Jelang Pilpres 2024, belum ada satu pun bakal calon presiden yang mempunyai bakal calon wakil presiden. Kriteria yang diharapkan menjadi bacawapres mulai dari elektabilitas yang tinggi hingga dukungan Presiden Jokowi.
Oleh
ARDI WINANGUN
·4 menit baca
Dalam Pemilu Presiden tahun 2024 sepertinya lebih susah memiliki bakal calon wakil presiden daripada bakal calon presiden. Buktinya, saat ini sudah ada tiga bakal capres, yakni Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Posisi mereka sebagai bakal capres sepertinya sudah pasti sebab partai politik yang ada sudah membentuk tiga kekuatan. Meski ada lobi-lobi dan godaan politik, tidak membuat jumlah bakal capres berkurang apalagi bertambah.
Ketika bakal capres dengan mudahnya hadir dalam pentas politik menjelang pilpres, justru saat ini partai politik dihadapkan kepada sulitnya memilih pendamping bakal capres. Hal demikian terlihat dari tiga tokoh yang mengemuka, tetapi masih jomblo semua, belum adanya pasangan dari mereka. Untuk memilih bakal cawapres, saat ini partai politik terlihat wira-wiri, lobi sana-sini, dan tak lelah-lelahnya mengadakan pertemuan politik.
Meski sudah ada kesepakatan bahkan perjanjian tertulis, itu belum menjadi jaminan segera lahirnya pasangan bakal capres-bakal cawapres. Lihat saja perjanjian koalisi antara Partai Gerindra dan PKB yang sudah hampir puluhan bulan tetapi hingga kini Prabowo Subianto dari Partai Gerindra belum berpasangan padahal kesepakatan yang ada pastinya akan menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai bakal cawapres dari PKB. Kesepakatan yang ada belum segera dilaksanakan.
Pun demikian Anies Baswedan yang belum memiliki pasangan. Padahal, isu kuatnya Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bakal cawapres pendamping Anies Baswedan. Namun, hingga detik ini belum ada kepastian.
Ketiadaan kepastian posisi orang kedua inilah yang membuat partai politik membuka diri untuk melakukan lobi-lobi dan pertemuan di tataran posisi yang tinggi, yakni pertemuan pendiri partai, ketua umum, dan sekjen partai. Dari sinilah terjadi pertemuan antarpartai meski mereka sudah berkoalisi atau telah mempunyai kutub.
Partai Gerindra yang sudah berkoalisi dengan PKB, masih juga mengadakan pertemuan dengan Partai Demokrat. PDI-P mengadakan pertemuan dengan Partai Demokrat. PDI-P juga mengadakan pertemuan dengan PKB. Dan Partai Gerindra mengadakan kunjungan ke Sekretariat Partai Demokrat.
Pertemuan yang dilakukan itu pasti ujung-ujungnya membahas posisi bakal cawapres. Secara terbuka, PDI-P menyatakan ada lima sosok yang layak mendampingi Ganjar Pranowo. Dua di antara nama itu adalah Muhaimin Iskandar dan AHY. Pengumuman secara terbuka sosok-sosok yang layak mendampingi Ganjar Pranowo inilah yang membuat PKB dan Partai Demokrat mau bertemu dengan PDI-P.
PKB dan Partai Demokrat mau bertemu dengan PDIP sebab di koalisi yang sudah terbentuk, baik Muhaimin dan AHY belum ada kepastian dirinya menjadi bacawapres. Pun demikian saat Partai Demokrat bertemu dengan Gerindra.
Dari paparan di atas, terlihat partai pengusung bacapres masih intensif mengadakan lobi-lobi dan pertemuan dengan partai yang lain sampai mereka mendapat bakal cawapres yang dirasa paling pas dan tepat. Lalu apa kriteria yang diinginkan partai pengusung bacapres dalam memilih bakal cawapres.
Terlihat partai pengusung bacapres masih intensif mengadakan lobi-lobi dan pertemuan dengan partai yang lain sampai mereka mendapat bacawapres yang dirasa paling pas dan tepat.
Ada beberapa kriteria, pertama, bakal cawapres yang ada memiliki elektabilitas yang tinggi. Ini sangat penting agar keberadaannya menambah atau menguatkan elektabilitas bakal capres. Nah, kalau kita lihat rupanya elektabilitas bakal cawapres yang ada dimiliki oleh sosok-sosok di luar partai, bukan ketua umum partai. Sosok-sosok luar partai yang dari survei yang berseliweran di antaranya Erick Thohir dan Sandiaga Uno.
Elektabilitas yang tinggi inilah yang membuat bakal capres yang ada lebih melirik mereka daripada ketum partai yang elektabilitasnya kurang mendukung. Pilihan pada elektabilitas inilah yang membuat bakal capres yang muncul, berani atau mau melanggar kesepakatan-kesepakatan yang sudah terjalin.
Koalisi yang ada pun bisa bubar. Apabila Prabowo Subianto memilih bacawapres selain Muhaimin Iskandar, misalnya, pasti Prabowo akan melanggar dari perjanjian yang sudah disepakati bersama PKB dan koalisi kedua partai itu bisa bubar.
Kedua, bakal capres yang ada memilih pasangan dengan ”gizi” yang kuat. Pilpres di Indonesia adalah kontestasi politik yang tidak hanya melelahkan, tetapi juga perlu dana yang besar. Luas wilayah Indonesia yang demikian membentang, ditambah dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, membuat diperlukan banyak orang untuk mengawal dan menyukseskan.
Di sinilah perlu dana yang tidak sedikit. Dana yang ada digunakan untuk menggerakkan relawan dan perangkat politik yang mendukung. Untuk itulah maka perlu ada dukungan dana dari pihak-pihak tertentu yang mampu meng-cover kemenangan.
Nah, di sinilah sosok yang memiliki elektabilitas yang tinggi sekaligus seorang pengusaha akan menjadi pilihan.
Di antara mereka yang mampu menyediakan dana itu ya dari pengusaha. Nah, di sinilah sosok yang memiliki elektabilitas yang tinggi sekaligus seorang pengusaha akan menjadi pilihan. Tak heran sosok Erick Thohir dan Sandiaga Uno sebagai pengusaha besar kerap dilirik dan didorong oleh partai politik menjadi bakal cawapres sebab dua orang itu bisa diandalkan dari segi pendanaan.
Ketiga, sosok yang didukung Presiden Joko Widodo. Dua dari tiga bakal capres, yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, saat ini berharap betul dukungan dari Joko Widodo. Untuk itu, mereka saat ini berusaha untuk menempel terus kepada mantan Wali Kota Solo itu. Kedekatan dengan Joko Widodo dianggap sebagai bentuk dukungan.
Baik Prabowo Subianto maupun Ganjar Pranowo tidak hanya berjanji akan melanjutkan program pembangunan, tetapi juga mau melaksanakan apa yang diomongkan Joko Widodo. Dalam posisi bakal cawapres, terutama Prabowo Subianto, tidak hanya rela menunggu pilihan dari Joko Widodo tetapi juga mendekati sosok yang paling dekat dengan Jokowi.
Kriteria-kriteria di ataslah yang bisa jadi pilihan bakal capres untuk memilih pasangannya. Meski demikian perlu diingatkan kepada bakal capres bahwa kemenangan dalam pemilu juga diperlukan infrastruktur partai politik. Infrastruktur partai politik yang ada di parlemen saat ini memiliki jangkauan yang luas. Ia tersebar di berbagai provinsi, kabupaten, kota, bahkan sampai pelosok hingga pulau-pulau kecil.
Infrastruktur itu dimiliki oleh ketum partai sehingga memilih ketum partai sebagai bacawapres juga harus dijadikan salah satu rujukan atau pilihan. Infrastruktur itulah yang akan menggerakkan mesin-mesin politik di berbagai jangkauan. Dengan mesin politik itulah mampu mendulang suara yang ada.