Beberapa pekan terakhir, kelangkaan elpiji 3 kilogram kembali terjadi di sejumlah daerah. Tak kurang, Presiden kembali mengingatkan, gas melon hanya untuk warga miskin.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Seperti pada kasus kelangkaan elpiji 3 kilogram (kg) sebelumnya, penyebab kelangkaan masih sama, yakni persoalan harga, tata niaga, dan distribusi. Disparitas harga yang sangat tajam antara elpiji 3 kg yang bersubsidi dan elpiji 12 kg yang nonsubsidi membuat sebagian masyarakat yang tidak berhak mendapat subsidi beralih menggunakan elpiji 3 kg.
Akibatnya, subsidi menjadi tidak tepat sasaran karena tidak hanya dinikmati oleh kelompok miskin. Konsumsi elpiji 3 kg menjadi melonjak dan beban subsidi juga membengkak. Peningkatan penggunaan elpiji 3 kg ini juga membuat stoknya di pasar menjadi langka dan memicu panic buying di masyarakat. Konsumen yang berhak menjadi dirugikan karena sulit mendapatkan dan, kalaupun ada, harganya melambung.
Dari sisi Pertamina, pasokan dilaporkan tidak bermasalah. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam beberapa kasus juga mengendus adanya persaingan tidak sehat dalam tata niaga dan distribusi elpiji 3 kg.
Terus berulangnya kelangkaan elpiji 3 kg dengan pola yang sama ini memunculkan desakan untuk dilakukannya pembenahan, baik dari sisi harga, distribusi, maupun kebijakan subsidi. Termasuk dengan memperketat pengawasan terhadap potensi penyimpangan dalam distribusinya.
Pertamina juga diminta menertibkan dan mengawal distribusi sampai konsumen untuk memastikan ketersediaan pasokan serta penyaluran elpiji 3 kg tepat sasaran.
Kontrol oleh Pertamina selama ini hanya sampai tingkat agen atau pangkalan. Adapun mekanisme penjualan dan penyaluran dari pangkalan sampai ke konsumen akhir di luar kewenangan Pertamina.
Pemerintah daerah bisa menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Di tingkat pengecer, harga yang terbentuk juga merupakan mekanisme pasar sehingga tidak tertutup kemungkinan ada agen atau pangkalan yang bermain dengan menetapkan harga di atas HET, melakukan penimbunan, atau bahkan pengoplosan elpiji 3 kg.
Jika terjadi penyimpangan seperti ini, penegakan hukum oleh pemerintah sering kali dinilai juga tidak tegas.
Dari sisi masyarakat, belum ada kesadaran, solidaritas, dan rasa malu dari sebagian kelompok mampu untuk tidak mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Inkonsistensi pola distribusi elpiji, dari semula tertutup menjadi terbuka sehingga siapa pun bisa membeli, juga ikut menyumbang terjadinya penyimpangan dalam distribusi elpiji 3 kg.
Untuk itu, pengawasan lebih ketat oleh Pertamina—bekerja sama dengan pemerintah daerah dan aparat—juga perlu didukung dengan pendataan konsumen yang lebih akurat serta penegakan hukum yang lebih tegas. Termasuk di antaranya menindak orang dalam yang ikut bermain atau memutus kontrak kerja sama dengan distributor nakal.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO