”Kesesatan” menggunakan nilai tukar petani sebagai indikator kesejahteraan petani perlu diakhiri. Nilai tukar petani hanya membandingkan harga-harga, bukan pendapatan dan biaya hidup petani.
Oleh
KHUDORI
·4 menit baca
Ada keyakinan kuat bahwa kesejahteraan petani bisa diukur menggunakan angka nilai tukar petani (NTP), kesejahteraan nelayan ditera lewat angka nilai tukar nelayan (NTN). Karena keyakinan itu, tiap kali menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), besaran NTP dan NTN selalu jadi bahan perdebatan antara DPR dan pemerintah.
Sebab, NTP dan NTN menjadi dua dari enam target pembangunan tahunan. Empat target lainnya adalah tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia, dan rasio gini. Target pembangunan ini pelengkap indikator makroekonomi, seperti nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi.
Misalnya, pada APBN 2023 ditargetkan NTP sebesar 105-107 dan NTN 107-108. Pertanyaannya, jika NTP 105-107, apakah petani sejahtera? Tepatkah menggunakan NTP untuk mengukur kesejahteraan petani?
Merujuk definisi Badan Pusat Statistik (BPS), NTP dimaknai sebagai rasio antara indeks harga yang diterima petani (It) dan indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP di atas 100 apabila It lebih besar dari Ib. Demikian pula sebaliknya. Dari It dapat dilihat perkembangan harga komoditas/produk pertanian yang dijual petani secara periodik. Demikian pula, dari Ib bisa dilihat perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi ataupun harga barang dan jasa yang dipakai dalam berproduksi.
Merujuk BPS, NTP merupakan ukuran hubungan harga. NTP memberikan indikasi secara umum mengenai daya beli komoditas/produk pertanian terhadap barang dan jasa yang dibeli petani baik untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari maupun untuk biaya produksi dan penambahan barang modal. Jadi, mengikuti definisi BPS, NTP sama sekali tidak berhubungan dengan kesejahteraan petani. Kalau kemudian pemerintah dan DPR memakai NTP guna mengukur kesejahteraan petani dalam target pembangunan, ini kealpaan yang perlu diingatkan. Agar kealpaan kolektif ini tidak berulang di masa depan.
Apabila ditelaah formulanya, NTP hanya membandingkan harga-harga, bukan pendapatan dan biaya hidup petani. Karena kuantum produksi dan kuantum konsumsi tidak dihitung. Hanya variabel harga yang dihitung, tetapi tidak mencakup nilai produksi dan nilai jasa atau produk yang dikonsumsi petani. Karena hanya variabel harga yang dipertimbangkan, dengan demikian dapat diartikan bahwa produksi diasumsikan selalu surplus dan bisa dipasarkan. Padahal, secara riil, tidak semua petani surplus produksi.
Kondisi petani tidaklah sama. Ada petani yang memiliki lahan cukup luas, tetapi tidak sedikit petani yang berlahan sempit. Merujuk Survei Pertanian Antarsensus 2018, jumlah rumah tangga petani gurem atau menguasai lahan kurang 0,5 hektar mencapai 15,80 juta atau 58,07 persen. Mereka adalah net buyers alias konsumen murni yang tidak memiliki surplus produksi (marketable surplus). Jadi, karena hanya membandingkan harga, NTP hanya relevan buat petani net producers karena punya surplus produksi.
Lebih masuk akal apabila pemerintah dan DPR menggunakan ukuran petani skala kecil sebagai indikator capaian target pembangunan di setiap tahun, bukan NTP (dan NTN) yang tidak memiliki makna.
Kelemahan konseptual
Karena berbagai kekurangan tersebut, perhitungan NTP versi BPS mengandung kelemahan konseptual sehingga tidak dapat dijadikan sebagai penanda nilai kesejahteraan laba bersih usaha tani, yang berarti pula tidak dapat dijadikan sebagai penanda kesejahteraan petani (Simatupang, 2017). Untuk memperoleh ukuran atau indikator yang lebih representatif seharusnya digunakan formula yang dapat menghitung keuntungan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Ismet, 2015). Bukan sekadar membandingkan harga-harga komoditas yang dijual dengan harga-harga komoditas yang dibeli petani.
Dalam ”kekosongan” itu, Sensus Pertanian 2023 memberikan sejumput harapan. Berbeda dengan sensus-sensus sebelumnya, di Sensus Pertanian 2023 yang berlangsung 1 Juni-31 Juli 2023 juga diadopsi konsep dan definisi petani skala kecil versi FAO. FAO mengklasifikasi petani kecil dalam dua ukuran: fisik dan ekonomi. Ukuran fisik mencakup lahan pertanian yang dikelola dan jumlah ternak yang dipelihara. Petani yang mengelola lahan pertanian kurang 2 hektar dan ternak kurang dari 3 tropical livestock unit (TLU, 1 TLU setara dengan seekor sapi) tergolong petani kecil. Dari sisi ekonomi, petani yang berpendapatan kurang dari Rp 18,8 juta dalam setahun dikategorikan sebagai petani kecil.
Merujuk hasil Survei Pertanian Terintegrasi (Sitasi) 2021, jumlah petani kecil pada 2021 mencapai 72,19 persen dari 33,49 juta petani. Dari jumlah itu, 58,18 persen berada di Jawa. Disusul di Sumatera sebesar 20,29 persen, Bali dan Nusa Tenggara 7,45 persen, Sulawesi 6,89 persen, Kalimantan 4,41 persen, serta Papua dan Maluku 2,78 persen. Ini menunjukkan, Jawa yang merupakan produsen utama aneka pangan penting (padi, jagung, kedelai, dan gula) ternyata jadi tempat ”subur” bagi keberadaan petani kecil. Tanpa banyak disadari pula, petani yang selama ini memberi makan kita semua ternyata petani-petani skala kecil.
Berpijak dari kondisi itu, tentu lebih masuk akal apabila pemerintah dan DPR menggunakan ukuran petani skala kecil sebagai indikator capaian target pembangunan di setiap tahun, bukan NTP (dan NTN) yang tidak memiliki makna. Sivitas BPS dan para cerdik pandai penting untuk mengingatkan pemerintah dan DPR bahwa ”kesesatan” menggunakan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani perlu diakhiri. Jika tidak memakai ukuran petani skala kecil, bisa dikembangkan indikator lain, yakni mengkaji ulang cara penghitungan dan penyajian NTP, terutama guna memperhitungkan perubahan teknologi atau total faktor produksi (Simatupang, 2017). Maukah pemerintah dan DPR?