Meski 1 Juni diperingati sebagai Harlah Pancasila, penulisan di berbagai materi Pancasila tak demikian. Agar Keppres No 24/2016 bisa jadi kebijakan pelurusan sejarah Pancasila, revisi buku ”Risalah Sidang BPUPKI-PPKI”.
Oleh
SYAIFUL ARIF
·4 menit baca
Penguatan Pancasila telah berjalan sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga menjelang akhir periode keduanya. Namun, soal penulisan sejarah Pancasila ternyata masih buram. Hal ini berdampak pada simpang siur historiografi Pancasila di berbagai materi kenegaraan.
Keburaman sejarah Pancasila terdapat pada penulisan kelahiran Pancasila yang tidak sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Dalam keppres tersebut ditegaskan, kelahiran Pancasila terjadi pada 1 Juni 1945 melalui pidato Soekarno di sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Namun, penegasan itu tidak terdapat dalam berbagai materi Pancasila.
Buku-buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) terbitan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sejak 2018 hingga 2021 tetap menulis dengan gaya Orde Baru, yakni gaya historiografi sejarawan Nugroho Notosusanto (1979-1981) yang menempatkan Mr Muhammad Yamin dan Mr Soepomo sebagai dua tokoh yang mengusulkan Pancasila lebih dahulu dari Soekarno. Yamin berpidato pada 29 Mei 1945, sedangkan Soepomo berpidato pada 31 Mei 1945.
Padahal, historiografi Notosusanto dijadikan argumentasi akademik untuk memperkuat penghapusan kebijakan peringatan Harlah Pancasila sejak 1970. Artinya, pandangan sejarah Notosusanto memperkuat kesimpulan bahwa 1 Juni bukan hari lahir Pancasila karena terdapat dua rumusan Pancasila versi Yamin dan Soepomo yang disampaikan sebelum 1 Juni 1945. Peringatan Harlah Pancasila telah diadakan, baik oleh pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, sejak 1958 hingga 1969.
Artinya, ketika buku ajar karya Kemendikbudristek masih menulis rumusan Pancasila Yamin-Soepomo sebelum usulan Pancasila Soekarno pada 1 Juni, sama saja menganulir kebijakan peringatan Harlah Pancasila setiap 1 Juni yang dicanangkan kembali oleh Presiden Joko Widodo.
Historiografi Pancasila gaya Notosusanto juga terdapat dalam materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Penulis pikir, residu historiografi gaya ini juga terdapat di materi-materi lain.
Akar masalah
Pertanyaannya, kenapa hal ini terjadi? Akar masalahnya terdapat pada beberapa hal. Pertama, Keppres No 24/2016 terhenti sebagai keppres tentang kegiatan peringatan Harlah Pancasila setiap 1 Juni. Padahal, keppres tersebut memuat premis sejarah yang menulis historiografi kelahiran Pancasila secara lurus. Hal ini terdapat dalam Konsiderans Menimbang Huruf E, yang menyatakan bahwa terbentuknya Pancasila melalui tiga fase, yakni kelahiran pada 1 Juni 1945, perumusan pada 22 Juni 1945, dan pengesahan pada 18 Agustus 1945.
Penulisan sejarah kelahiran dan perumusan Pancasila versi Keppres No 24/2016 tepat jika dibandingkan dengan penulisan gaya Notosusanto atau Prawoto Mangkusasmito. Dalam karya klasiknya, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981), Notosusanto menyusun perumusan Pancasila dalam empat rumusan, yakni rumusan Yamin, rumusan Soekarno, rumusan Piagam Jakarta, dan rumusan PPKI.
Artinya, Notosusanto menempatkan rumusan Yamin sebagai rumusan pertama Pancasila. Dengan demikian, Pancasila tidak lahir pada 1 Juni, tetapi pada 29 Mei 1945.
Penulisan sejarah kelahiran dan perumusan Pancasila versi Keppres No 24/2016 tepat jika dibandingkan dengan penulisan gaya Notosusanto atau Prawoto Mangkusasmito.
Demikian pula karya Mangkusasmito, mantan Ketua Umum Masyumi, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), memiliki rumusan sendiri. Bagi Mangkusasmito, Pancasila memiliki lima rumusan, yakni rumusan Piagam Jakarta, rumusan PPKI, rumusan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949), rumusan UUD Sementara (1950), dan rumusan Dekrit Presiden 1959.
Artinya, Mangkusasmito menempatkan Piagam Jakarta sebagai rumusan pertama Pancasila dan membuang rumusan Soekarno pada 1 Juni 1945. Bagi Mangkusasmito, usulan Pancasila Soekarno pada 1 Juni bukan rumusan dasar negara, melainkan sekadar usulan pribadi anggota BPUPKI.
Jika rumusan versi Notosusanto dijadikan Orde Baru untuk menghapus peringatan Harlah Pancasila pada 1 Juni, rumusan versi Mangkusasmito digunakan oleh kelompok Islam untuk juga meniadakan usulan awal Pancasila pada 1 Juni. Sayangnya, materi TWK di atas justru menggunakan rumusan versi Mangkusasmito. Penggunaan rumusan yang meniadakan pidato 1 Juni Soekarno tersebut tentu bertentangan dengan Keppres No 24/2016.
Penulisan sejarah Pancasila versi Keppres No 24/2016 lebih tepat karena sesuai dengan fakta sejarah. Artinya, Pancasila lahir pada 1 Juni 1945 melalui pidato Soekarno, bukan melalui pidato Yamin dan Soepomo. Oleh karena itu, proses pembentukan Pancasila dimulai dari rumusan pertama, yakni rumusan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Soal ini telah diaminkan oleh para pendiri bangsa pelaku sejarah, sejak Ketua BPUPKI (Radjiman Wediodiningrat), Wakil Ketua BPUPKI (RP Soeroso), M Yamin sendiri, Ki Hadjar Dewantara, dan terutama, Bung Hatta. Sebagai pelaku sejarah yang kita daulat menjadi ”nurani bangsa”, Hatta di berbagai karyanya menegaskan Pancasila lahir melalui pidato Soekarno, bukan melalui pidato Yamin.
Ketiadaan sinkronisasi antara Keppres No 24/2016 dan berbagai materi Pancasila tersebut menunjukkan bahwa keppres ini tidak menjadi kebijakan hukum yang melandasi upaya akademik bagi ”pemutihan” sejarah Pancasila. Artinya, jajaran pemerintah tidak memahami keppres tersebut sebagai perintah Presiden untuk meluruskan sejarah Pancasila dalam dimensi akademik.
Revisi risalah
Akar masalah kedua terdapat pada sumber sejarah Pancasila yang resmi, yakni buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang disusun oleh Sekretariat Negara (1995). Mengapa? Karena buku tersebut masih memuat teks Yamin yang mengusulkan Pancasila. Hal ini terjadi karena buku itu merupakan penerbitan ulang buku Naskah Persiapan UUD 1945 (1959) suntingan Mr Yamin.
Hal ini berarti, buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI masih memuat data sejarah yang tidak otentik, yang menjadi sumber masalah bagi sejarah Pancasila.
Padahal, sejak 1970-an, Hatta membantah bahwa teks Yamin yang mengusulkan Pancasila adalah notulen pidato Yamin pada 29 Mei 1945. Menurut Hatta, teks tersebut bukan notulen pidato, melainkan draf Pembukaan UUD yang ditulis Yamin menjelang rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, atas perintah Soekarno. Artinya, Soekarno meminta Yamin menulis Pancasila di dalam draf Pembukaan tersebut. Ini berarti, lima sila yang ditulis Yamin adalah Pancasila-nya Soekarno pada 1 Juni 1945!
Dalam kesaksian Hatta, draf Pembukaan UUD karya Yamin ditolak Panitia Sembilan karena terlalu panjang. Ternyata, Yamin masih menyimpan draf tersebut dan memuatnya dalam buku Naskah Persiapan UUD pada 1959. Yamin menjadikan draf tersebut sebagai pengganti notulen aslinya pada 29 Mei 1945, yang tidak mengusulkan Pancasila (Hatta, 1979: 435).
Dengan demikian, buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI harus direvisi untuk mengganti teks ”hoaks” Yamin dengan notulen aslinya. Notulen asli Yamin sendiri masih termuat dalam arsip Abdul Karim (AK) Pringgodigdo, yang kini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Dalam arsip tersebut, notulen pidato Yamin pada 29 Mei 1945 hanya berjumlah dua halaman. Yamin tidak mengusulkan Pancasila, tetapi ”dasar-dasar yang tiga”, yakni permusyawaratan, perwakilan, dan kebijaksanaan.
Oleh karena itu, agar Keppres No 24/2016 bisa menjadi kebijakan pelurusan sejarah Pancasila, maka buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI mesti direvisi. Jika tidak, ”pemutihan” sejarah Pancasila tidak akan terjadi meskipun setiap 1 Juni diadakan peringatan Harlah Pancasila.