Digital Rupiah bukanlah sekadar mata uang fisik yang ditransformasi dalam bentuk digital. Di balik itu, ada konsekuensi lain, yaitu menuntut penambahan kewenangan lain untuk BI.
Oleh
KARTINI LARAS MAKMUR
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Di pengujung tahun 2022, Bank Indonesia (BI) secara resmi mengumumkan rencana penerbitan Digital Rupiah, mata uang digital resmi keluaran bank sentral (central bank digital currency/CBDC). Namun, apakah rencana yang disebut dengan Proyek Garuda itu betul-betul jawaban yang tepat atas tantangan keuangan di era digital?
Dalam buku putih Proyek Garuda; Menavigasi Arsitektur Digital Rupiah, Digital Rupiah diklaim ideal sebagai instrumen inti BI dalam menjalankan mandatnya di era digital ini. Digital Rupiah diharapkan tidak hanya akan menjadi alat pembayaran digital yang sah, tetapi juga mendukung inklusi keuangan dan inovasi.
Rencana peluncuran Digital Rupiah merupakan respons BI, sebagai otoritas tunggal yang menerbitkan mata uang, terhadap perkembangan ekonomi keuangan digital di dalam negeri. Ada beberapa catatan kritis dari berbagai sudut pandang terkait relevansi argumen tersebut.
Dalam kerangka regulasi saat ini, BI belum memiliki landasan yang jelas terkait otoritas penerbitan mata uang digital. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009 memberikan otoritas kepada BI untuk menerbitkan uang kertas dan uang logam. Tetapi, kewenangan itu tak bisa disamakan dengan penerbitan mata uang digital.
Perlu diingat bahwa Digital Rupiah bukanlah sekadar mata uang fisik yang ditransformasi dalam bentuk digital. Di balik itu, ada konsekuensi lain terkait dengan kewenangan bank sentral. Penerbitan Digital Rupiah yang merupakan mata uang terprogram tidak sesederhana penerbitan uang kertas, uang logam, ataupun rekening giro. Sebab, mata uang digital berbeda halnya dengan uang kartal atau rekening giro yang memiliki karakteristik serupa dengan uang kartal.
TANGKAPAN LAYAR
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menunjukkan dokumen White Paper Rupiah Digital yang dinamakan Proyek Garuda pada acara bincang-bincang Birama (BI Bersama Masyarakat) dengan judul “Meniti Jalan Menuju Rupiah Digital”, Jakarta, Senin (5/12/2022).
Penerbitan Digital Rupiah menuntut penambahan kewenangan lain untuk BI. Misalnya, pengawasan yang lebih ketat terhadap transaksi berbasis Digital Rupiah. Selain itu, kehadiran Digital Rupiah sebagai mata uang digital yang sah juga akan menggantikan uang kartal sehingga memungkinkan penerbitan instrumen kebijakan moneter berupa suku bunga negatif. Karena itu, penerbitan Digital Rupiah juga akan berimbas kepada penambahan otoritas baru bagi BI terkait penetapan suku bunga negatif.
Belum lagi soal status Digital Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) yang saat ini belum memiliki pijakan hukum. Menurut UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, alat pembayaran yang sah adalah Rupiah dalam wujud uang kertas dan uang logam. Adapun penggunaan Digital Rupiah yang juga sebagai alat tukar dalam ekosistem Web 3.0 seperti Metaverse dan DeFi, belum terakomodasi.
Penerbitan Digital Rupiah menuntut penambahan kewenangan lain untuk BI. Misalnya, pengawasan yang lebih ketat terhadap transaksi berbasis Digital Rupiah.
Lebih jauh dari fondasi regulasi, status legal tender juga perlu dicermati dari sisi sosiologis. Katakanlah UU Mata Uang diubah untuk memfasilitasi implementasi Proyek Garuda. Permasalahan di atas kertas selesai, tetapi kenyataan di masyarakat membutuhkan penyesuaian yang tidak mudah. Status legal tender mengikat masyarakat dengan kewajiban hukum untuk tidak bisa menolak penggunaan Digital Rupiah. Kenyataannya, ada asas kebebasan berkontrak yang memungkinkan pelaku usaha tetap bisa memilih tidak menggunakan Digital Rupiah.
Catatan Jianguo Xu (2022) penting untuk dijadikan referensi. Ketika Pemerintah China menjalankan pilot project CBDC e-CNY dengan status legal tender yang jelas, masih ada anggota masyarakat yang enggan menggunakannya. Secara kultural, masyarakat masih ada yang melihat uang kartal tidak sekadar alat tukar, tetapi juga bukti kepemilikan harta. Ditambah lagi likuiditasnya lebih tinggi.
Inklusi atau eksklusi keuangan?
Digital Rupiah diyakini akan menjadi akselerator inklusi keuangan. Dengan fungsi offline yang memungkinkan token tetap bekerja tanpa sambungan internet, siapa pun bisa menggunakan r-Digital Rupiah. Namun, sebagaimana telah diakui oleh BI sendiri dalam buku putihnya, saat ini inklusi keuangan melalui sistem digital telah berjalan baik dengan fondasi regulasi yang kuat dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 (BSPI 2025).
Di Indonesia sudah lazim penggunaan baik uang elektronik, dompet digital, maupun sistem pembayaran digital. Masyarakat sangat akrab dengan Go-Pay, Shopee Pay, OVO, Link Aja, dan QRIS. Tanpa didorong untuk menggunakan Digital Rupiah pun masyarakat sudah mengurangi penggunaan uang tunai. Oleh karena itu, desain Digital Rupiah perlu dipastikan betul-betul ramah pengguna. Jika tidak, mungkin masyarakat tidak akan tertarik menggunakan Digital Rupiah dan terus menggunakan uang elektronik maupun dompet digital yang ada selama ini.
Dengan demikian, Digital Rupiah bukanlah jawaban atas kebutuhan akselerasi inklusi keuangan melalui sistem digital di Indonesia. Sebaliknya, justru risiko eksklusi keuangan mengintai di balik penerbitan Digital Rupiah ketika terjadi kesalahan dalam memutuskan persetujuan pembukaan akun. Sebab, penerbitan akun r-Digital Rupiah hanya dapat dilakukan oleh BI. Padahal, seharusnya eksklusi yang dilakukan hanya untuk pihak yang benar-benar mencurigakan, seperti indikasi kasus pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Secara global, salah satu alasan inisiatif penerbitan CBDC adalah sebagai respons bank sentral terhadap eksistensi mata uang kripto. Fenomena kejatuhan harga kripto (crypto winter) memperlihatkan rapuhnya fondasi model bisnis kripto. Bank sentral di dunia, termasuk BI, merasa perlu mendesain uang yang dipercaya dan diandalkan masyarakat (trusted money) dengan nilai stabil. Kripto juga dianggap sebagai ancaman sebagai mata uang bayangan (shadow currency) karena sifatnya yang mungkin menciptakan bank sentral bayangan (shadow central banking) karena sifatnya terdesentralisasi dari bank sentral.
Sekilas, CBDC seperti Digital Rupiah menjanjikan stabilitas harga yang tidak dimiliki mata uang kripto. Namun, sejauh ini dalam Proyek Garuda belum ada desain pengaturan terkait interoperabilitas. Karena itu, stabilitas yang ada hanya bersifat maya karena terbatas pada geografis dan otoritas bank sentral masing-masing negara. Selain itu, ketiadaan mata uang global seperti Bancor yang ditawarkan Keynes, pada akhirnya stabilitas Digital Rupiah hanya terbatas di Nusantara dan tetap mengambang di tengah gelombang valas CBDC negara lain.
Menilai mata uang kripto sebagai ancaman sistem keuangan di masa depan pun berlebihan. Teknologi blockchain yang menjadi tulang punggung mata uang kripto terbukti tidak mampu melayani skala transaksi besar yang berlangsung terus-menerus. Ini yang sering disebut sebagai masalah skalabilitas kripto. Tak kalah penting, otoritas penerbitan mata uang sejauh ini disepakati oleh negara-negara di dunia, selayaknya tetap berada di tangan pemerintah.
Tidak perlu buru-buru
Hingga kini, penjajakan penerbitan CBDC di banyak negara masih tahap penjajakan dengan terus mempertajam riset. Sebut saja, di Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, Norwegia, Swedia, Finlandia, Kanada, dan Singapura. Mungkin China satu-satunya negara dengan pengaruh ekonomi besar yang selangkah lebih jauh dengan melakukan uji coba lapangan.
Karena itu, BI tidak perlu buru-buru untuk menerbitkan Digital Rupiah. Dalam melaksanakan peta jalan Proyek Garuda, BI harus betul-betul mengantisipasi risiko yang akan muncul. Bukan hanya aspek teknis terkait desain teknologi dan kebijakan moneter yang penting diperhatikan, melainkan juga fondasi regulasi dan implikasi sosiologisnya.