Eks Tapol 1965 dan Beban Sejarah yang Tidak Juga Hilang
Buku ini mengetengahkan satu hal yang tidak banyak diketahui masyarakat, termasuk para sarjana, mengapa para eks tahanan politik perempuan berusaha mempertahankan identitas yang mereka yakini, melalui narasi tandingan.
Judul : Suara Mereka yang Kembali dan Dikembalikan. Kisah Eks Tapol Perempuan 1965
Penulis: Amurwani Dwi L
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xviv; 408 hlm
Tahun terbit: Cetakan I, 2023
ISBN: 978-623-346-865-7
Judul buku yang ditulis oleh Amurwani Dwi L ini tidak hanya menarik, tetapi juga merangkum seluruh narasi yang diuraikan dalam buku yang merupakan adaptasi dari disertasinya tahun 2023. ”Mereka yang kembali” adalah para eks tahanan politik perempuan yang beradaptasi dengan lingkungannya lewat sejumlah upaya yang kuat, walau ada banyak tantangan.
Mereka berusaha untuk melebur bersama masyarakat lewat kegiatan arisan RT, pengajian, PKK, dan posyandu. Mereka sepenuhnya ingin melupakan masa lalu dengan memutus hubungan dengan eks tahanan politik lainnya. Sementara itu, ”mereka yang dikembalikan” adalah orang-orang yang belum sepenuhnya ”menerima kenyataan” (hlm 360).
Mereka mengatakan bahwa negara telah memperlakukan mereka dengan tidak adil karena ditahan dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Selain itu, mereka merasa tidak bersalah. Kelompok yang kedua ini memiliki strategi adaptasi bertahap yang berbeda dengan kelompok pertama.
Dalam periode pertama (1979-1998), mereka bertahan hidup dengan menyembunyikan identitas dan meleburkan diri pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masa awal reformasi hingga 2004 merupakan periode kedua bagi kelompok ini. Mereka mulai membangun jaringan dan melakukan konsolidasi dengan sesama eks tahanan politik Orde Baru. Mereka berjuang secara terbuka untuk mengartikulasikan kembali identitas dan kedudukan mereka dalam masyarakat. Dalam periode ini pula, pemerintah mewacanakan pentingnya rekonsiliasi untuk mengungkap apa yang terjadi di masa lalu.
Mereka mengatakan bahwa negara telah memperlakukan mereka dengan tidak adil karena ditahan dan dipenjara tanpa proses pengadilan.
Dengan tantangan dari banyak kalangan, niat pemerintah ini menemui jalan buntu. Kegagalan rekonsiliasi struktural inilah yang mendorong mereka untuk memasuki periode ketiga (2004-2019) dengan mengajukan gugatan perwakilan kepada lima presiden di era reformasi. Ini adalah bentuk perlawanan terbuka. Mereka juga melakukan sejumlah pertunjukan, peluncuran buku, dan pembuatan film yang berisi pengalaman mereka selama menjadi tahanan politik (hlm 361).
Pembebasan dalam pengawasan
Tema eks tapol 1965 seolah tidak pernah selesai dibahas. Terdapat banyak karya terkait tema ini. Kita dapat menyebut beberapa, yaitu John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008); Dahlia Gratia Setiyawan, The Cold War in the City of Heroes: U.S.-Indonesian Relations and Anti-Communist Operations in Surabaya, 1963-1965 (2014); Ita F Nadia, Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 (2009), Sarkawi B Husain, ”Menjemput Kerinduan Keluarga” Penyelesaian dan Pengembalian Tahanan Politik PKI ke Masyarakat 1965-1979 (2017).
Layaknya sebuah karya ilmiah, semakin intens riset itu dilakukan, maka semakin banyak celah yang tidak diketahui. Dan buku ini, mengetengahkan kepada kita tentang satu hal yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk para sarjana, yakni mengapa para eks tahanan politik perempuan masih berusaha mempertahankan identitas yang mereka yakini, melalui narasi tandingan dalam berbagai bentuk wadah organisasi (hlm 9).
Celah ini dikaji intensif oleh Amurwani dan dituangkan dalam delapan bab. Setelah pendahuluan, penulis menguraikan Penangkapan dan Pemenjaraan (bab II), Pembinaan, Pembebasan, dan Pengawasan, 1968-1979 (bab III), Masa Transisi 1979-1998 (bab IV), Konsolidasi dan Aksi, 1998-2005 (bab V), Dari Winodja Binangkit ke Dialipa 2005-2019 (bab VI), ”Kiprah Perempuan” di Yogyakarta, 2006-2019 (bab VII), yang kemudian bab penutup.
Salah satu bagian adalah bagaimana pemerintah melakukan pembebasan, tapi sekaligus pengawasan. Tulisan tentang proses pemulangan para tahanan dari Pulau Buru, misalnya, sangat terbatas. Padahal, sepanjang tahun 1976 hingga 1979, surat kabar dan majalah memberitakannya.
Harian Kompas, 28 Desember 1977 misalnya, memberitakan bahwa 1.501 eks tahanan G30S golongan B di Pulau Buru tiba di Surabaya. Mereka disambut sukacita oleh keluarga mereka. Sementara itu, majalah Jawa, Jaya Baya, dalam terbitan 24 Desember 1977 melaporkan bahwa 10.000 tahanan politik G30S/PKI dibebaskan dan menyusul 20.000 tahanan akan dibebaskan tahun 1978 dan 1979.
Terdapat paling tidak tiga pertimbangan pemerintah dalam penyelesaian tahanan politik PKI dan pengembalian mereka ke masyarakat. Pertama, alasan kemanusiaan. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR/MPR Adam Malik saat menerima delegasi Badan Kontak Eksponen Angkatan 66 di DPR pada 6 Desember 1977. Kedua, ketiadaan dasar hukum. Hingga masa pemulangan tahanan, tidak ada undang-undang yang mengharuskan penahanan seterusnya. Ketiga, tekanan politik internasional atas penghargaan terhadap HAM yang gencar dilakukan negara Barat.
Indonesia, di bawah rezim Orde Baru yang didukung oleh negara-negara Barat, merupakan negara dunia ketiga yang menjadi lahan subur bagi investasi modal luar negeri. Namun, mereka juga mendesak pemerintahan Soeharto untuk membebaskan para tapol.
Terdapat paling tidak tiga pertimbangan pemerintah dalam penyelesaian tahanan politik PKI dan pengembalian mereka ke masyarakat.
Persoalan baru
Pemulangan para eks tahanan politik tersebut ternyata tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, para eks tahanan politik ini menghadapi masalah baru, yakni persoalan penerimaan oleh masyarakat. Pangkopkamtib Laksamana TNI Sudomo lalu mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan eks tahanan atau narapidana G30S/PKI untuk kembali kepada profesi semula.
Hanya saja, mereka harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, para eks tapol tidak akan lagi mempersoalkan ideologi komunis yang sudah dilarang dan juga tidak akan berusaha memperjuangkan kepentingan Partai Komunis Indonesia yang sudah dibubarkan dan dilarang di Indonesia.
Walaupun masih harus memenuhi persyaratan, kebijakan tersebut tetap disambut dengan baik oleh sejumlah pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Akan tetapi, menurut ketua LBH saat itu, kebijakan ini tidak serta-merta membuat para mantan tahanan politik tersebut leluasa kembali pada profesi sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yakni pertama, di setiap kartu tanda penduduk (KTP) mantan tahanan itu tercantum kode ET (eks tahanan G30S). Kedua, mereka wajib lapor ke Kantor Koramil. Ketiga, masyarakat belum sepenuh hati menerima eks tahanan tersebut (Memorandum, 16/8/1982).
Dibandingkan persoalan yang pertama dan kedua, persoalan ketiga tampaknya jauh lebih serius dihadapi oleh eks tahanan politik yang menjadi fokus kajian buku ini. Mengorek cerita tentang pengalaman seorang eks tahanan politik bukan perkara mudah. Selain berkejaran dengan waktu (mengingat usia mereka yang semakin menua), rasa trauma tentu menjadi persoalan tersendiri. Namun Amurwani mampu mendekati dan menunjukkan empatinya kepada korban.
Sejak tahun 2019, Amurwani telah menghimpun banyak pengalaman eks tahanan politik perempuan. Amurwani telah riset mendalam dengan berhasil mengumpulkan banyak sumber yang kemudian dianalisis.
Akhirnya, lewat buku ini, Amurwani mengingatkan kita pada salah satu kalimat dari film The Uninvited (2009). ”Kau dapat melanjutkan hidup dengan ingatan atau hidup dengan melupakan”.
Sarkawi B. Husain Dosen pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya