Uang Digital: Dulu, Kini, dan Nanti
Menilik sejarah uang digital dan tren saat ini, penting ke depan dilakukan konvergensi dan integrasi antara mata uang digital dan privat. Pengambilan keputusan di pemerintahan dan bank sentral tengah mendalami hal ini.
Awal tahun ini, Bank Indonesia (BI) menerbitkan naskah konsultatif mengenai Rupiah Digital. Masukan masyarakat ditunggu sampai tengah bulan depan. Kita akan menyaksikan bersama, bagaimana tanggapan masyarakat atas rencana ini.
Di luar sana, masyarakat global memang tengah ramai memperbincangkan hal ini. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), terdapat kurang lebih 100 negara yang saat ini mengeksplorasi manfaat dan kekurangan mata uang digital.
Sebenarnya, bagaimana sejarah kemunculan uang digital? Tren apa yang sedang terjadi saat ini dan bagaimana prediksi ke depan?
Dulu: alat transfer antarbank
Cikal-bakal kelahiran uang digital terjadi ketika bank sentral menciptakan sistem transfer dana elektronik antarbank. Ini terjadi pada rentang tahun 1960-1990. Negara yang mula-mula menerapkan ini adalah Swedia, pada 1963. Kemudian diikuti Amerika Serikat (AS) pada 1974 dan Jerman pada 1993. Australia, Indonesia, dan Kanada mulai menerapkannya pada 1998-1999.
Mengapa sistem ini mula-mula hanya dinikmati ”elite” perbankan saja? Tiga alasan. Pertama, alasan ekonomi. Nilai investasi yang sangat mahal membuat otoritas harus menetapkan prioritas. Kalkulasi biaya, pengembalian investasi, dan manajemen risiko menjadi pertimbangan utama.
Baca juga: Menimbang Penerbitan Rupiah Digital
Kedua, inovasi dan teknologi yang masih orok. Meski terbilang sederhana jika dilihat dari kacamata sekarang, transfer dana elektronik saat itu merupakan inovasi baru yang belum lazim. Dengan demikian, otoritas harus membatasi dampak dari risiko kegagalan atas inovasi ini. Saking dahsyatnya, AS bahkan sampai mengeluarkan undang-undang mengenai transfer dana elektronik pada 1978.
Ketiga, capaian makro secara umum belum seperti saat ini. Bahkan sampai awal tahun 2000-an, kondisi ekonomi, perkembangan teknologi, sosial, sampai media dan jejaring belum semaju sekarang. Belum ada media sosial dan fenomena viral.
Internet di Indonesia masih terbatas, hanya digunakan oleh ratusan ribu orang di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Bandingkan dengan sekarang yang ada pada angka ratusan juta dan menjangkau hampir pelosok Indonesia. Facebook masih dilakukan coding oleh Mark Zuckerberg dan teman sekamar kosnya di “Kirkland House”, Cambridge, Massachusetts.
Hal ini tak jauh beda dengan internet yang mula-mula hanya digunakan oleh Departemen Pertahanan AS, di Pentagon. Karena manfaatnya yang sangat besar, penggunaannya meluas dengan sendirinya mengikuti hukum alam.
Uang digital privat
Perlu disebut di awal bahwa pada ilmu ekonomi, dikenal uang bank sentral dan uang bank komersial. Yang pertama termasuk uang fiat (kertas dan logam) dan simpanan bank di bank sentral. Sementara yang kedua, termasuk kredit yang kita peroleh dari bank.
Pembedaan ini penting sekali untuk kepentingan pengambilan kebijakan ekonomi dan pengembangan sektor keuangan oleh pemerintah dan bank sentral. Namun, jujur diakui bahwa untuk kepentingan transaksi di mata konsumen, tidak terlalu relevan. Konsumen tahunya uang harus mampu memenuhi tiga kepentingan: alat simpan, alat hitung, dan alat tukar.
Pembedaan ini berlaku juga pada konteks uang digital. Terdapat uang digital yang diterbitkan oleh entitas privat dan uang digital terbitan bank sentral. Demi kemudahan, kita sebut yang pertama uang digital privat, sementara yang kedua mata uang digital. Yang kedua juga dikenal sebagai central bank digital currency (CBDC).
Konsumen tahunya uang harus mampu memenuhi tiga kepentingan: alat simpan, alat hitung, dan alat tukar.
Uang digital privat lahir pada era 1990-2000 dan mencapai keemasan pada masa 2000-2020. Contoh uang digital yang mula-mula lahir dan cukup popular adalah eCash. Uang digital ini diterbitkan oleh Digicash pada awal 1990-an, perusahaan teknologi besutan pakar komputer dan kriptografi, David Chaum.
Pada era 1990-an, eCash sangat populer di beberapa negara, khususnya Belanda dan AS. Karena kurang luasnya pedagang yang menerima pembayaran menggunakan eCash, Digicash akhirnya pailit pada 1998. Dalam teori ekonomi, perusahaan ini gagal meraih manfaat dari perluasan jaringan eksternal (network externality).
Pada era 2000-2020, uang digital privat meraih kejayaan. Perkembangannya diwarnai dengan dua hal utama. Pertama, makin maraknya inovasi pembayaran digital. Kedua, munculnya uang, atau lebih tepatnya aset, kripto.
Agar tidak membingungkan kawan dan lawan, kita ciptakan definisi yang mudah. Kelompok pertama adalah uang digital privat yang tetap merepresentasikan uang fiat. Sementara kelompok kedua, murni uang digital yang diterbitkan oleh entitas privat, berbasis algoritma.
Baca juga: "Stablecoin", Era Paradigma Baru "Digital Central Bank Money"
Contoh pertama termasuk Paypal, Alipay, dan Google Pay. Kebanyakan produk ini disediakan oleh perusahaan teknologi besar atau bigtech. Di kancah domestik, marak di satu sisi uang elektronik perbankan berbasis kartu. Di sisi lain, bangkit uang elektronik berbasis server besutan bigtech lokal, seperti Gopay dan Ovo. Demografi Indonesia yang didominasi kaum muda, serta progres digitalisasi kita yang luar biasa, membuat uang digital semakin mudah diterima.
Kelompok kedua termasuk segala jenis aset kripto termasuk koinstabil (stablecoin) dan tokenisasi aset. Sebagaimana kita tahu, uang digital pada kelompok ini diawali dengan lahirnya bitcoin. Aset kripto yang diinspirasi dari naskah seminal Satoshi Nakamoto (nama samaran) pada 2008.
Satu setengah dekade kemudian, dunia semakin diramaikan hiruk-pikuk aset kripto. Termasuk, munculnya kaum jet set baru pada masa boom industri kripto, 2017. Juga, runtuhnya beberapa bursa kripto seperti Mt Gox pada 2010 dan FTX akhir 2022.
Terkini, diskusi dampak pasar kripto terhadap sektor keuangan dan perbankan, mengikuti ditutupnya Silicon Valley Bank (SBV) pada bulan Maret tahun ini. SBV adalah bank di California yang kegiatan usaha dan investasinya banyak terkait kripto. Sejak awal tahun, aset SBV menurun sangat tajam, dampak dari ”musim dingin kripto” pada November 2022. Padahal pada akhir tahun itu, SBV memiliki aset lebih dari Rp 3.000 triliun, menjadikannya bank terbesar ke-16 di AS.
Kini: Mata uang digital
Sejak 2020, mata uang digital terbitan bank sentral mulai ramai dibicarakan. Meski masih tahap awal, mata uang digital ini terlihat mengikuti nasib perkembangan uang digital privat. Muncul tenggelam, naik turun.
”Sistema de Dinero Elecronico”, misalnya. Mata uang digital ini diluncurkan Pemerintah Ekuador pada 2014, tetapi ditutup pada 2018. Alasannya lagi-lagi sama, adopsi yang rendah membuat manfaatnya kurang dirasakan masyarakat. Belum lagi pemerintah kesulitan mengelola sistemnya serta banyaknya potensi kejahatan pencucian uang. Isu sustainabilitas keuangan juga mengemuka.
Meski demikian, mayoritas negara terus melakukan eksplorasi. Grup yang telah meluncurkan mata uang digital cenderung dari negara berkembang. Termasuk di dalamnya, Kepulauan Bahama dan Nigeria. Adopsi masih sangat rendah.
Kabar terkini, jumlah dompet mata uang digital di China bahkan mencapai 260 juta. Proyek rintisan di India juga dikembangkan sampai ke 15 kota, termasuk Mumbai.
Negara yang gencar dan cukup berhasil melakukan proyek rintisan termasuk China dan India. Sejauh ini, adopsinya cukup pesat. Kabar terkini, jumlah dompet mata uang digital di China bahkan mencapai 260 juta. Proyek rintisan di India juga dikembangkan sampai ke 15 kota, termasuk Mumbai. Tampaknya, kedua negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia ini sangat bernafsu meraih manfaat dari uang digital.
Sementara grup negara maju seperti AS dan Eropa, serta berpenghasilan menengah termasuk Indonesia, lebih berhati-hati. Penelitian dan kolaborasi dengan industri dan masyarakat terus dilakukan agar nanti manfaat dari mata uang digital dapat diraih secara maksimal. Dalam hal ini termasuk manfaat yang banyak dibicarakan adalah inklusi ekonomi dan keuangan, efisiensi sistem pembayaran, sampai penguatan kebijakan moneter dan stabilitas keuangan. Tentu, tergantung desain dan fitur mata uang digital yang diterbitkan.
Nanti: Integrasi dan konvergensi
Menilik sejarah uang digital dan tren saat ini, penting ke depan dilakukan konvergensi dan integrasi antara mata uang digital dan privat. Akan lebih banyak manfaatnya buat ekonomi dan masyarakat. Jadi, tidak didikotomi.
Tentu konvergensi dan integrasi dilakukan pada level yang berbeda-beda. Tergantung berbagai hal, termasuk desain dan fitur. Karena itu, asesmen secara menyeluruh dan hati-hati harus terus dilakukan.
Baca juga: Digital Rupiah dan Tantangan Keuangan Era Digital
Pertanyaannya, apakah mungkin? Saat ini, para ekonom, insinyur, teknokrat, periset, dan pengambilan keputusan di pemerintahan dan bank sentral tengah mendalami hal ini. Itulah makanya, BI menerbitkan naskah konsultatif mengenai Rupiah Digital, untuk memperoleh masukan masyarakat termasuk para ahli. Langkah yang cerdas!
Safari Kasiyanto, Pakar Sektor Keuangan Senior pada Departemen Moneter dan Pasar Modal, Dana Moneter Internasional