Arah Demokrasi Politik Siber
Ruang siber bisa mengakselerasi kehidupan yang demokratis jika masyarakat sudah siap secara mental dan intelektual. Jika belum, demokrasi menjadi melelahkan karena mengurusi pertengkaran yang tak berujung.
Kala itu, Wakil Presiden Ke-45 Amerika Serikat Albert Arnold Gore menyampaikan pidatonya, ”Cyberspace adalah obat mujarab bagi sakitnya demokrasi di Amerika.” Menurutnya, cyberspace atau ruang siberakan menciptakan kemandirian politik, kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kini, kita sudah di pertengahan tahun 2023, apakah pidato 27 tahun silam itu benar adanya?
Optimisme Al Gore tersebut mirip proyeksi para cyberist, mereka percaya cyberspace bisa memaksimalkan proses demokratisasi yang ideal. Mereka mendambakan cyberspace menjadi replikasi virtual agora di masa Yunani.
Namun, bukankah cyberspace justru terbukti mengamplifikasi gelombang post truth (pascakebenaran) di negeri ”Paman Sam”? Budi Gunawan (2021) dalam bukunya yang berjudul Demokrasi di Era Post Truth menegaskan kaitan perkembangan media sosial dengan fenomena post truth di Amerika.
Baca juga: Epidemi ”Post-truth”
Perusahaan konsultan Amerika Gallup, Inc pada 2021 menunjukkan hasil survei bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Amerika terhadap media arus utama (mainstream) memang menurun. Hanya sekitar 16 persen orang Amerika yang memiliki kepercayaan ”penuh” dan ”cukup” kepada media massa.
Pew Research Center, wadah nonpartisan di Amerika, merilis hasil survei terkait pengguna media sosial pada 2021. Sekitar 72 persen dari seluruh populasi dewasa Amerika menggunakan media sosial. Platform yang paling banyak digunakan Facebook, dengan persentase pengguna sekitar 69 persen. Selain itu, ada Instagram (40 persen), Pinterest (31 persen), Linkedln (28 persen), dan Twitter (25 persen). Dari total pengguna media sosial tersebut, sekitar 70 persen melaporkan menggunakan platform-platform ini setiap hari.
Pergeseran prefensi media informasi tersebut tidak lantaran memberikan dampak positif terhadap aras demokrasi Amerika. Berdasarkan studi terbaru dari Washington State University bahwa pengguna Facebook terungkap lebih sering membaca berita palsu tentang pemilu Amerika Serikat 2020. Data ini juga pernah dilaporkan oleh stasiun televisi KGW (saluran 8) Portland, Amerika Serikat. Jika Amerika dengan kemajuan sains dan teknologi porak-poranda oleh hoaks, bagaimana dengan Indonesia?
Empat catatan
Setidaknya ada empat alasan mengapa cyberspace sulit menjadi ruang publik yang menjanjikan bagi iklim demokrasi (Piliang; 2004); Pertama, komodifikatif; ruang publik virtual pada dasarnya tidak berbeda dengan media utama, seperti televisi. Di sana juga akan melakukan komersialisasi informasi. Jadi, masyarakat di ruang publik virtual diperhadapkan oleh pertukaran komoditas informasi, hiburan, dan tontonan. Ruang virtual malah terjebak kepada society of the spectacle seperti yang dimaksud Guy Debord.
Kedua, surveilence dan disinformation; penggunaan akun untuk mengakses informasi akan membuka peluang setiap orang diawasi secara diam-diam. Meminjam istilah Foucault; kita akan terpanoptifikasi oleh sekelompok elite (kekuasaan) yang punya akses data lebih. Kita memiliki ketakutan atau paling tidak perasaan cemas untuk berkomentar terhadap isu tertentu karena merasa terpantau oleh sesuatu. Begitulah corak kekuasaan data bekerja. Apa yang diyakini Jurgen Habermas bahwa dalam cyberspace orang merasa tidak pernah diawasi dan bisa menyembunyikan identitasnya sepertinya sulit terealisasi.
Baca juga: Menjaga Demokrasi di Ruang Digital
Ketiga, hiperealitas media; perkembangan teknologi media mendorong penciptaan realitas yang direkayasa. Jeand Baudrillard menjelaskan fenomena semacam ini dalam konsepnya, simulation. Dalam proses simulasi; realitas virtual yang diproduksi mirip dengan realitas aslinya, bahkan bisa melampaui. Kondisi ini malah membawa masyarakat terkecoh dari fakta karena menyaksikan realitas citraan tanpa tahu makna yang sebenarnya.
Keempat, etika digital; ruang virtual seperti cenderung menanggalkan perasaan bertubuh seseorang. Kita dalam realitas digital adalah akun. Kecenderungan ini akan mendorong perasaan bebas dan merdeka. Jika meminjam istilah Body Without Organs dari Gilles Deleuze, dan Félix Guattari. Konsep ini menunjukkan bahwa setiap orang berupaya melepaskan aspek kebertubuhannya dari struktur sosialnya sehingga aspek etika dan moralitas sering kali terabaikan. Itulah sebabnya, seorang pakar politik atau ahli di bidang tertentu bisa disalah-salahkan oleh seseorang yang tidak jelas nasab belajarnya.
Media sosial dan polarisasi politik
Seorang psikolog perilaku dari Amerika Serikat, Jonathan Haidth, meyakini bahwa rasionalisasi kita tidak pernah benar-benar obyektif. Kita hanya menggunakan rasionalitas untuk kecenderungan politik masing-masing. Dalam bukunya yang berjudul The Righteous Mind, ia menegaskan bahwa koservatisme ataupun liberalisme tidak selalu dalam afiliasi politik tertentu, melainkan tipe keperibadian. Ternyata apa yang ditemukan oleh Haidth menambah kekhawatiran kita terkait ekosistem digital, di mana media sosial sering kali menyediakan pengalaman yang disesuaikan secara pribadi. Konten dan informasi yang ditampilkan kepada pengguna sejalan dengan pandangan dan keyakinan mereka.
Kondisi ini menciptakan filter gelembung atau echo chamber, yakni orang kemungkinan besar terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri. Akibatnya, opini ekstrem dan polarisasi semakin menguat. Orang akan semakin fanatik kepada pendapatnya. Ditambah lagi media sosial semakin menghubungkan orang-orang dengan mereka yang berpandangan sama. Demikianlah kira-kira mengapa Pilkada DKI dan Pilpres 2019 begitu melelahkan karena kehadiran media sosial terus menganalisasi percakapan yang berseberangan.
Algoritma ini dirancang untuk meningkatkan keterlibatan dan waktu yang dihabiskan oleh pengguna di platform, yang mengarah kepada peningkatan polarisasi.
Media sosial dengan teknologi algoritmanya akan menentukan konten apa yang ditampilkan kepada setiap pengguna. Algoritma ini dirancang untuk meningkatkan keterlibatan dan waktu yang dihabiskan oleh pengguna di platform, yang mengarah kepada peningkatan polarisasi. Ketika konten yang ekstrem atau provokatif lebih sering ditampilkan, pengguna lebih cenderung reaktif, bahkan kadang agresif. Secara pasti teknologi telah mengondisikan setiap pengguna media sosial saat ini.
Seorang analis teknologi, Neil Postman, dalam Technopoly: The Surrender of Culture to Technology (1992) menegaskan bahwa teknologi dan media dapat memengaruhi cara berpikir dan kebiasaan masyarakat. Menurutnya, teknologi pada kondisi tertentu tidak lagi sebatas alat komunikasi, dia (teknologi) memiliki otoritasnya sendiri. Teknologi akan membawa kita kepada mekanisme kerjanya sendiri. Jika dahulu media sosial lebih banyak digunakan mencari dan mengabarkan informasi, sekarang banyak dipakai untuk bersilat komentar.
Harapan kita
Memang cyberspace bisa mengakselerasi kehidupan yang demokratis. Hal itu cukup realistis jika masyarakat kita sudah siap secara mental dan intelektual. Namun, jika belum siap, sebaliknya demokrasi menjadi melelahkan karena mengurusi pertengkaran yang tak berujung.
Ilmuwan politik Harvard, Steven Levitsky, membaca fenomena semacam ini sebagai satu tanda kematian demokrasi. Beberapa poin diuraikan dengan apik dalam bukunya, How Democracies Die. Salah satu cara kematian demokrasi, menurutnya, adalah ”Ketika demokrasi memangsa dirinya sendiri”.
Baca juga: Mempertegak Demokrasi Digital
Satu di antara kemestian yang diperlukan menghadapi situasi ini adalah kesadaran kritis. Kesadaran kritis bisa menghindarkan kita jatuh ke dalam situasi yang memperkuat polarisasi. Kesadaran kritis pula yang bisa mendorong media sosial menjadi ruang publik yang sehat. Dengan demikian, kita bisa secara aktif mereproduksi peristiwa diskursif tanpa mencederai keberagaman yang ada.
Selain kesadaran kritis, kita juga perlu menghidup-hidupkan apa yang dimaksud oleh Timothy leary sebagai ”kesadaran tinggi”. Kita juga mesti optimistis membangun The Virtual Community sebagaimana yang didambakan oleh Howard Rheingold. Terakhir, semoga kita bisa membangun miniasi masyarakat madani di dunia virtual. Semoga saja.
Sopian Tamrin, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Makassar