Data WNI dan Pemilu di Luar Negeri
Belum semua WNI yang pindah ke luar negeri melapor perpindahannya. Dari pengalaman paling tidak ada lima faktor yang menyebabkan WNI di luar negeri belum antusias lapor diri dan memperbarui data. Apa saja itu?
Setiap peristiwa kependudukan yang mengakibatkan penerbitan atau perubahan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan/atau surat keterangan kependudukan lain, seperti pindah datang, perubahan alamat, status tinggal terbatas, dan tinggal tetap harus dilaporkan.
Demikian ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Bahkan, untuk ketertiban, hampir di semua daerah kita lihat peringatan ”tamu 1 x 24 jam wajib lapor RT”.
Lebih lanjut, ketentuan pindah datang antarnegara diatur dalam Paragraf 3 UU No 23/ 2006. Disebutkan, penduduk yang pindah ke luar negeri wajib melaporkan kepindahannya kepada instansi pelaksana. Adapun yang telah berstatus menetap di luar negeri wajib melapor kepada Perwakilan RI paling lambat 30 hari sejak kedatangan.
Namun, belum semua WNI yang pindah datang di luar negeri melaporkan perpindahannya. Aplikasi lapor diri secara daring juga belum dimanfaatkan optimal. Dengan beragam skema, setiap Perwakilan RI terus melakukan pendataan, dan jumlah keseluruhan yang terhimpun di Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri hingga 17 Juli 2023 adalah 2.246.305 orang.
Bank Dunia memperkirakan WNI di luar negeri berjumlah 9 juta orang.
Sementara itu, perkiraan jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri 3,4 juta orang. Data keseluruhan tak mudah didapatkan karena yang terdata hanya yang berangkat secara resmi, tercatat oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Yang berangkat tak resmi dan yang kembali jarang melapor. Bank Dunia memperkirakan WNI di luar negeri berjumlah 9 juta orang.
Jumlah ini tentu belum mencerminkan kondisi terkini dan akurat karena data yang ada umumnya akumulasi lapor diri dan berbagai jenis pendataan lain yang tak selalu diperbarui setiap pemilik data.
Dari pengalaman penugasan dan dua kali menjadi sekretaris Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), paling tidak ada lima faktor yang menyebabkan WNI di luar negeri belum antusias lapor diri, apalagi memperbarui datanya. Ini berpengaruh pada akurasi data, pelayanan publik, serta perlindungan dan penggunaan hak pilih dalam pemilu.
Pertama, faktor jarak. Perwakilan RI hanya ada di ibu kota negara atau ibu kota negara bagian/provinsi, sedangkan tempat tinggal WNI di luar negeri tersebar di seluruh wilayah. Dengan demikian, jarak, waktu tempuh, kesempatan, dan lain-lain merupakan tantangan untuk menjangkau perwakilan RI.
Kedua, dinamika perpindahan yang tak diikuti pemutakhiran data kependudukan. Misalnya, pemberangkatan PMI resmi yang tercatat secara baik. Selama bekerja, banyak dari mereka yang pindah—kerja, alamat, kota, atau bahkan negara, termasuk kembali ke Tanah Air—tetapi tidak melapor.
Ketiga, legalitas keberadaan WNI di luar negeri. Terdapat ribuan atau bahkan puluhan ribu WNI di luar negeri yang, karena satu dan lain hal, izin tinggal/kerjanya tidak bisa diperbarui. Di Korea Selatan dikenal istilah ”swasta” bagi WNI dalam kategori demikian. Di Malaysia ada istilah ”kosong” untuk merujuk hal serupa. Di negara tujuan PMI lain, seperti Timur Tengah, Taiwan, dan Hong Kong, juga ada fenomena yang sama. WNI kategori ini umumnya enggan melapor.
Keempat, regulasi negara setempat. PMI di sektor informal umumnya tinggal bersama di rumah majikan. Negara yang memiliki dan menerapkan ketentuan perlindungan data pribadi (privacy act) secara ketat belum tentu mengizinkan pekerja menggunakan alamatnya.
Kelima, kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang kewajiban melaporkan peristiwa kependudukan.
Namun, belum semua WNI yang pindah datang di luar negeri melaporkan perpindahannya. Aplikasi lapor diri secara daring juga belum dimanfaatkan optimal.
Risiko tidak lapor diri jarang disadari sampai ketika seseorang memerlukan layanan, bantuan, dan penyelamatan. Akurasi data memengaruhi kelancaran layanan publik, seperti konsuler, kependudukan, keimigrasian, ketenagakerjaan, dan pendidikan.
Dalam situasi darurat, seperti bencana alam, konflik, dan perang antarnegara, akan semakin sulit untuk sekadar menyampaikan informasi, apalagi memberikan bantuan dan melakukan evakuasi.
Akibat minimnya data dan kendala komunikasi, tidak jarang perwakilan RI mendapatkan informasi tentang keberadaan WNI ketika sudah menghadapi masalah. Itu pun didapat dari media setempat, media sosial, atau lembaga setempat melalui skema mandatory consular notification (MCN) sesuai Konvensi Vienna 1963. Dalam situasi apa pun, pemberian bantuan tetap harus sesuai dengan ketentuan hukum dan bekerja sama dengan lembaga setempat.
DPT dan pembaruannya Sesuai Pasal 4(d) Peraturan KPU No 7/2022 tentang penyusunan daftar pemilih dalam penyelenggaraan pemilu dan sistem informasi data pemilih, WNI yang berdomisili di luar negeri didaftar sebagai pemilih sesuai KTP elektronik, paspor, dan/atau surat perjalanan laksana paspor (SPLP).
Pada 2 Juli 2023, KPU menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 berjumlah 204.808.222 pemilih, yang terdiri dari DPT dalam negeri 203.056.748 dan DPT luar negeri 1.750.474 pemilih.
DPT ini akan terus diperbarui hingga H-7 melalui DPT tambahan (DPTTb) dengan mempertimbangkan adanya perpindahan penduduk dari atau ke luar negeri.
WNI di luar negeri yang terdata, memiliki KTP elektronik, paspor, atau SPLP dan sudah berhak memilih termasuk yang ”swasta”, ”kosong”, dan lain-lain, semestinya sudah masuk DPT. Namun, tidak tertutup kemungkinan masih ada WNI di beberapa negara, seperti di kawasan Timur Tengah dan Malaysia, yang karena sesuatu hal tidak memiliki KTP elektronik, paspor, ataupun SPLP dan belum masuk DPT.
Untuk perlindungan dan pendataan, WNI yang tidak memiliki dokumen mungkin saja diberikan paspor atau SPLP. Namun, pemberian tersebut perlu persetujuan negara setempat karena WNI dalam kategori ”swasta”, ”kosong”, dan lain-lain, apalagi tanpa dokumen, telah melanggar ketentuan keimigrasian negara setempat.
Pemberian paspor atau SPLP tidak menjadikan pemiliknya bisa tetap tinggal di negara lain secara sah. Tanpa dibarengi upaya menghidupkan izin tinggal/kerja, pemegang paspor baru setiap saat bisa ditangkap oleh pihak berwenang setempat untuk mempertanggungjawabkan pelanggarannya.
Baca juga: DPT Pemilu 2024 Ditetapkan, KPU Perlu Lindungi Data Pribadi Pemilih
Tak sekadar luber
Pasal 357 UU No 7/2017 tentang Pemilu menyebutkan, pemungutan suara bagi WNI yang berada di luar negeri hanya untuk pasangan calon dan calon anggota DPR. Lampiran 3 UU Pemilu tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR RI menentukan bahwa wilayah daerah pemilihan (dapil) luar negeri adalah untuk DKI Jakarta 2 yang merupakan gabungan wilayah Jakarta Pusat, luar negeri, dan Jakarta Selatan.
WNI di luar negeri yang berasal dari sejumlah wilayah di Tanah Air harus paham bahwa pilihannya tidak membawakan aspirasinya di atau melalui daerah asalnya, tetapi melalui DPRD DKI Jakarta dan Pusat yang diteruskan berbagai lembaga yang terkait keberadaannya di luar negeri, seperti ketenagakerjaan, pendidikan, keimigrasian, dan hubungan luar negeri.
Calon anggota DPR dapil luar negeri juga harus memahami aspirasi dan cara menyampaikan programnya. Karena kampanye tak mungkin diizinkan di negara lain, komunikasi publik harus kreatif dan berkualitas. Pemilu yang mengedepankan kualitas program, partisipasi pemilih, santun, dan damai adalah showcase demokrasi Indonesia di mata dunia.
Pemahaman tentang skema dan partisipasi aktif warga dalam pemilu yang damai dan berkualitas mencerminkan kematangan demokrasi. Seperti disampaikan Larry Diamond dalam bukunya, The Spirit of Democracy (2009), kematangan demokrasi tidak hanya dilihat dari hasil pembangunan yang dicapai, tetapi juga bagaimana proses menjadi maju dengan melibatkan peran aktif masyarakat, termasuk dalam pemilu.
Tahun 2008, Indonesia menginisiasi Bali Democracy Forum (BDF). Pertemuan BDF yang diselenggarakan setiap tahun ini dimaksudkan untuk memupuk sistem yang demokratis, kesetaraan, dan penghormatan terhadap HAM di kawasan Asia Pasifik. Sebagai inisiator dan tempat pertemuan tahunan BDF, pemilu Indonesia tentu dicermati negara lain.
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, seluruh proses pengelolaan sistem pemerintahan Indonesia juga tak terlepas dari kacamata pandang asas dan prinsip demokrasi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilu oleh 128 PPLN di seluruh dunia tak sekadar langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), tetapi juga harus ikut mendorong kematangan berdemokrasi.
Meski belum pernah mencapai target, KPU mencatat rata-rata tingkat partisipasi WNI di luar negeri dalam pemilu terus meningkat; 22,30 persen (2009), 44,72 persen (2014), dan 50 persen (2019). Tantangan bagi PPLN untuk ikut meningkatkan pada Pemilu 2024.
Perbaikan data WNI
Perbaikan data harus dimulai dari, pertama, menanamkan pentingnya kewajiban lapor diri, termasuk sanksi dan konsekuensi yang timbul jika menghadapi masalah di luar negeri tanpa adanya data lengkap dan akurat.
Kedua, memperbaiki cara lapor diri agar tidak dinilai rumit tanpa mengorbankan standar pengamanan datanya.
Mengingat tak adanya struktur pemerintahan berjenjang dan hanya ada satu kantor Perwakilan RI dalam satu negara/wilayah, lapor diri harus lebih mudah diakses.
Untuk memberikan layanan dan perlindungan yang lebih baik, platform tersebut telah diintegrasikan dengan beberapa basis data instansi lain, seperti Imigrasi, Dukcapil, dan BP2MI.
Dalam hal ini, Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri telah membuat platform lapor diri secara daring bagi WNI yang menetap di luar negeri, yaitu Portal Peduli WNI yang terus dikembangkan agar dapat diakses dengan telepon genggam. Untuk memberikan layanan dan perlindungan yang lebih baik, platform tersebut telah diintegrasikan dengan beberapa basis data instansi lain, seperti Imigrasi, Dukcapil, dan BP2MI.
Untuk WNI yang ke luar negeri dalam jangka pendek, telah dibuat Safe Travel. Platform yang bisa diunduh dengan aplikasi Android ataupun IOS ini juga memuat informasi ringkas sejumlah negara, sebagai referensi, termasuk rekomendasi dan cara jika menghadapi keadaan darurat.
Ketiga, penyadaran publik bahwa pendataan penduduk adalah untuk kepentingan warga. Dengan memperhatikan ketentuan negara setempat, maka layanan publik, perlindungan, ataupun peran serta dalam pemilu tetap bisa dilakukan bagi yang ”swasta”, ”kosong”, atau apa pun istilahnya.
Tugas PPLN dan perwakilan RI tidak ringan.
Didik Eko Pujianto, Sekretaris Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri RI