Menjadi Frugal Tanpa Merana
Kebimbangan menjadi frugal normal dirasakan siapa saja yang berniat menjalaninya. Mengikis ragu, tiap orang bisa memulai laku hemat berbeda. Frugal juga berarti berpola pikir membebaskan diri dari tekanan finansial.
Kaca bundar itu selesai digosok, kerak dan kotoran pun terangkat. Bening. Perlahan kaca diletakkan di permukaan meja yang telah dibersihkan lebih dulu. Meja kaca yang nyaris dibuang itu kembali cantik. Bersanding dengan kursi-kursi yang juga tak lagi baru, meja itu membuat teras kecil menjadi ruang baru yang nyaman.
Menginventarisasi barang-barang di rumah, memperbaiki yang masih dapat difungsikan, menata ulang, fokus menikmati apa yang telah ada adalah bagian dari gaya hidup frugal. Gaya hidup hemat atau sederhana—yang dipraktikkan para pendahulu kita dulu itu—sekarang mendapat pengikut baru.
Tren hidup frugal menggapai popularitasnya lagi selama pandemi Covid-19 melanda dan setelah status wabah global itu dicabut.
Baca juga : Tabah Menghadapi ”Hujan” di Bulan Juli
Dampak pagebluk menyebabkan banyak aktivitas dan pekerjaan terhenti sampai saat ini. Banyak orang terpaksa hidup kekurangan dan kian merana, terlebih jika telanjur berutang sana-sini demi memenuhi kebutuhan hidup.
Frugal kemudian menjadi tempat berpaling satu-satunya bagi banyak orang untuk bertahan. Bagi sebagian orang di negara maju, berhemat makanan di antaranya berarti mengurangi konsumsi daging. Di negara berkembang, bisa jadi sekadar nasi, sayur, kerupuk, dan gorengan.
Penghematan kemudian melebar ke berbagai hal, termasuk mengurangi penggunaan listrik, membatasi hingga menghentikan sementara pembelian pakaian baru, beralih memakai transportasi publik, atau menjual rumah untuk melunasi cicilan dan pindah ke tempat yang lebih kecil.
Di Indonesia, terutama di perkotaan, dampak wabah korona salah satunya ditandai dengan makin banyaknya pekerja informal. Fenomena badut jalanan, misalnya, sebagian dijalani oleh orang-orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Bagi mereka yang masih memiliki pekerjaan tetap, hidup hemat tetap menjadi pilihan. Hal ini karena rata-rata belum ada peningkatan penghasilan signifikan meski pandemi dianggap telah berlalu dan aktivitas pekerjaan kembali normal. Banyak perusahaan belum sepenuhnya mengaktifkan lagi secara penuh kebijakan kenaikan gaji berkala, bonus, dan fasilitas lain.
Frugal kemudian lebih melekat pada pola hidup pas-pasan dan semata strategi untuk bertahan. Fase hidup merana yang dipoles dengan nama ”hemat dan sederhana” demi membesarkan hati. Jika kelak kondisi ekonomi normal atau menjadi lebih baik, ada kemungkinan pola hidup ”suka-suka” bakal dijalani lagi.
Baca juga : Kucing, di Mana-mana Ada Kucing
Di sisi lain, tidak sedikit individu yang menyukai gagasan hidup frugal. Namun, saat memulai menjalaninya, banyak kendala menghadang.
Bayangan untuk tidak ke mal dan makan di restoran saja terasa penuh pengorbanan. Pikiran harus belanja barang murah, termasuk makanan, memicu pening. Belum lagi jika mulai menebak apa kata teman dan tetangga saat melihat kita memakai baju yang itu-itu saja dan telepon genggam jadul. Rasa rendah diri menyergap, sulit rasanya menjadi sederhana.
Untuk semua kelas
Kebimbangan menjadi frugal dirasakan siapa pun, baik yang berniat menjalaninya maupun yang sedang dalam fase awal bertransisi menjadi sederhana. Daisy Luther lewat bukunya The Ultimate Guide to Frugal Living memberi dorongan tegas bahwa cara hidup sederhana tanpa ada keraguan cocok dianut siapa saja. Kaya miskin, orang lanjut usia atau muda belia, sama-sama bakal lebih baik dengan berhemat.
Salah satu yang perlu dikelola adalah tujuan awal saat memilih gaya hidup ini.
Hidup frugal adalah pola pikir yang membebaskan diri dari tekanan finansial. Tekanan finansial ini tidak hanya mendera kelas menengah ke bawah, tetapi juga mereka yang berpendapatan besar.
Untuk itu, laku berhemat tiap orang bisa berbeda dengan orang lain, tergantung kondisi dan kemampuan yang bersangkutan. Di luar itu, menjadi orang hemat dan sederhana bagian dari membangun kesadaran diri untuk menjadi lebih baik bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Uang ditempatkan sebagai alat, bukan diabaikan atau dijauhi, bukan pula dipuja dan jadi tujuan hidup. Sebagai alat, uang tidak disangkal dapat membeli kebahagiaan. Syaratnya, harus dapat mengelolanya dengan bijak.
Laporan The New York Times beberapa waktu lalu mengajak pembaca mengenal pasangan miliarder Bob Weidner dan Angela Marchi. Suami istri kaya raya itu suka membeli pakaian di gerai penjual sandang bermerek tiap kali ada diskon besar. Cukup 1-2 kali saja dalam satu tahun, keduanya bisa mendapatkan tujuh barang dengan sekitar Rp 1,5 juta setiap belanja.
Padahal, opini publik yang terbangun adalah orang kaya pasti foya-foya. Ini tidak keliru, karena bermewah-mewah kerap dilakoni sebagian kaum berpunya, para selebritas, dan dipaparkan di berbagai media.
Namun, beberapa riset ilmiah menunjukkan, mereka yang hidup di atas sejahtera lebih bijak dalam menyimpan, membelanjakan, dan menginvestasikan uangnya. Uang ditempatkan sebagai alat, bukan diabaikan atau dijauhi, bukan pula dipuja dan jadi tujuan hidup.
Sebagai alat, uang tidak disangkal dapat membeli kebahagiaan. Syaratnya, harus dapat mengelolanya dengan bijak.
Jadi, menyambung Luther, Celeste Smucker dalam tulisannya di Medium.com menyatakan, mendudukkan uang pada fungsinya menjadi awal yang tepat sebelum memulai hidup frugal. Dengan memiliki pola pikir ini, pengaruh dari luar, seperti kekhawatiran perubahan gaya hidup hemat bakal memutus hubungan sosial dengan sejawat atau bakal sulit bersenang-senang, dapat segera ditepis.
Bagi yang sedang terbelit utang, penghasilan kempis sementara pengeluaran terus membubung, berhemat dapat dilakukan dengan memilih mengutamakan kebutuhan prioritas secara logis. Biaya pendidikan anak, perangkat penunjang pekerjaan, cicilan rumah, angsuran BPJS Kesehatan, dan kecukupan asupan gizi keluarga bakal memakan porsi pengeluaran terbanyak. Selebihnya diutak-utik agar dengan cara sederhana, hidup tetap berkualitas.
Bagi yang berpunya, hidup sederhana bisa makin memudahkan, selain bagian dari tanggung jawab sosial.
Baca juga : Belanja dan Belanja, tetapi Kulkas Tak Juga Penuh
Adrian Maulana, misalnya, lewat akun Instagram miliknya berbagi kisahnya 1,5 tahun terakhir beralih dari pengguna mobil pribadi ke kereta komuter dan ojek. Artis sekaligus praktisi investasi ini menuliskan, selain menekan pengeluaran hingga Rp 300.000 dalam satu hari, perjalanannya pun lebih cepat. Ia juga tetap menikmati hidup dengan ngopi. Hanya, ia menyarankan membeli kopi di gerai kopi lokal yang lebih murah ketimbang di gerai waralaba besar.
Kampanye Adrian itu menyejukkan. Membuat masyarakat lebih mudah memahami bahwa hemat bukan berarti merana. Pengeluaran dikendalikan sehingga tak perlu berutang atau mampu membayar cicilan dan melunasinya tepat waktu. Namun, ada saja pihak-pihak yang menggambarkannya secara sembarangan, bahwa sebagai artis ia tak laku lagi sehingga memilih kendaraan umum.
Ramah lingkungan
Menurut Luther dan Smucker, menjadi frugal juga berarti ramah lingkungan. Membatasi belanja dan memaksimalkan penggunaan barang yang telah dimiliki, misalnya, dapat mengurangi eksploitasi alam untuk memproduksi berbagai produk baru.
Smucker menegaskan, frugal dan tetap bahagia harus menjadi pola pikir publik. Untuk itu, ia tidak mengharamkan membeli mobil untuk menuntaskan impian menjelajah negeri atau sekadar bisa piknik sekeluarga di masa-masa tertentu. Rumah boleh kecil saja sesuai kebutuhan, tetapi jika rezeki tersedia, mengapa tidak menambah lahan untuk bercocok tanam. Menambah pasokan pangan mandiri, lingkungan pun sejuk.
Makan enak atau membeli barang berharga juga apa salahnya. Asalkan kembali ke prinsip sederhana dan hemat, artinya bersenang-senang sebagai hadiah bagi diri sendiri dan orang tersayang yang tentu tidak setiap hari.
Baca juga : Meraba-raba Kota Global Jakarta
Sejumlah ahli keuangan bahkan menyarankan, tak masalah memanfaatkan promosi kupon potongan harga, cash back, dan strategi pemasaran lain. Namun, pastikan Anda dapat melunasi tagihan di akhir bulan tanpa perlu membayar bunga berlebih atau cicilan jangka panjang yang dapat merenggut kebebasan finansial.
Apalagi di masa sekarang, hidup tanpa kartu kredit tak selalu dapat dilakukan. Terlebih bagi mereka yang karena tuntutan pekerjaan sering bepergian ke luar kota dan luar negeri. Kartu kredit telah menjadi alat pembayaran resmi yang diterima lintas negara.
Menjalani hidup sederhana menjadi kebutuhan di saat ekonomi dan kondisi bumi sedang tak baik-baik saja. Tren gaya hidup frugal pun diharapkan bukan sekadar fenomena sesaat.
Memulai menjadi frugal dapat dilakukan dengan mengubah sedikit demi sedikit perilaku sehari-hari. Merawat dan memakai ulang barang-barang di rumah atau mencoba menggunakan angkutan umum ke kantor sekali sepekan dulu juga bisa. Alih-alih makan di restoran, pesta potluck saja di kantor. Piknik di taman sambil bawa bekal dari rumah juga asyik. Yuk, mau coba yang mana dulu?
Baca juga : Catatan Urban