sebenarnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperbarui standar udara bersih menjadi lebih ketat. Ini berdasar kajian yang menunjukkan bahwa polusi udara menjadi penyebab kematian tujuh juta orang per tahun. Namun, kenyataannya, pencemaran udara masih terus terjadi.
Kendaraan bermotor menyumbang 60 persen pencemaran udara di Indonesia karena penggunaan bahan bakar minyak beroktan rendah. Di samping itu, ada ketergantungan besar pada bahan bakar fosil. Hingga April 2021, dari 72.888 MW kapasitas listrik nasional, 86,45 persen masih energi fosil. Sisanya, 13,55 persen, dari energi baru terbarukan (EBT).
Namun, taruhan yang begitu besar pada kesehatan masyarakat harus menjadi pertimbangan utama. Dalam hal ini, pemerintah harus mengkaji ulang orientasi energi dan memperbaiki pengelolaan lingkungan secara sistematis.
Pemerintah sebenarnya menargetkan porsi EBT naik jadi 23 persen pada 2025 dan 50 persen pada 2050. Meski kondisi ekonomi saat ini masih terdampak pandemi, berbagai cara harus sungguh-sungguh diupayakan agar target bauran energi nasional yang bersih bisa diwujudkan.
Di sisi lain, pemerintah perlu lebih kuat lagi mendorong industri otomotif menghasilkan kendaraan bermotor beremisi rendah sekaligus bijak mengatur emisi kendaraan lama.
Mengingat angkutan publik massal belum menjangkau seluruh wilayah serta berbagai jenis dan usia kendaraan masih berperan besar memutar roda perekonomian masyarakat, seharusnya pemerintah tidak sekadar memberi sanksi tetapi juga mensubsidi perbaikan teknis agar spesifikasi kendaraan sesuai aturan. Bensin beroktan rendah juga harus segera dihentikan peredarannya.
Semua dengan kesadaran bahwa udara bersih adalah hak setiap warga dan menjadi kunci kesejahteraan bangsa.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO