Koneksitas Kasus Basarnas
Dengan banyaknya perbedaan pendapat dan tersebarnya pengaturan koneksitas di beberapa undang-undang, pembaruan KUHAP sebagai induk hukum acara pidana menjadi kebutuhan hukum yang sangat diperlukan dan menjadi prioritas.
Pimpinan KPK meminta maaf kepada Panglima TNI karena telah menangkap tangan tersangka dua anggota TNI aktif yang menjadi pejabat di Basarnas.
Permintaan maaf dan pengakuan ”khilaf” pimpinan KPK itu sontak menghangatkan ”diskusi hukum” sekaligus memunculkan silang pendapat di media sosial akhir pekan lalu.
Pusat Polisi Militer TNI menyatakan keberatan atas penetapan kedua tersangka karena merasa militer punya aturan dan prosedur tersendiri sekaligus menegaskan militer sama sekali tidak kebal hukum (impunitas). Terlepas dari adanya perbedaan pandangan, pernyataan terakhir menunjukkan sikap kesatria guna memastikan reputasi TNI sebagai alat negara yang paling dipercaya publik.
Belakangan, pimpinan KPK justru menyatakan operasi tangkap tangan (OTT) dan penetapan tersangka dari pihak militer dan sipil yang diduga memberikan suap sudah sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku. KPK juga mengaku telah melibatkan Polisi Militer TNI sejak awal, mulai dari gelar perkara hingga penetapan status hukum dari para pihak terkait.
Baca juga: Panglima TNI Sebut Terduga Koruptor di Basarnas Telah Jadi Tersangka
Polemik ini membuat Menko Polhukam Mahfud MD angkat bicara. Mahfud meminta agar perdebatan terkait kewenangan penanganan kasus dugaan korupsi tidak diperpanjang dan berfokus pada substansinya. Menjadi pertanyaan penting, dengan banyaknya penugasan militer pada jabatan sipil, akankah polemik semacam ini terus berulang dan bagaimana hukum acaranya dalam hal terjadi dugaan tindak pidana korupsi?
Memaknai koneksitas
Dalam pembagian hukum pidana berdasarkan adresat, subyek hukum (pelaku tindak pidana) yang awalnya adalah ”setiap orang” telah berkembang menjadi adresat yang ditujukan pada orang-orang tertentu, misalnya militer yang melakukan tindak pidana tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Pengadilan Militer.
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa adresat militer memiliki hukum pidana tersendiri. Pertama, sanksi pidana dalam KUHP dianggap tidak terlalu berat jika dilakukan seorang militer. Kedua, adanya tindak pidana yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh seorang militer, misalnya ”desersi” (pengingkaran tugas tanpa izin atasan).
Apabila ada tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para pelaku (penyertaan) yang termasuk dalam lingkungan (yustiabel) peradilan umum dan peradilan militer, maka itu adalah perkara koneksitas yang diperiksa dan diadili di peradilan umum, kecuali ditentukan lain berdasarkan keputusan ”Menteri Pertahanan dan Keamanan”, dan dengan persetujuan ”Menteri Kehakiman”.
Baik Pasal 89 Ayat (2) KUHAP maupun Pasal 198 Ayat (2) UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer mengatur norma hukum serupa, yaitu bahwa penyidikan perkara koneksitas dilaksanakan oleh ”Tim Tetap”, yang terdiri dari polisi militer, oditur, dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum, secara kolektif sesuai kewenangan masing-masing.
Menurut penulis, parameter yang perlu diperhatikan dalam perkara koneksitas adalah: 1) adanya penyertaan tindak pidana yang tunduk pada kompetensi peradilan berbeda; 2) penyidikan dilaksanakan oleh Tim Tetap yang bersifat kolektif dan akan diteliti oleh jaksa/jaksa tinggi dan oditur untuk menentukan peradilan mana yang berwenang; 3) titik berat kerugian dari tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum atau kepentingan militer.
Dari perdebatan yang mengemuka, parameter terakhir yang disebutkan sering kali justru luput dari perhatian, yaitu titik berat kerugian akibat suatu tindak pidana yang terletak pada ”kepentingan umum”, misalnya kasus dugaan tindak pidana korupsi. Padahal, di sinilah esensi dari aturan koneksitas dan keputusan penyerahan perkara kepada pengadilan mana yang berwenang.
Dalam perkembangannya, Pasal 42 UU KPK yang lahir di era Reformasi telah menentukan bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Dari perdebatan yang mengemuka, parameter terakhir yang disebutkan sering kali justru luput dari perhatian, yaitu titik berat kerugian akibat suatu tindak pidana yang terletak pada ”kepentingan umum ”, misalnya kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian, kata penyidik dalam Pasal 98 KUHAP dan Pasal 198 UU Peradilan Militer haruslah dibaca dengan pengertian penyidik KPK, dalam konteks pemberantasan korupsi yang ditangani KPK, sebagai bagian dari Tim Tetap yang bersifat kolektif dan harus dipenuhi semua persyaratannya agar penyidikan perkara koneksitas itu menjadi sah.
Peran Jampidmil
Dalam Pasal 35 Ayat 1 Huruf g UU No 11/2021 tentang Perubahan UU Kejaksaan disebutkan bahwa Jaksa Agung berwenang untuk mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Selanjutnya, Perpres No 15/2021 telah menentukan, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan wewenang kejaksaan di bidang koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oditurat dan penanganan perkara koneksitas yang bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
Dengan adanya perubahan UU Kejaksaan dan Perpres tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan tersebut, peran kejaksaan sebagai pengendali perkara (dominus litis) yang bersifat satu (atap) dan tidak terpisahkan (een en ondeelbarheids) semakin kuat, termasuk dalam konteks perkara koneksitas.
Meski demikian, legitimasi yang dimiliki Jampidmil dalam perubahan beleid terbaru itu tak dapat menegasikan wewenang KPK sebagai lembaga negara yang constitutional important dan khusus dalam pemberantasan korupsi. Hal ini sesuai lex posterior generalis non derogat priori specialis, yang artinya ketentuan umum yang berlaku kemudian tidaklah mengesampingkan ketentuan khusus sebelumnya.
Untuk itu, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 42 UU KPK tentang fungsi koordinasi dan pengendalian peradilan koneksitas dibutuhkan perpres dari UU KPK yang dapat mendukung pelaksanaan penyidikan oleh ”Tim Tetap”, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya miskomunikasi dan ego sektoral lembaga terkait masing-masing.
Urgensi pembaruan KUHAP
Konsekuensi dari perkara koneksitas jelas tidak bisa dipisahkan dengan penyertaan tindak pidana (deelneming) menurut Pasal 55 KUHP, yaitu perluasan pertanggungjawaban pidana (straufdenungsgrund) sehingga merupakan suatu ketidakadilan jika terdapat disparitas dari para pelaku yang tunduk pada dua lingkungan peradilan yang berbeda.
Dalam penjelasan umum RUU KUHAP disebutkan bahwa ketentuan peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan antara peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tak lagi diatur dalam RUU KUHAP. Menurut penjelasan RUU KUHAP, kabarnya hal ini berkaitan dengan kehendak adanya penundukan militer ke dalam KUHP, kecuali jika KUHPM dengan tegas menentukan lain.
Dengan banyaknya perbedaan pendapat dan tersebarnya pengaturan koneksitas di beberapa undang-undang, pembaruan KUHAP sebagai induk hukum acara pidana menjadi kebutuhan hukum yang sangat diperlukan. Apalagi UU No 1/2023 (KUHP baru) yang akan berlaku 2 Januari 2026 tak akan bisa dilaksanakan sempurna jika KUHAP belum diperbarui.
RUU KUHAP yang menjadi inisiasi DPR dan kini sedang dibahas secara internal perlu menjadi prioritas dan mendapatkan dukungan dari semua pemangku kepentingan, terlepas adanya tarik-menarik kewenangan yang amat besar dalam ”miniatur konstitusi” tersebut.
Albert Aries, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi