Perempuan Cenderung Tidak Percaya Diri Masuki Bidang STEM
Secara global, sebenarnya siswa perempuan lebih unggul di sains dan membaca, bahkan di matematika. Namun, masih sedikit perempuan yang memilih berkarier di bidang STEM.

Empat perempuan ilmuwan Indonesia menerima Penghargaan L’Oreal –UNESCO For Women In Science 2021.
Lebih sedikit perempuan yang memasuki karier di bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika atauSTEM. Padahal, dari hasil pencapaian kemampuan belajar pada pendidikan dasar hingga menengah, perempuan lebih unggul daripada laki-laki. Rupanya, rasa percaya diri menghambat talenta perempuan untuk memasuki dunia STEM yang semakin dibutuhkan di masa depan.
Talenta terbaik di bidang STEM sangat dibutuhkan, baik perempuan maupun laki-laki. Sebab, STEM semakin penting untuk menghadapi tantangan global, mulai dari teknologi kesehatan, perubahan iklim, hingga kelangkaan sumber daya alam.
Pada 2017, di negara-negara maju anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), hanya 30 persen perempuan yang memilih bidang studi STEM di jenjang sarjana. Secara global, persentase perempuan yang belajar teknik, manufaktur, dan konstruksi ataupun teknologi informasi dan komunikasi di bawah 25 persen di 2/3 negara di dunia.
Kajian di Gender Report of the Global Education Monitoring (GEM) Report Series Tahun 2022: Deepening the Debat on Those Still Left Behind di 120 negara yang dirilis April lalu menyoroti tentang aspirasi anak laki-laki dan perempuan di sekolah untuk memasuki dunia STEM. Meskipun perempuan tak kalah dalam performa belajar membaca, sains, dan matematika, lebih sedikit perempuan yang tertarik untuk memilih karier STEM di masa depan.
Ella Yulaelawati, praktisi pendidikan yang juga Ketua Perempuan Persatuan Guru Republik Indonesia Tingkat Nasional, Rabu (11/5/2022), mengatakan, kesenjangan jender dalam pendidikan bukan hanya masalah akses ke sekolah. Hal lain yang juga perlu diperhatikan yakni mendorong lebih banyak siswa perempuan tertarik pada bidang STEM.
”Harus ada program dan dukungan untuk membuat anak-anak perempuan sejak dini mulai mengenal dunia STEM sehingga tertarik untuk memasuki karier di STEM. Utamanya para guru PAUD dan SD perlu mengenalkan pembelajaran STEM yang asyik dan menyenangkan serta relevan dengan kehidupan sehari-hari,” kata Ella yang juga pendiri dan Ketua Yayasan Rumah Komunitas Kreatif.

Dosen teknik mesin di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Latifah Nurahmi, yang pernah mendapat penghargaan perempuan ilmuwan L’Oreal-UNESCO for Women in Science, awalnya berpikir perempuan yang menggeluti bidang teknik cukup di bagian ”ringan-ringan” saja. Namun, kini dia dikenal sebagai salah satu perempuan ilmuwan di bidang robot, khususnya untuk dunia medis.
”Saya pernah tidak percaya diri berkecimpung di bidang teknik mesin yang didominasi laki-laki. Padahal, saya sudah suka bidang mekanik sejak SMA. Namun, pikiran saya perempuan perannya di belakang layar saja, yang lebih ringan. Kesempatan studi di Perancis mengubah pandangan saya dan kini saya mendalami robot,” ujar Latifah yang justru bisa menjadi pemimpin riset.
Dalam laporan berjudul ”MissingOut on Half the World’s Potential: Fewer Female Than Male Top Achievers in Mathematics and Science Want a Career in These Fields”yang ditulis di Compass Briefs in Education edisi April 2022, kolaborasi antara UNESCO dan International Association for The Evaluation of Educational Achievement (IEA), dianalisis hubungan antara jender siswa, kepercayaan diri, dan prestasi untuk meraih karier di bidang STEM. Data yang digunakan adalah hasil dari tes international Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) 2019, melibatkan sekitar 250.000 siswa. Di situ terlihat siswa perempuan mengungguli siswa laki-laki dalam membaca di semua tingkat pendidikan. Anak perempuan di negara berpenghasilan menengah dan tinggi berprestasi lebih baik daripada laki-laki pada bidang sains di jenjang sekolah menengah.
Dalam matematika, kesenjangan jender juga kecil. Di tahap awal, anak laki-laki terlihat lebih unggul. Namun, secara bertahap kesenjangan di matematika menghilang. Perempuan dan laki-laki seimbang mencapai kemahiran minimum. Di banyak negara, kesenjangan dibalikkan. Sebagai contoh, di Kamboja, siswa perempuan kelas VIII lebih tinggi 3 poin, di Kongo 1,7 poin, di Malaysia 7 poin, atau di Filipina 1,4 poin.
Untuk pilihan berkarier di bidang STEM, lebih banyak laki-laki (87 persen) merespons dari perempuan untuk memilih bidang yang berkaitan dengan ilmu matematika. Pengecualian hanya terjadi di Malaysia, di mana proporsi perempuan lebih tinggi. Sedangkan di Finlandia, Moroko, Afrika Selatan, dan Turki, tidak ada perbedaan jender.
Perempuan yang memiliki prestasi tinggi di matematika dan sains sebenarnya cukup percaya diri memilih STEM meski tetap lebih sedikit daripada laki-laki. Sebaliknya, laki-laki yang prestasinya rendah sekalipun tetap percaya diri untuk memilih STEM. Ini berkebalikan dengan perempuan yang tidak mahir di STEM, mereka cenderung tidak punya kepercayaan diri memilih STEM.
Baca juga: Pandemi, Momentum Mengubah Pandangan Ketidakadilan Jender

Atlet panjat tebing Indonesia, Aries Susanti Rahayu (kiri), berhasil menyumbangkan medali emas setelah di final mengalahkan rekannya, Puji Lestari, dalam final kecepatan putri cabang panjat tebing Asian Games 2018 di Arena Panjat Tebing, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (23/8/2018).
Perlu jadi perhatian
Dampak dari masalah jender terhadap pilihan karier di STEM ini perlu menjadi perhatian. Para perempuan yang memang punya hasil belajar tinggi di STEM seharusnya semakin perlu didorong untuk lebih percaya diri memasuki STEM di luar bidang yang cenderung dipilih perempuan. Secara umum, kalau perempuan berprestasi tinggi dalam matematika dan sains lebih memilih biologi, kedokteran, atau psikologi daripada fisika, matematika, dan teknik.
”Jika perempuan dengan prestasi top di matematika dan sains tidak tertarik masuk STEM, dunia berisiko kehilangan talenta berharga di bidang ini,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay.
Sementara itu, anak laki-laki yang kemahirannya di bawah tetapi tetap percaya diri memasuki STEM saat di perguruan tinggi, lebih besar kemungkinannya untuk gagal. Sebab, mereka memaksakan diri kuliah yang tidak sesuai dengan kapasitasnya.
Ketidakpercayaan diri para perempuan ini bisa juga dilanggengkan teman sebaya, orangtua, guru, ataupun konselor sekolah tentang bias dan stereotip perempuan dan STEM. Sebagai contoh di Cile, materi ajar di SD juga tidak memberikan contoh, hanya 6 persen karakter perempuan muncul di materi ajar.
Oleh karena itu, perlu transformasi jender dalam pendidikan STEM dan konseling sekolah. Hal ini membutuhkan guru yang dilatih tentang pendidikan STEM yang transformatif jender dan materi belajar mengajar yang bebas dari bias. Pendidikan STEM yang transformatif jender tidak hanya menjawab kebutuhan dan aspirasi yang berbeda dari anak perempuan dan laki-laki, tetapi juga menantang norma jender dan ketidaksetaraan yang lebih luas.

Guru dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, mendapat beasiswa pelatihan STEM dari program Honeywell Educators at Space Acadeny (HESA) e2018 di Huntsville, Alabama, Amerika Serikat. Para guru dibekali dengan kemamampuan mengajar STEM yang menginspirasi siswa.
Konseling sekolah perlu mendorong anak perempuan yang berprestasi baik dalam matematika dan sains untuk melanjutkan studi lebih lanjut di bidang ini serta mengusulkan jalur karier alternatif bagi anak laki-laki yang berkinerja buruk. Semua anak perempuan dan laki-laki yang berprestasi baik dalam matematika dan sains harus diberikan informasi yang memadai tentang karier STEM dan didorong untuk mengejar STEM di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Peluang informal, seperti klub dan kegiatan setelah sekolah, serta kamp STEM yang menargetkan anak perempuan selama pendidikan menengah telah terbukti berhasil membangun minat dan kepercayaan diri anak perempuan di STEM. Selain itu, intervensi menggunakan model peran perempuan telah terbukti meningkatkan kepercayaan diri anak perempuan di STEM.
Baca juga: Andil Besar Perempuan Membangun Ekosistem Perfilman Tanah Air
Sekolah perlu memastikan akses ke panutan dan mentor, termasuk perempuan yang sukses di bidang ini. Orangtua juga perlu dibawa untuk memahami isu ini. Program penjangkauan orangtua dapat membantu membongkar stereotip jender yang berbahaya tentang perempuan di STEM.