Dunia STEM bukanlah dunia yang ramah bagi perempuan. Karena itu, sukses dan keberlanjutan perempuan dalam bidang STEM membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang berpihak pada kesetaraan jender dalam STEM.
Oleh
ELISABETH RUKMINI
·4 menit baca
Artikel Kompas, 12 Juli 2023, tentang Jepang yang menyadari pentingnya perempuan menguasai sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM) demi keberlanjutan kemajuan teknologi di Jepang seperti menggemakan keinginan para edukator STEM bahkan sejak 1980-an.
Pada 1990, Sheila Tobias (pendidik, periset bidang pendidikan STEM, meninggal di usia 86 tahun) menuliskan buku hasil studi kualitatif yang mendalam di Amerika Serikat tentang second tier students (mahasiswa yang bukan terpandai di kelasnya). Judul bukunya They’re not dumbs, they’re different: Stalking the second tier. Meskipun buku ini telah lama berlalu, isu yang dibawanya masih terus relevan hingga kini.
Dari riset Tobias, setali tiga uang dengan riset setipe, dunia STEM bukanlah dunia yang ramah bagi perempuan. Untuk itulah, Tobias dan para periset pendidikan STEM mengusulkan pendekatan yang sifatnya kontekstual, ramah bagi perempuan, sesuai dengan cara berpikir perempuan, lebih interaktif, lebih komunikatif, tak bersandar pada persaingan belaka.
American Chemical Society (ACS), salah satu organisasi profesi tertua, bahkan menyediakan Komite Perempuan ACS (Home-ACS Women Chemists Committee (acswcc.org)) sejak 1927 karena menyadari pentingnya keberpihakan bagi perempuan dalam STEM meliputi persiapan, pelatihan, dan pengembangan karier.
Perubahan sistem yang masih patriarki di banyak negara, budaya, dan pilihan karier bagi perempuan tentu hal yang krusial. Keberpihakan pada kesetaraan jender dan perannya sudah pasti merupakan akar masalah yang terdalam. Meskipun demikian, menunggu keberpihakan ini dalam waktu segera adalah keniscayaan.
Bersamaan dengan keberpihakan itu, berbarengan dengan perubahan aturan, perubahan cara pandang, maka dibutuhkan solusi-solusi lokal yang kreatif. Di taraf rumah tangga, bagilah tugas yang sama antarjender untuk memahami STEM. Orangtua memberikan peluang dan penghargaan sama antar jender untuk seorang anak berprofesi dalam STEM. Niscaya, ketika anak memasuki dunia pendidikan tinggi pilihan STEM menjadi kemantapan pilihannya.
Sinambung dengan upaya rumah tangga, upaya kecil lainnya, di sekolah, guru SD hingga sekolah menengah, perlu memberikan peluang yang sama antar pilihan bidang bagi semua jender. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin dalam konteks berpikir STEM yang menggabungkan dengan konteks komunitas sehingga STEM ramah bagi perempuan.
Dalam konteks pendidikan tinggi STEM; dorongan agar perempuan masuk, bertahan, bahkan berkembang secara akademik dan karir perlu memilih pendekatan yang sesuai. Pendidikan STEM dengan konteks komunitas, konteks pemecahan masalah yang berbasis nilai; adalah pendekatan yang ramah perempuan.
Dalam karier setelah pendidikan tinggi, lulusan STEM perempuan perlu secara afirmatif direkrut sebagai wujud keberpihakan terhadap STEM bagi perempuan.
Dasar pendidikan STEM yang mengangkat etika, moral, mengaitkannya dengan permasalahan riil di tengah komunitasnya adalah pilihan pendekatan belajar perempuan. Demikian pula, sekalipun berbasis laboratorium, pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai pokok kehidupan menjadi pilihan sains yang ramah perempuan.
Pada saat yang sama, hal ini juga mendorong kesetaraan serta dampak nyata bagi komunitas tempat hidup kita. Sebagai contoh dalam pembelajaran kimia pendekatan laboratorium yang berbasis konteks, nilai hidup, moral, dan etika adalah Kimia Hijau (Green Chemistry). Dalam kesadaran penuh atas keberpihakan bagi lingkungan hidup, Kimia Hijau mewujudnyatakan pilihan nilai-nilai keberlanjutan melalui prinsip-prinsip pokok Kimia Hijau (https://www.acs.org/greenchemistry/principles/12-principles-of-green-chemistry.html).
Keberlanjutan merupakan isu pokok seluruh warga bumi. Pendekatan pendidikan STEM yang ramah perempuan dapat berbasis pada isu keberlanjutan ini.
Selanjutnya, dalam karier setelah pendidikan tinggi, lulusan STEM perempuan perlu secara afirmatif direkrut sebagai wujud keberpihakan terhadap STEM bagi perempuan. Angka pilihan karier berbasis STEM menurun ketika perempuan lulus S-1 STEM.
Proporsi perempuan dalam karier STEM dibandingkan laki-laki di hampir seluruh negara selalu tidak berimbang walaupun pada tingkat pendidikan tinggi dan lulusannya sering kali berimbang bahkan pada program studi tertentu proporsi perempuan lebih besar. Apabila secara afirmatif korporasi memberi keterbukaan bahkan kuota yang sama dengan lawan jenisnya, niscaya, keberlanjutan perempuan dalam STEM akan nyata. Hal yang sama perlu ada dalam pendidikan lanjut bidang STEM pada strata pascasarjana hingga tingkat doktoral.
Keberpihakan pada perempuan dalam STEM melalui program-program beasiswa pendidikan lanjut STEM akan membantu para mahasiswa second tier menempuh pendidikan lanjutan pascasarjana. Bagi mahasiswa kategori unggul, sudah sangat luas peluang beasiswa di dalam dan luar negeri untuk pendidikan lanjut, termasuk STEM. Keberpihakan pada perempuan yang telah bekerja dalam bidang STEM dapat ditambah dengan peluang beasiswa STEM pendidikan lanjut dengan tetap memastikan setelah lulus bekerja dalam bidang yang sama.
Sukses dan keberlanjutan perempuan dalam bidang STEM membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang berpihak pada kesetaraan jender dalam STEM. Seleksi pimpinan institusi terkait STEM dengan demikian dapat memasukkan kriteria pemimpin bervisi dan misi pada kesetaraan jender dalam STEM.
Wujud nyata dari keberpihakan ini adalah pendampingan para perempuan bidang STEM dari lini karier terendah hingga tertinggi. Demikian pula pendampingan bagi formasi pemimpin yang berpihak pada kesetaraan jender. Jumlah perempuan dalam level pemimpin saja belum mencerminkan seluruh upaya arus utama keberlanjutan perempuan dalam STEM.
Upaya aktif merangkul perempuan dari lini rekrutmen, pemeliharaan, dan pengembangan diri dalam institusi jika benar dibarengi dengan nilai-nilai dan konteks pemecahan masalah yang nyata, barulah sukses keberlanjutan itu menuai hasil. Proses ini tampak tidak dalam jangka dekat. Isu ini telah ada bahkan 30-40 tahun lalu dan masih relevan hingga kini.
Namun jelas, Jepang yang berpihak kepada perempuan dalam STEM telah mencuri perhatian dunia untuk turut berpihak. Semoga demikian pula dengan Indonesia. Mari hidupi pendidikan STEM sejak dini bagi semua.