Hubungan ekonomi Uni Eropa dan Indonesia/ASEAN mengalami pasang-surut. Hubungan kedua belah pihak berpotensi ditingkatkan. Tantangannya, cara pandang yang berbeda terhadap isu-isu ekonomi.
Oleh
BEGINDA PAKPAHAN
·3 menit baca
Dinamika hubungan Uni Eropa dan Indonesia/ASEAN bergerak cepat. Perhatian kedua belah pihak meningkat seiring adanya beragam isu penting, seperti isu perdagangan kelapa sawit, sengketa dagang terkait nikel dan baja, serta krisis Myanmar. Apa saja beragam tantangan dari hubungan Uni Eropa dan Indonesia/ASEAN saat ini?
Pertama, hubungan ekonomi Uni Eropa dan Indonesia/ASEAN mengalami pasang dan surut. Hubungan kedua belah pihak berpotensi ditingkatkan dan lebih erat ke depan. Namun, cara pandang mereka berbeda terhadap isu-isu ekonomi terkini.
Berdasarkan data tahun 2019, ASEAN adalah mitra dagang ketiga terbesar dari Uni Eropa di luar benua Eropa. Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar ketiga dari ASEAN. Uni Eropa adalah investor keempat terbesar bagi ASEAN (EU-ASEAN Strategic Partnership, 2022).
Namun, Uni Eropa dan Indonesia dan beberapa negara anggota ASEAN memiliki cara pandang berbeda atas produk kelapa sawit. Pada satu sisi, Indonesia dan Malaysia memandang bahwa Uni Eropa mendiskriminasi dan mempersulit masuknya hasil produk sawit mereka ke pasar Uni Eropa. Di sisi lainnya, Uni Eropa berpandangan bahwa Indonesia dan Malaysia belum optimal dalam melaksanakan perlindungan kelestarian lingkungan dan penerapan hak asasi pekerja di industri kelapa sawit mereka.
Terkini, Uni Eropa menerapkan Undang-Undang (UU) Deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR) yang berlaku mulai 17 Mei 2023. EUDR mewajibkan para eksportir menyerahkan uji tuntas dan verifikasi bahwa pelbagai produk mereka bukan dari wilayah hasil penggundulan hutan sejak 1 Januari 2021 dan selanjutnya.
Undang-undang tersebut berdampak terhadap produk-produk dari Indonesia dan Malaysia seperti kelapa sawit dan turunannya, kopi, kakao, karet, kulit dan produk turunannya. Indonesia dan Malaysia menyatakan keberatan atas UU Deforestasi Uni Eropa karena mendiskriminasi produk-produk ekspor mereka untuk masuk ke pasar tunggal Uni Eropa (Kompas, 2023). Situasi kompleks tersebut menjadi tantangan bagi hubungan ekonomi Uni Eropa dan Indonesia dan negara ASEAN lainnya.
Selain itu, hubungan ekonomi Uni Eropa dan Indonesia sedang melalui jalan terjal. Pada 22 November 2019, Uni Eropa memulai konsultasi dengan Indonesia terkait dengan pembatasan ekspor bahan-bahan mentah (raw materials) dari Indonesia untuk produksi stainless steel di Eropa.
Pada 14 Januari 2021, Uni Eropa mengajukan pembuatan sebuah panel di Dispute Settlement Bodies The World Trade Organization (DSB WTO) dan selanjutnya Uni Eropa mengajukan gugatan terhadap kebijakan larangan ekspor nikel dari Indonesia di badan WTO tersebut. Uni Eropa mengajukan perhatian kepada Indonesia, yaitu (1) larangan ekspor biji nikel oleh Indonesia; (2) pengolahan dan pemrosesan nikel, kromium, batubara, dan iron ore; 3) adanya kewajiban pasokan produk nikel dan batubara bagi pasar dalam negeri; (4) perizinan ekspor bagi nikel dan batubara; dan (5) skema subsidi yang dilarang (WTO, 2022).
Selanjutnya Uni Eropa mengajukan gugatan terhadap kebijakan larangan ekspor nikel dari Indonesia di badan WTO tersebut.
Pada 17 Oktober 2022, putusan dari DSB WTO atas gugatan Uni Eropa untuk perkara larangan ekspor nikel Indonesia dengan nomor DS 592 adalah: kebijakan Indonesia atas pembatasan ekspor, persyaratan pengolahan, dan pemurnian nikel domestik melanggar peraturan WTO Pasal XI 1 dan Pasal XI 2 GATT tahun 1994 (quantitative restrictions) dan XX (d) GATT tahun 1994 (general exceptions-necessary to secure compliance with laws and regulations).
Pada 8 Desember 2022, Indonesia menotifikasi putusan DSB WTO tersebut dan mengajukan banding atas putusan tersebut (WTO dan CNN Indonesia, 2022). Pada 7 Juli 2023, Uni Eropa merespons langkah Indonesia di atas dengan melakukan konsultasi dengan pelbagai pihak yang berkepentingan di Uni Eropa untuk penggunaan the enforcement regulation terhadap perkara pembatasan ekspor nikel dengan Indonesia.
Singkatnya, Uni Eropa bisa menegakkan peraturan dan kewajiban internasional terhadap mitra eksternalnya di WTO ketika proses sengketa dagang sedang terhambat karena Badan Sengketa WTO tidak berfungsi normal. Meski demikian, Uni Eropa tetap mengikuti prosedur penyelesaian sengketa dengan niat baik (European Commission, 2023).
Ditambah lagi, Indonesia keberatan atas pengenaan bea masuk imbalan dan bea antidumping dari Uni Eropa atas produk-produk baja dari Indonesia. Pada 30 Mei 2023, DSB WTO resmi membentuk panel sengketa dagang antara Uni Eropa dan Indonesia terkait hal tersebut. Konsultasi antara Indonesia dan Uni Eropa atas produk baja Indonesia pada 13 Maret 2023 tidak menghasilkan jalan keluar. Akhirnya, Indonesia memohon pembentukan panel sengketa di DSB WTO terhadap kebijakan Uni Eropa tersebut di tanggal 18 April 2023.
Indonesia keberatan atas pengenaan bea masuk imbalan dan bea anti-dumping dari Uni Eropa atas produk-produk baja dari Indonesia.
Uni Eropa menjelaskan bahwa kebijakannya terkait bea masuk dan bea anti-dumping selaras dengan perjanjian WTO dan menanggapi kecewa atas pembentukan panel tersebut. Meskipun demikian, Uni Eropa menghormati keputusan Indonesia tersebut. Lebih lanjut, Uni Eropa tetap berkomunikasi dengan Indonesia terkait pengaturan sementara timbal balik sesuai Pasal 25 DSU selama Badan Sengketa WTO belum berfungsi (Kementerian Luar Negeri, 2023).
Semua hal di atas membayangi perundingan Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) yang sedang berjalan dan belum ada titik terang kapan akan selesai. Ke depan, perbedaan pandangan di atas perlu segera diselesaikan oleh Uni Eropa dan Indonesia dan negara ASEAN lainnya dalam rangka meningkatkan dan mempererat hubungan ekonomi di antara mereka.
Kedua, Uni Eropa dan ASEAN memiliki pandangan yang berbeda tentang krisis Myanmar. Pada satu sisi, Uni Eropa mengecam kudeta militer terhadap pemerintahan sipil di Myanmar pada 1 Februari 2021 dan memberlakukan sanksi terhadap para pemimpin militer Myanmar dan perusahaan Myanmar (Kompas.com, 2021).
Di sisi lainnya, ASEAN mengajak semua pihak yang terlibat dalam krisis Myanmar untuk menahan diri dan menurunkan ketegangan yang terjadi di Myanmar. ASEAN melakukan pelibatan konstruktif terhadap Myanmar dengan mendorong pelaksanaan lima poin konsensus ASEAN terkait Myanmar yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN di pertemuan ASEAN tahun 2021 (ASEAN Secretariat, 2021).
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang ke-40 dan ke-41 di Kamboja pada 2022, para pemimpin ASEAN menilai bahwa pelaksanaan atas lima point konsensus ASEAN terkait Myanmar belum berjalan optimal setelah satu tahun disepakati. Pada 10-11 Mei 2023 saat KTT ASEAN yang ke-42 di Indonesia, para pemimpin ASEAN menegaskan kembali bahwa lima poin konsensus ASEAN terkait Myanmar adalah referensi utama ASEAN bagi penyelesaian damai di Myanmar dan mendorong Ketua ASEAN mencari solusi damai terhadap krisis Myanmar dengan jalan dialog nasional inklusif yang disetujui oleh dan sesuai dengan harapan pelbagai pihak di Myanmar (ASEAN Secretariat, 2022 dan 2023).
Beginda Pakpahan, Analis Politik dan Ekonomi Global dengan PhD dari University of Edinburgh, Inggris