Berburu Emas Biru
Pengelolaan dan konservasi yang berkelanjutan sumber daya tuna perairan Indonesia dan di laut lepas sangat penting untuk memastikan kelestarian tuna di masa mendatang. Perlu kerja sama antarnegara di bawah payung RFMO.
Pada Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kota se-Indonesia (Apeksi) di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu yang lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengungkapkan hal yang menggelitik tentang perikanan tuna. Beliau mengatakan bahwa ada negara lain yang meminta Indonesia untuk melarang nelayan menangkap ikan tuna di perairan Indonesia. Alasannya, negara tersebut takut tidak dapat menangkap tuna karena terlalu banyak ditangkap oleh nelayan Indonesia.
Untuk menyikapi pernyataan tersebut, kita perlu mengetahui karakteristik tuna dan begaimana pengelolaannya di dalam perairan Indonesia atau biasa disebut zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan di luar perairan Indonesia atau biasa disebut laut lepas.
Tuna merupakan ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species), dengan tingkat jelajah antar perairan negara dan laut lepas. Dengan sifat yang demikian, diperlukan kerja sama lintas negara dalam pengelolaannya di bawah Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organization/RFMO).
Beberapa RFMO di mana Indonesia menjadi negara anggota di antaranya IOTC di Samudra Hindia, WCPFC di Samudra Pasifik, dan CCSBT yang khusus mengelola perikanan tuna sirip biru di Perairan Selatan. Terdapat beberapa RFMO lain yang mengelola sumber daya perikanan di perairan lainnya di dunia.
Baca juga: Menuju Perikanan Tuna yang Bertanggung Jawab
Dalam mengambil kebijakan, RFMO harus melalui beberapa proses seperti pembentukan kelompok kerja, komite ilmiah, dan konsultasi para pihak. Proses ini diikuti oleh seluruh negara anggota dan kebijakan yang akan diambil harus melalui forum tertinggi RFMO yang dilakukan setiap tahun.
Dalam hal pemanfaatannya, sumber daya tuna di ZEE dan laut lepas berbeda terutama dalam hal yurisdiksi dan tata kelola. Suatu negara memiliki hak dan tanggung jawab eksklusif untuk mengelola perikanan tuna di dalam ZEE mereka, sedangkan di laut lepas diatur oleh perjanjian internasional dan RFMO dengan keterlibatan berbagai negara anggota.
Upaya pengelolaan dan konservasi yang berkelanjutan di kedua wilayah perairan tersebut sangat penting untuk memastikan kelestarian sumber daya tuna di masa mendatang. Selain itu, pengelolaan juga perlu memperhatikan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari sumber daya laut yang sangat berharga ini.
Dengan demikian, negara yang melarang tersebut telah melakukan dua kesalahan. Pertama, negara tersebut salah karena mencampuri urusan domestik pengelolaan perikanan di perairan Indonesia. Kedua, jika larangan tersebut dimaksudkan di laut lepas, negara tersebut juga salah karena keputusan pengelolaan sumber daya tuna di laut lepas dilakukan oleh organisasi perikanan regional dengan kesepakatan negara-negara anggota.
Sumber daya ikan di laut lepas perlu dikelola secara khusus karena berada di wilayah bebas yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak.
Meskipun demikian, dalam memanfaatkan sumber daya tuna dan sumber daya perairan lainnya tidak bisa dilakukan semena-mena tanpa memperhatikan faktor kelestariannya. Hal ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya perairan harus memperhatikan faktor kelestariannya.
Undang-Undang Perikanan secara spesifik juga mengatur pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas yang perlu memperhatikan peraturan internasional yang berlaku. Sumber daya ikan di laut lepas perlu dikelola secara khusus karena berada di wilayah bebas yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak. Jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan masalah karena kepemilikan bersama atau yang biasa disebut dengan tragedy of the commons.
“Tragedy of the commons”
Tragedi karena kepemilikan bersama dalam perikanan tuna mengacu kepada situasi di mana sumber daya tuna dianggap milik bersama dan cenderung dieksploitasi secara berlebih. Jika dilakukan secara terus-menerus, sumber daya tuna akan mengalami kepunahan di masa mendatang. Istilah tragedy of the commons ini diperkenalkan oleh ahli ekologi Garrett Hardin pada 1968 untuk menggambarkan bagaimana individu/kelompok bertindak secara bebas untuk menghabiskan sumber daya lahan dengan kepemilikan bersama, yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Dalam konteks perikanan tuna, sifat laut lepas yang terbuka menciptakan peluang bagi negara-negara untuk memaksimalkan hasil tangkapan mereka tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Akibatnya, populasi tuna menjadi tereksploitasi secara berlebihan akan berdampak negatif tidak hanya bagi nelayan itu sendiri, tetapi juga keseluruhan ekosistem perairan. Selain itu, sifat sumber daya tuna sebagai pemigrasi jauh dengan daya jelajah jauh lintas negara menunjukkan bahwa berkurangnya populasi tuna di suatu perairan dapat memberikan dampak pada ketersediaan sumber daya tuna di perairan lainnya.
Baca juga: Pemerintah Finalkan Aturan Penangkapan Ikan
Perikanan tuna di dunia
Salah satu contoh di Samudra Hindia, menurut IOTC status konservasi dua spesies dalam kondisi baik dan dua spesies dalam kondisi buruk. Dua spesies dalam kondisi baik adalah cakalang dan albakora. Sedang dua spesies dalam kondisi buruk adalah tuna mata besar dan madidihang/tuna sirip kuning. Diperlukan langkah-langkah strategis untuk menghentikan turunnya populasi tuna tersebut. Beberapa langkah dapat dilakukan seperti penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, ketertelusuran produk (traceability), pembatasan kuota penangkapan, dan lain-lain.
Saran lebih ekstrem diwacanakan oleh Daniel Pauly, peraih penghargaan Tyler Prize for Environmental Achievement 2003, yang mendesak untuk melarang penangkapan ikan di laut lepas. Dia mengatakan bahwa larangan penangkapan ikan di laut lepas adalah salah satu cara paling efektif untuk membalikkan kerusakan yang ditimbulkan akibat penangkapan ikan berlebih yang sebagian besar dilakukan oleh negara-negara maju.
Pendapat ini tentu akan mendapat tantangan tidak hanya dari negara-negara maju, tetapi juga dari negara-negara berkembang. Meskipun secara ekologis baik untuk menjaga sumber daya tuna, pelarangan aktivitas penangkapan akan memukul bidang sosial dan ekonomi negara-negara anggota. Beberapa masalah yang mungkin timbul antara lain pengangguran dan berkurangnya pendapatan negara dan masyarakat dari perdagangan komoditas tuna.
Hal yang perlu dilakukan
Melihat permasalahan terkait keberlanjutan perikanan tuna, khususnya di laut lepas, beberapa hal dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian sumber daya tersebut. Salah satunya dengan melanjutkan kerja sama antarnegara di bawah payung RFMO. Kerja sama ini dapat berupa berbagi data dan informasi serta penelitian bersama untuk memonitor status konservasi tuna setiap tahun.
Penentuan kuota penangkapan juga dapat dilakukan untuk membatasi penangkapan sumber daya tuna agar tidak berlebih. Menerapkan kuota penangkapan dapat menjadi metode yang efektif untuk menjaga kelestarian tuna di laut lepas. Meskipun demikian, tingkat keberhasilannya bergantung kepada beberapa faktor seperti skema kuota yang akan diterapkan, penegakan hukum, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan ekologis sumber daya tuna itu sendiri.
Baca juga: Masa Depan Pangan Laut Kita
Selain itu, penerapan ketertelusuran (traceability) produk tuna dapat mendukung pengelolaan perikanan tuna yang bertanggung jawab. Metode ini dilakukan untuk mengetahui pergerakan produk tuna dari kapal penangkap ikan hingga ke tangan konsumen. Ketertelusuran produk juga dapat mendukung Upaya untuk mencegah terjadinya penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing).
Pemanfaatan sumber daya tuna di laut lepas ini merupakan perang kepentingan antar berbagai pihak seperti negara, industri, dan lembaga swadaya masyarakat. Ada pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan ada juga pihak lain yang ingin menjaga kelestarian sumber daya.
Di sinilah peran RFMO menjadi penting karena bersama negara-negara anggota perlu menerapkan cara untuk mengakomodasi kedua kepentingan yang cenderung bertentangan tersebut. Selain itu, terdapat juga kepentingan nelayan kecil yang memanfaatkan perikanan tuna di perairan Indonesia. Oleh karena itu, keberhasilan pengelolaan perikanan tuna di laut lepas dapat memberikan dampak yang positif bagi keberlanjutan bagi nelayan dan perikanan skala kecil di perairan Indonesia.
Irwan Jatmiko, Peneliti BRIN; Sedang Menempuh Studi S-3 di University of Tasmania, Australia
Twitter: irwanjatmiko