Selama ini, antisipasi El Nino dan karhutla sering kali difokuskan kepada aspek ekonomi dan lingkungan. Perlu perhatian pada sektor kesehatan masyarakat terutama kerawanan akan gangguan pernapasan.
Oleh
SUGENG BUDIHARTA
·3 menit baca
Saat ini dan beberapa bulan ke depan, Indonesia memasuki musim kemarau. Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) memprakirakan bahwa di tahun 2023 akan terjadi kemarau panjang akibat fenomena El Nino. Beberapa ahli bahkan menyebut El Nino tahun ini akan menjadi salah satu yang terkuat yang pernah terekam di era modern.
El Nino adalah fenomena alam di mana iklim menjadi lebih hangat dibanding tahun-tahun biasa yang ditandai dengan kemarau panjang dan kekeringan. El Nino merupakan salah satu dampak perubahan iklim akibat pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca (greenhouse gases/GHGs) terutama akibat aktivitas manusia. Hasil riset Ruyu Gan yang diterbitkan jurnal ilmiah Nature Communications baru-baru ini menyebutkan bahwa fenomena El Nino menjadi lebih sering terjadi dalam 40 tahun terakhir dengan frekuensi setiap 13 tahun sekali.
Namun demikian, penelitian kami di Sumatera yang dipublikasikan di jurnal One Earth edisi tahun 2023 menemukan bahwa amplitudo perubahan iklim menjadi lebih ekstrem dalam 20 tahun terakhir. Artinya pada saat ini, tahun kering (El Nino) menjadi lebih kering dan tahun basah (La Nina) menjadi lebih basah dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Perubahan iklim dalam bentuk El Nino dan La Nina memberikan dampak yang luar biasa bagi manusia dan lingkungan. Pada tahun-tahun basah (La Nina), bencana seperti banjir dan tanah longsor biasa terjadi, dan sebaliknya pada tahun-tahun kering (El Nino), akan terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kekurangan air dan gagal panen. Dengan iklim yang berubah menjadi lebih ekstrem dibandingkan dahulu, perlu diwaspadai dampaknya yang diperkirakan akan semakin berat.
El Nino dan karhutla
Kebakaran hutan dan lahan hebat pernah terjadi di Indonesia. Karhutla terutama terjadi pada tahun-tahun dengan kemarau panjang (El Nino), misalnya pada 2015 dan 2019. Pada periode El Nino, kejadian karhutla bisa berlangsung berbulan-bulan, bahkan hingga delapan kali lebih besar dibanding tahun normal.
Menariknya, kejadian karhutla di Indonesia tidak hanya berkaitan erat dengan iklim. Frekuensi dan intensitas karhutla ternyata dipengaruhi juga oleh degradasi hutan dan lahan, keberadaan gambut, dan keberadaan pertanian dan perkebunan intensif. Areal hutan dan gambut yang terdegradasi berat, dan areal yang berdekatan dengan perkebunan sawit berisiko terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan areal dengan tutupan hutan yang masih baik. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, beberapa provinsi dengan risiko karhutla yang tinggi antara lain Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, Sumatra Selatan, dan Jambi.
Gangguan pernapasan secara proporsional lebih besar pada daerah-daerah dengan keberadaan hutan dan gambut yang terdegradasi yang rawan terbakar, misalnya Riau, Sumatra Selatan, dan Jambi.
Karhutla menyebabkan berbagai kerugian. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan yang terdampak karhutla pada 2019 mencapai 1,64 juta hektar. Secara ekonomi, Bank Dunia memperkirakan karhutla di tahun tersebut menyebabkan kerugian total mencapai Rp 75 triliun.
Gangguan pernapasan
Selain permasalahan lingkungan dan ekonomi, karhutla juga berdampak pada kesehatan masyarakat. Kami mengkaji hubungan antara karhutla dengan penyakit gangguan pernapasan pada periode 2001-2018 di Sumatra. Riset kami menemukan bahwa kejadian gangguan pernapasan berkaitan erat dengan karhutla.
Menariknya, angka prevalensi penyakit gangguan pernapasan pada tahun-tahun kemarau panjang (El Nino) meningkat hingga 8,5 persen dibandingkan tahun-tahun biasa. Yang menyedihkan, kelompok yang paling terdampak penyakit gangguan pernapasan tersebut adalah anak-anak dan balita.
Ketika kami kaji lebih dalam, peningkatan kejadian karhutla pada periode El Nino berpengaruh kepada peningkatan partikel halus berukuran 2,5 mikron, atau sering disebut PM 2,5. Partikel ini sering digunakan sebagai penanda polusi udara. PM 2,5 ini sangat kecil sehingga dapat beterbangan di udara dan masuk ke dalam sistem pernapasan bahkan ke peredaran darah manusia. Dalam konsentrasi yang besar, partikel ini dapat memicu gangguan kesehatan antara lain ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), asma, dan bronkitis.
Dalam kaitannya dengan karhutla, kenaikan konsentrasi PM 2,5 disebabkan oleh terbakarnya bahan organik, terutama daun dan gambut yang kering. Sehingga tidak mengherankan, riset kami menemukan bahwa gangguan pernapasan secara proporsional lebih besar pada daerah-daerah dengan keberadaan hutan dan gambut yang terdegradasi yang rawan terbakar, misalnya Riau, Sumatra Selatan, dan Jambi.
Upaya mitigasi
Perlu upaya bersama untuk memitigasi dampak karhutla akibat El Nino pada kesehatan masyarakat terutama penyakit gangguan pernapasan. Dari sektor kehutanan, upaya utama tentu saja adalah mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan apalagi jika terjadi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan kewaspadaan, deteksi dini dan prioritas penempatan sumber daya yang memadai pada daerah-daerah yang beresiko tinggi karhutla, misalnya Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, Sumatra Selatan, dan Jambi.
Dari sektor kesehatan, dampak karhutla dapat dimitigasi dengan penggunaan masker yang memadai yang dapat menyaring PM 2,5 sehingga tidak masuk ke sistem pernapasan. Adanya pandemi Covid-19 memberikan pembelajaran terkait penggunakan masker oleh masyarakat sehingga strategi yang sama dapat digunakan untuk mengurangi dampak karhutla. Ada baiknya masker tersebut disiapkan lebih awal sebagai tindakan antisipatif sehingga tidak gagap seperti yang terjadi pada saat awal pandemi Covid-19 yang lalu.
Adanya prediksi El Nino di tahun 2023 memerlukan kewaspadaan akan terjadinya karhutla. Selama ini antisipasi dampak karhutla sering kali terfokus pada sektor ekonomi dan lingkungan. Perlu perhatian pada sektor kesehatan masyarakat terutama kerawanan akan gangguan pernapasan.
Sugeng Budiharta, Peneliti pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)