Disinformasi
Di Bali Democracy Forum 2022 juga mengemuka, salah satu penyebab demokrasi jalan di tempat atau mundur adalah disinformasi di media sosial.
Di Amerika dan Indonesia serta sejumlah negara lain, disinformasi, misinformasi, malinformasi, dan hoaks di media sosial memproduksi kekerasan, politik identitas, dan populisme, yang berujung pada polarisasi sosial.
Di Amerika pada pemilihan presiden 2020, disinformasi di media sosial bahwa pemilu curang sampai memicu penyerangan terhadap Gedung Capitol pada 6 Januari 2020.
Di Indonesia, pada Pilpres 2019, disinformasi di media sosial bahwa Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin curang memantik unjuk rasa di muka gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang kemudian berubah menjadi kekerasan.
Baca juga : Kuasa Algoritma dan Polarisasi Politik
Kekerasan yang memperlihatkan polarisasi tidak hanya terjadi di dunia digital, tetapi juga dunia sosial. Dalam kasus Indonesia, selain disinformasi pilpres dicurangi, kekerasan juga dipicu hoaks adanya ”tentara China” dan ”polisi menyerang masjid di Tanah Abang”.
Isu ”tentara China” dan ”penyerangan masjid” menunjukkan berlangsung disinformasi bernuansa politik identitas. Politik identitas semacam itu juga mengandung populisme.
Dalam disinformasi terkait China, terkandung praktik membenturkan elite Tionghoa dan rakyat. Dalam disinformasi bernuansa agama, terkandung praktik politik menghadap-hadapkan elite dan umat. Populisme semacam ini terang benderang menyebabkan polarisasi sosial di dunia nyata.
Disinformasi mengabaikan hak rakyat mendapatkan informasi akurat. Demokrasi mensyaratkan terpenuhinya hak rakyat akan informasi yang benar sebagaimana diatur dalam konstitusi kita. Disinformasi yang memantik kekerasan dan polarisasi di masyarakat lebih bertentangan lagi dengan demokrasi.

Demokrasi mensyaratkan ”persatuan dalam perbedaan”, ”kompetisi dalam harmoni”. Masuk akal jika dikatakan disinformasi adalah biang keladi demokrasi jalan di tempat, bahkan mundur.
Partisipasi dan kolaborasi
Pada April 2019 ketika berlangsung Pilpres 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengidentifikasi ada 207 disinformasi politik. Pada Pemilu 2024, potensi maraknya disinformasi di media sosial makin besar, melampaui Pemilu 2019.
Transformasi digital telah memperluas jangkauan internet di Tanah Air. Kepemilikan telepon pintar juga kian luas. Untuk mengurangi potensi kian maraknya disinformasi di media sosial pada Pemilu 2024, kita mesti mengambil langkah menyeluruh, dari hulu ke hilir.
Dalam terminologi hukum, kita mesti mengambil langkah yang sifatnya preventif-edukatif (hulu), korektif (tengah), dan represif (hilir).
Untuk mencegah disinformasi di media sosial, literasi digital adalah suatu keniscayaan. Pemerintah memiliki program Gerakan Nasional Literasi Digital. Publik diedukasi agar menggunakan media sosial untuk menyampaikan konten atau pesan yang benar, positif, kritis, optimistis, dan produktif. Literasi digital merupakan kebijakan di hulu yang bersifat preventif-edukatif.
Hanya mereka yang telah terliterasikan yang bisa menjadikan media sosial sebagai ruang publik untuk berdialog dan berdiskusi.
Lewat literasi digital kita menginginkan media sosial, yang tadinya sekadar arena konfirmasi, menjadi ajang diskusi, menjadi ruang publik (public space, public sphere). Hanya mereka yang telah terliterasikan yang bisa menjadikan media sosial sebagai ruang publik untuk berdialog dan berdiskusi.
Kita juga mesti memantau ruang digital dan membersihkannya dari disinformasi, misinformasi, malinformasi, dan hoaks. Peraturan perundang-undangan mengamanatkan pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, untuk memantau ruang digital.
Kemenkominfo menjalin kerja sama dengan penyelenggara pemilu, Bawaslu, dalam memantau ruang digital atau media sosial. Kemenkominfo memiliki tiga mekanisme pemantauan ruang digital, yakni menggunakan automatic identification system (AIS), patroli siber, dan laporan masyarakat.
Apabila menemukan disinformasi, misinformasi, malinformasi, atau hoaks, Kemenkominfo meminta platform digital, seperti Facebook, Google, Youtube, dan Tiktok, untuk men-take down konten-konten negatif itu. Literasi digital merupakan langkah di tengah yang bersifat korektif.

Media arus utama membantu membersihkan ruang digital dari disinformasi, misinformasi, malinformasi, atau hoaks, dengan melakukan kontranarasi melalui mekanisme cek fakta.
Media arus utama memverifikasi konten yang dicurigai sebagai disinformasi. Media kemudian menyebarluaskan hasil cek fakta agar masyarakat memahami bahwa konten tersebut tidak benar. Mekanisme cek fakta juga merupakan langkah di tengah yang bersifat korektif. Platform sesungguhnya tidak cuma bisa men-take down konten, tetapi dapat pula memblokir akun.
Di Pilpres AS 2020; Facebook, Instagram, dan Twitter memblokir akun Donald Trump. Platform digital kiranya tak ingin peristiwa di Pilpres AS 2016 terulang ketika Trump melancarkan serangan kepada lawannya, Hillary Clinton, dengan amunisi disinformasi. Pun memblokir akun merupakan langkah di tengah yang bersifat korektif.
Baca juga :Media, Tahun Politik dan Permainan
Keteladanan elite
Kasus diblokirnya akun Donald Trump di AS menunjukkan elite menjadi aktor penyebar disinformasi. Apabila tak menjadi aktor penyebar hoaks, elite sekurang-kurangnya membiarkan pendukung mereka menebarkan hoaks di media sosial.
Elite semestinya menjadi teladan dengan menolak penyebaran disinformasi, baik oleh dirinya maupun para pendukungnya. Elite semestinya menjadikan media sosial sebagai arena pendidikan politik.
Jika perbuatan menebarkan disinformasi sudah pada taraf pelanggaran hukum, penegakan hukum harus diterapkan demi pemilu tertib dan aman.
Penegakan hukum tentu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penegakan hukum ialah langkah di hilir yang bersifat represif. Kita berharap tindakan represif ini menjadi langkah terakhir.
Menjaga demokrasi di ruang digital membutuhkan partisipasi dan kolaborasi pemerintah, penyelenggara pemilu, penegak hukum, media, platform digital, elite, dan masyarakat. Jika kita semua sukses menjaga demokrasi di ruang digital, kualitas demokrasi kita meningkat.
Usman Kansong Dirjen IKP Kementerian Kominfo