Menunggu Regulasi Payung Perlindungan Anak dari Dampak Rokok
Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990 sehingga pemerintah wajib melindungi hak anak, salah satunya hak anak untuk sehat. ”Kehadiran” negara dalam bentuk regulasi yang kuat sangat ditunggu.
Kencangnya intervensi industri rokok melalui para mitranya agar pemerintah daerah membuka keran bagi iklan, promosi, dan sponsor rokok tak diimbangi dengan regulasi pengendalian tembakau yang kuat.
Apakah cukup hanya berharap pada komitmen kepala daerah untuk mempertahankan kebijakan pelarangan iklan rokok dalam situasi kondisi masyarakat Indonesia yang menormalkan produk rokok? Jawabnya, tidak cukup!
Pada 18 Juli 2023, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono memaparkan data terkini terkait perokok anak. Angkanya sangat memprihatinkan. Saat ini perokok anak mencapai 10 persen. Artinya, satu dari 10 anak sudah merokok. Data miris lain, tiga dari empat orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun. Pernyataan senada dengan Dante sejatinya sudah sering disampaikan pemerintah dan pegiat perlindungan tembakau.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun terus meningkat. Jika pada 2013 jumlahnya hanya 7,2 persen, dalam jangka lima tahun prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun melonjak menjadi 9,1 persen (2018).
Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019. Bappenas juga sudah memprediksi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030 jika tidak ada komitmen dan regulasi yang kuat yang membentengi anak dari rokok.
Baca juga : Anak-anak Indonesia Terkepung Asap Rokok
Sudah banyak data dan fakta mengungkapkan dampak merokok pada anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia menegaskan semakin muda seseorang merokok, tingkat adiksi rokok semakin tinggi, dan ini mempersulit anak berhenti merokok.
Rokok juga memengaruhi fungsi jaringan prefrontal cortex (PFC), yaitu otak bagian depan yang bertanggung jawab terhadap kemampuan kognitif, di mana PFC ini sangat rentan dipengaruhi sesuatu yang membuat adiksi, termasuk mengonsumsi nikotin, zat berbahaya dalam rokok yang berefek memicu kecanduan.
Dampaknya pada anak-anak yang terpapar asap rokok orang dewasa dan menjadi perokok pasif juga sangat berbahaya, karena anak yang terpapar berpotensi terkena penyakit serius hingga kematian.
Data Persatuan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) pada 2018 menunjukkan 40 juta anak di Indonesia menjadi perokok pasif, yang berisiko mengalami masalah pernapasan, termasuk pneumonia, penyakit pada organ paru- paru yang berpotensi menyebabkan kematian.
Regulasi setengah hati
Di balik fenomena meningkatnya prevalensi perokok anak di Indonesia, mencuat persoalan pelik terkait regulasi. Walaupun Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, regulasi ini tidak ketat mengatur upaya perlindungan anak dari zat adiktif. Khususnya terkait pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok yang bertujuan melindungi anak dari target pemasaran masif industri rokok.
Misalnya, terkait iklan rokok melalui internet atau media teknologi informasi, PP No 109/2012 (Pasal 30) hanya mengatur batasan usia untuk mengakses iklan. ”Selain pengendalian Iklan Produk Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, iklan di media teknologi informasi harus memenuhi ketentuan situs merek dagang Produk Tembakau yang menerapkan verifikasi umur untuk membatasi akses hanya kepada orang berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas”.
Namun, fakta di lapangan membuktikan aturan batas usia ini tidak efektif sama sekali untuk melindungi anak terpapar iklan rokok. Sebab, iklan dan promosi rokok, termasuk rokok elektronik, begitu bebas berseliweran di medsos, media daring, dan aplikasi lokapasar.
Selain persoalan PP No 109/2012, yang juga membuat masyarakat resah adalah ketika pada 11 Juli 2023 DPR mengesahkan lahirnya UU kesehatan baru yang siap menggantikan regulasi bidang kesehatan yang lama. Keresahan ini karena mencermati salah satu pernyataan Menkes pada rapat paripurna pengesahan UU itu, yakni berubahnya paradigma pembangunan sektor kesehatan dari ”mengobati” ke ”pencegahan”, tetapi semangat ”pencegahan” tak terlihat dalam kaitannya dengan upaya pencegahan dan pengendalian perilaku merokok, terutama perokok pemula.
Walaupun Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, regulasi ini tidak ketat mengatur upaya perlindungan anak dari zat adiktif.
Dalam bagian ke-24 terkait Pengamanan Zat Adiktif, jika dicermati pasal demi pasal dari 149 sampai 151, tidak ada satu pun narasi tegas pencegahan dan perlindungan anak dari target pemasaran industri rokok, dalam bentuk pelarangan segala jenis bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPS Rokok).
Kondisi ini sangat krusial karena iklan secara substansi merupakan metode komunikasi massa yang bertujuan meningkatkan penjualan produk yang diiklankan. Dalam konteks ini tentunya tujuan menghasilkan sebanyak mungkin konsumen rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektronik.
Melalui teknik subliminal advertising, industri rokok melalui siasat manipulatif memengaruhi bawah sadar pikiran anak dengan menjual gaya hidup anak muda yang berciri petualang, jantan, setia kawan, dan kreatif. Dengan demikian, di alam bawah sadar anak-anak yang sedang berkembang dan mudah dipengaruhi itu akan tertanam bahwa rokok adalah produk normal karena iklannya tidak dilarang.
Padahal, rokok adalah produk tidak normal dan berbahaya karena mengandung 7.000 zat berbahaya dan 69 di antaranya memicu kanker.
Intervensi tiada henti
Kebijakan pemerintah pusat yang tidak kunjung membuat regulasi pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok secara ketat tentu saja membingungkan daerah. Tanpa regulasi payung yang secara ketat mengatur pelarangan iklan rokok, khususnya di media luar ruang, menjadikan pemda membuat penafsiran tersendiri dalam pembuatan regulasi dan implementasinya di lapangan.
Sejumlah daerah, atas inisiatif sendiri, membuat aturan pelarangan iklan rokok dalam berbagai bentuk. Mulai dari memasukkan pelarangan iklan rokok dalam Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) dan Perda Kabupaten Kota Layak Anak, membuat pengaturan reklame, peraturan gubernur, instruksi wali kota, dan sebagainya.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan, inisiatif pemda terus-menerus mendapatkan tekanan dari industri rokok dan para mitranya. Industri rokok sangat cerdik memanfaatkan kondisi lawless akibat tidak adanya regulasi di tingkat nasional sebagai payung hukum untuk penerbitan regulasi di bawahnya, karena tak mengatur secara ketat klausul-klausul terkait pelarangan IPS rokok.
Hal itu seperti tekanan yang dialami Pemerintah Kota Padang di Sumatera Barat yang telah memberlakukan aturan kawasan tanpa rokok (KTR) yang tertuang dalam Perda KTR No 24/2012, serta Peraturan Wali Kota (Perwako) No 25 Tahun 2016 yang menjadikan kota Padang bebas iklan rokok.
Baca juga : Regulasi Pertembakauan Belum Optimal, Perokok Anak Meningkat
Tekanan, antara lain, disuarakan Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Sumatera Barat Yarsina Devi, yang ingin aturan lebih jelas terkait KTR, karena hilangnya iklan rokok dinilai mematikan banyak sektor usaha, selain periklanan.
Maret 2023, Yarsina menyatakan, sejak perwako terbit pada 2016, pendapatan iklan rokok terjun bebas alias tak ada sama sekali. Ia juga menyatakan kegiatan konser yang disponsori iklan rokok tak lagi bisa dilaksanakan. ”Padahal, konser musik itu memiliki dampak positif bagi perputaran uang di Padang. Karena iklan rokok dilarang, konser musik juga jarang karena hanya rokok yang berani mensponsorinya,” ujarnya dikutip media.
Yang menyedihkan, tekanan ini justru direspons positif anggota DPRD Padang Komisi I, Budi Syahrial, yang menyorot belum tegasnya aturan KTR di Padang. ”Perdanya, kan, sudah ada. Sekarang harus dipertegas dengan peraturan wali kota. Perjelas aturan mana kawasan yang boleh ada iklan rokok dan mana yang tidak,” ujarnya.
Kalau ini dipertegas, kata Budi, akan ada potensi pemasukan pendapatan asli daerah yang cukup besar dari pajak reklame.
Untungnya pembelaan diberikan oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Padang Yosefriawan, yang mengatakan pendapatan dari iklan rokok tidak dominan di Padang.
Menurut dia, sebelum aturan KTR diberlakukan, tahun 2015 pendapatan pajak reklame, termasuk di dalamnya iklan rokok, hanya Rp 5,6 miliar. Lalu, pada 2016 naik menjadi Rp 8,85 miliar dan pada 2017 turun menjadi Rp 7,65 miliar. Namun, pada 2022 tanpa iklan rokok, pendapatan pajak reklame menjadi Rp 12,44 miliar.
Namun, bagaimana dengan daerah lain yang menerima intervensi lebih kencang? Akan seberapa kuat pemimpin daerahnya bertahan menahan gempuran intervensi tersebut?
Itu sebabnya, daerah sangat menunggu terbitnya regulasi payung yang ketat mengatur implikasi dan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Tanpa regulasi payung yang kuat, pemimpin daerah yang berkomitmen melindungi anak dari produk zat adiktif tembakau hanya akan berjuang sendirian.
Momentum Hari Anak Nasional (HAN) setiap tahun kerap menjadi ajang bagi Forum Anak Nasional untuk menyuarakan poin keprihatinan mereka terhadap lemahnya regulasi yang melindungi mereka dari target pemasaran industri rokok yang masif. Apakah perayaan HAN tahun 2023 kembali akan berlalu dengan pembiaran pemerintah pusat dalam mengakomodasi suara calon penerus generasi bangsa ini?
Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990 sehingga pemerintah wajib melindungi hak anak, salah satunya hak anak untuk sehat. ”Kehadiran” negara dalam bentuk regulasi yang kuat untuk melindungi anak sangat ditunggu.
Muharman,Ketua Ruang Anak Dunia Sumatera Barat