Kita bersyukur pemerintah sudah menetapkan vaksinasi HPV sebagai program nasional bagi anak kelas V dan VI SD.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Upaya menjadi bangsa sehat dan mandiri mendasari peluncuran vaksin human papillomavirusNusaGard, sekaligus menandai 133 tahun Bio Farma.
Bio Farma didirikan pemerintah kolonial Belanda pada 6 Agustus 1890 di Jakarta dengan nama Parc Vaccinogène yang berarti Lembaga Pengembangan Vaksin Negara. Lembaga ini baru pindah ke Bandung pada 1923, setelah bekerja sama dengan Institut Pasteur. Namanya pun berubah menjadi Parc Vaccinogène en Instituut Pasteur.
Pada 1961 baru berubah menjadi Bio Farma dengan status perusahaan berbeda-beda. Dari perusahaan negara, perusahaan umum, hingga terakhir PT Bio Farma (persero) sebagai perusahaan BUMN. Namun, misinya sejak awal sama: memberantas berbagai penyakit menular dengan produk-produk biologi, termasuk vaksin dan antisera.
Meski sudah melewati perjalanan panjang, Bio Farma mulai menjadi sorotan publik setelah menghasilkan Sinovac, vaksin yang diproduksi bekerja sama dengan China, yang sukses mengatasi pandemi Covid-19. Padahal, sebelumnya Bio Farma telah berperan serta mengatasi pelbagai epidemi dan pandemi, seperti cacar, polio, kolera, dan pes. Saat ini lebih dari 15 jenis vaksin diproduksi Bio Farma dengan target 3,1 miliar dosis untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Kesehatan dan pendidikan merupakan bagian paling pokok dalam kesejahteraan masyarakat. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menyebutkan perlunya pemerataan akses pada keamanan, efektivitas, kualitas, serta ketersediaan obat esensial dan vaksin, sebagai jalan menuju kesejahteraan. Semua ini penting untuk mencegah, menyembuhkan, sekaligus memelihara kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, kemandirian obat dan vaksin harus terus kita dorong.
Keberhasilan Bio Farma memproduksi vaksin HPV sungguh melegakan, mengingat kanker serviks merupakan jenis kanker kedua yang paling banyak diderita perempuan Indonesia. Data Kementerian Kesehatan 2019 menunjukkan, dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, sekitar 52 juta perempuan Indonesia terancam kanker serviks dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk. Meski termasuk mematikan, kanker serviks dapat dicegah melalui vaksinasi.
Oleh karena itu, menjadi tugas pokok para pemangku kepentingan untuk menyosialisasikan upaya pencegahan dan deteksi dini. Hal ini menjadi penting, mengingat cakupan vaksinasi di Indonesia belum merata akibat pelbagai faktor. Dari akses, ketersediaan, kualitas layanan kesehatan, hingga penerimaan masyarakat terhadap vaksin.
Kita bersyukur pemerintah sudah menetapkan vaksinasi HPV sebagai program nasional bagi anak kelas V dan VI SD. Agar program ini tepat sasaran menyelamatkan anak-anak dari kanker serviks, kita perlu belajar dari keberhasilan vaksinasi Covid-19. Meski di awal sempat muncul penolakan, vaksinasi mencapai target kekebalan komunitas sehingga Indonesia berhasil keluar dari pandemi. Kuncinya sosialisasi dan kerja sama seluruh pemangku kepentingan.