Arab Saudi akhir pekan ini menggelar konferensi internasional perang Ukraina-Rusia. Terlalu muluk berharap perang akan berhenti lewat konferensi itu. Target realistisnya, mengamankan jalur ekspor gandum Ukraina ke Arab.
Oleh
Musthafa Abd Rahman
·5 menit baca
Arab Saudi kembali ingin unjuk gigi. Kali ini bukan di kancah regional, melainkan di pentas internasional. Diberitakan, Arab Saudi akan menjadi tuan rumah konferensi internasional tentang krisis perang Ukraina-Rusia pada 5 dan 6 Agustus ini.
Delegasi lebih dari 30 negara akan diundang dalam forum konferensi tersebut. Di antara negara-negara yang diundang adalah Indonesia, Mesir, Meksiko, Brasil, Zambia, Amerika Serikat, China, Jepang, India, dan sejumlah negara Eropa.
Bagi Arab Saudi, ini prestasi diplomasi pertama di tingkat internasional. Ini tentu semakin memperkokoh posisi Arab Saudi dan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). MBS terakhir ini sudah cukup berkibar dengan keberhasilan Riyadh menjadi tuan rumah peristiwa besar, seperti KTT AS-Arab pada Juli 2022 dan KTT China-Arab pada Desember 2022. Kemudian pada Mei 2023, Arab Saudi menjadi tuan rumah KTT Liga Arab dan perundingan damai Sudan.
Serangkaian peristiwa besar yang berhasil digelar di Arab Saudi itu tak lepas dari kebijakan luar negeri bebas aktif Arab Saudi di bawah kepemimpinan MBS. MBS berhasil membawa Arab Saudi keluar dari bayang-bayang terlalu lengket dengan AS. Ia juga cukup berhasil menempatkan Arab Saudi di posisi tengah antara AS, China, dan Rusia terakhir ini.
Inilah posisi yang ingin ditunjukkan Arab Saudi dengan menjadi tuan rumah konferensi internasional tentang isu perang Rusia-Ukraina.
Dengan posisi tersebut, Arab Saudi bisa menunjukkan niat baiknya dengan turun tangan membantu mencari solusi atas perang Rusia-Ukraina yang sudah memasuki bulan ke-18. Perang antara dua negara itu meletus sejak Februari 2022 tanpa ada titik terang menuju selesai. Bahkan, sebaliknya, perang Rusia-Ukraina semakin membara, dengan intervensi asing yang kian kuat, baik langsung maupun tidak langsung.
Arab Saudi pun merasa sudah tiba waktunya untuk turut berperan mencari solusi atas isu perang Rusia-Ukraina. Riyadh semakin menyadari bahwa berlarut-larutnya perang Rusia-Ukraina tidak hanya mengganggu stabilitas internasional, tetapi juga mengancam keamanan regional, khususnya dunia Arab.
Dalam konteks isu dunia Arab, Arab Saudi sebagai ketua bergilir Liga Arab (pasca-KTT Liga Arab di Arab Saudi pada bulan Mei 2023) merasa terpanggil–minimal secara moral–untuk mengamankan dunia Arab.
Arab Saudi mulai cemas isu perang Rusia-Ukraina akan semakin mengancam keamanan dunia Arab, khususnya keamanan di sektor pangan.
Arab Saudi tentu mulai cemas isu perang Rusia-Ukraina akan semakin mengancam keamanan dunia Arab, khususnya keamanan di sektor pangan. Kecemasan Arab Saudi yang utama dipicu oleh keputusan Rusia terakhir ini mundur dari kesepakatan izin ekspor gandum dan produk pestisida dari Ukraina melalui laut yang dimediasi PBB dan Turki.
Terhentinya ekspor gandum dan produk pestisida dari Ukraina itu mengancam keamanan pangan minimal enam negara Arab, yaitu Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Yaman, dan Tunisia. Mesir mengimpor 80 persen kebutuhan gandumnya dari Rusia dan Ukraina dengan rincian 50 persen dari Rusia dan 30 persen dari Ukraina. Menurut badan pusat statistik Mesir, Kairo mengeluarkan dana 4,2 miliar dollar AS untuk mengimpor gandum pada tahun 2022.
Pakar urusan pertanian Mesir, Abdul Tawab Barakat, menyebutkan, dampak perang Ukraina-Rusia sangat besar terhadap Mesir. Mesir harus menaikkan anggaran untuk belanja gandum dari negara-negara lain, seperti AS, Perancis, India, Jerman, dan Romania, di saat Mesir sedang menghadapi krisis ekonomi yang cukup akut.
Seperti halnya Mesir, Tunisia juga mengalami kesulitan pasca-Rusia mundur dari kesepakatan izin ekspor gandum dan produk pestisida dari Ukraina melalui Laut Hitam, sementara dalam waktu yang sama produksi gandum dalam negeri di Tunisia terus menurun. Menurut Kementerian Pertanian Tunisia, produksi dalam negeri biji gandum di Tunisia tahun 2023 menurun hingga 60 persen dibandingkan tahun 2022.
Ditambahkan, Tunisia butuh impor biji gandum hampir 100 persen untuk kebutuhan dalam 12 bulan mendatang. Butuh dana 1,3 miliar dollar AS dalam pengadaan impor biji gandum tersebut. Dalam pengadaan impor itu, Tunisia diprediksi mengalami kesulitan pengadaan dana. Tunis sampai saat ini gagal mencapai kesepakatan dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapatkan pinjaman.
Adapun Yaman, yang dilanda perang saudara sejak tahun 2015, semakin diperburuk oleh dampak perang Rusia-Ukraina. Menurut pusat informasi ekonomi di Yaman (lembaga independen nonpemerintah), Yaman butuh biji gandum sebanyak 4 juta ton per tahun, 3,8 juta ton di antaranya diimpor dari luar negeri, terutama dari Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2021, Yaman mengimpor 44 persen kebutuhan biji gandum dari Rusia dan Ukraina.
Meletusnya perang Rusia-Ukraina pada Februari 2022 menghentikan ekspor gandum dari dua negara yang berperang tersebut ke Yaman. Kesepakatan izin ekspor gandum dan produk pestisida dari Ukraina dengan mediasi PBB dan Turki, beberapa waktu lalu, cukup memberi harapan bagi Yaman. Setidaknya akan ada lagi aliran ekspor biji gandum dari Ukraina ke Yaman. Namun, keputusan Rusia mundur dari kesepakatan yang dimediasi PBB dan Turki itu memukul kembali Yaman.
Sudan, yang juga dilanda perang saudara sejak April lalu, juga terpukul oleh keputusan Rusia mundur dari kesepakatan izin impor dari Ukaina. Kebutuhan Sudan atas biji gandum mencapai lebih dari 2 juta ton per tahun. Produksi dalam negeri di Sudan atas biji gandum hanya bisa memenuhi 17 persen dari keseluruhan kebutuhannya.
Aljazair dan Maroko, meskipun telah melakukan diversifikasi pemasok biji gandum pascaperang Rusia-Ukraina pada Februari 2022, tetap terpukul oleh keputusan Rusia mundur dari izin impor gandum dan produk pestisida dari Ukraina.
Menurut pakar ekonomi Maroko, Badr Zaher Azraq, keputusan Rusia itu akan menaikkan harga biji gandum di pasar dunia. Ia menyebut, Maroko dan negara Arab lain akan mengeluarkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan gandumnya dari pasar dunia, di saat sebagian besar negara Arab saat ini dilanda krisis ekonomi.
Kembali pada inisiatif Arab Saudi menggelar konferensi untuk mengatasi krisis akibat perang Ukraina-Rusia, tentu kalkulasi faktor regional, khususnya kondisi dunia Arab, menjadi salah satu faktor utama di balik langkah Riyadh. Apakah Arab Saudi akan berhasil menghentikan perang Rusia-Ukraina?
Perang Rusia-Ukraina terlalu kompleks untuk bisa diselesaikan oleh negara sekelas Arab Saudi. Namun, minimal konferensi internasional di Arab Saudi akhir pekan ini diharapkan bisa mengembalikan keputusan kembalinya izin ekspor biji gandum dan produk pestisida dari Ukraina melalui laut. Jika berhasil disepakati, keputusan itu sudah banyak bermanfaat bagi negara-negara Arab.