Tugas seorang ilmuwan di universitas bukan sekadar mengajar dan riset lalu berhenti pada ”value creation” dalam pengertian sumbangan akademik terhadap ilmu pengetahuan semata, melainkan terus berkarya dan bermanfaat.
Oleh
Iwan yahya
·4 menit baca
Marwah para profesor jadi buah bibir belakangan ini. Perjokian karya ilmiah, sandungan kasus korupsi, politik kampus, hingga persoalan kebermaknaan ilmuwan bagi masyarakat banyak dikupas media.
Opini Albiner Siagian di Kompas (21/7/2023) mempertegas betapa pentingnya kebergunaan ilmuwan. Kaum cendekia di universitas dinilainya elok memberi dampak menguatkan bagi masyarakat. Opini lain oleh Saifur Rohman (Kompas, 20/7/2023) mengupas marwah profesor dalam konteks prahara pemecatan dua guru besar di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tulisan itu memaparkan relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan dalam domain universitas secara cukup menarik. Sayangnya, perspektif kedua guru besar yang disebutkan tidak disertakan sehingga sengkarut persoalan tak tergambarkan secara utuh.
Pada bagian lain, Saifur bahkan menggunakan diksi profesor yang politikus dalam konteks kekuasaan di domain perguruan tinggi. Artinya, seorang guru besar yang berpolitik demi kontestasi kekuasaan di dalam kampus. Itu memicu pertanyaan, sungguhkah seorang guru besar tak elok berpolitik?
Kedua tulisan itu memilin relasi gagasan politik profesor dalam konteks tersalurnya manfaat berpengetahuan. Pilihan penulis pada penggunaan diksi politik profesor sebagai gambaran sebuah keadaan di mana seorang guru besar mempertegas keberpihakan.
Keputusan yang dibangun dari relasi kekuatan berpengetahuan dengan semangat pembebasan. Pembebasan dari hal semacam apa? Tentu tak lain belenggu pemikiran yang tak merdeka serta pelepasan beban hidup masyarakat. Sebuah pola berpikir dan bertindak yang bersandar kepada kebermaknaan eksistensi ilmuwan dan kekuatan penyaluran inovasi di atas kaidah kebebasan akademik. Seperti apa wujudnya?
Aliran manfaat
Belum lama ini, sejawat satu laboratorium saya bercerita tentang perjalanannya mengunjungi beberapa industri di China. Di Witleaf, perusahaan yang bergerak di instrumen medis, ia bertemu dengan Profesor Jilun Ye, ilmuwan utama sekaligus pendiri perusahaan itu.
Sang ilmuwan yang terafiliasi ke Shenzen Key Lab for Biomedical Engineering itu juga anggota China Medical Electronic Instrument Standardization Committee. Dr Ye adalah penyumbang lebih dari 100 paten dan 60 paper ilmiah. Semua di ranah instrumen medis. Penulis memandang itu semua sebagai penanda keadaan dan perasaan keberlimpahan berpengetahuan pada diri seseorang. Terukur tertelusur.
Perasaan dan keadaan yang serupa terbaca pula pada diri Dr Surya Raghu. Ilmuwan, penemu, pengajar, penganjur bisnis berbasis inovasi dan sekaligus usahawan pendiri Advanced Fluidics LLC di Amerika Serikat. Penulis bertemu dengannya di forum kewirausahaan untuk para fisikawan dan insinyur di Trieste, Italia, tahun 2006. Ia salah satu mentor pada program kerja sama Institute of Physics, American Physical Society, serta International Center for Theoterical Physics (ICTP) itu.
Sama halnya Dr Ye, Dr Raghu juga mencatatkan banyak paten peranti inovatif berbasis fluidik bagi keperluan industri penerbangan, otomotif, dan biotek.
Tapak perjalanan berkarya Dr Ye di Witleaf dan Dr Raghu di Advanced Fluidics merupakan manifestasi dari perasaan keberlimpahan berpengetahuan yang lalu memicu aliran manfaat. Bahwa tugas seorang ilmuwan di universitas bukan sekadar mengajar dan riset lalu berhenti pada value creation dalam pengertian sumbangan akademik terhadap ilmu pengetahuan semata.
Lebih dari itu, terdapat tanggung jawab lanjutan berupa tantangan untuk memastikan bahwa keberlimpahan berpengetahuan itu menumbuhkan inovasi unggul yang tersalurkan. Tuntutan innovation delivery ability yang juga harus dijawab para ilmuwan sebagai wujud keberpihakan. Itulah sejatinya penanda kualitas politik seorang profesor.
Gerakan pembebasan
Marwah ilmuwan, dan terutama para profesor, itu terbina dari respek yang tumbuh dari padang ujian, nan pedihnya mustahil ditebus dengan rasa takut. Tantangan untuk terus berkarya bisa saja menempatkan para profesor itu pada keadaan dihinggapi kecemasan, merasa lelah, dan bahkan menerima pengorbanan.
Saat tertekan oleh apa pun keadaan, seseorang selalu berhadapan dengan pilihan berkeputusan fight or flight. Bertahan atau menyerah. Maka, mereka yang memilih gagasan politik profesor sebagai jalan dharma akan menjadikan gelora hasrat kuat dan definisi kehormatan ilmuwan untuk bertahan dan bertarung.
Keberlimpahan berpengetahuan itu lalu menghadirkan aliran manfaat. Meminjam perspektif David Tomen, ilmuwan pakar nootropic, aliran itu laksana kerja dopamin yang memecut perasaan ingin lagi dan lagi. Membuat seseorang ingin selalu dalam keadaan bergerak. Sesuai hukum alam tentang inersia. Keadaan nan lalu melahirkan perasaan bermakna dan bahagia yang analogi dengan kerja endorfin. Membuang lelah dan menepis rasa sakit.
Marwah ilmuwan, dan terutama para profesor, itu terbina dari respek yang tumbuh dari padang ujian, nan pedihnya mustahil ditebus dengan rasa takut.
Sampai di sini penulis ingin kembali ke pertanyaan awal: pilihan mana yang lebih bijaksana? Apakah menjadi profesor yang berpolitik atau memilih politik profesor sebagai pilihan jalan darma? Tentu saja itu sebuah pilihan.
Lebih dari itu, dalam sudut pandang membangun impak kompetitif kemajuan berpengetahuan, membangun keunggulan negara, ikhtiar memperbesar aliran manfaat dari politik para profesor secara maksimal akan selalu menjadi tantangan negara dan kaum cendekia.
Setidaknya memastikan ekosistem dan dukungan tanpa batas bagi terwujudnya perasaan berkelimpahan berpengetahuan di kalangan para guru besar di universitas mana pun mereka berkhidmat di jalan darma.
Menurut penulis, keterpanggilan keberpihakan pada politik profesor itu merupakan wujud keniscayaan selaras zaman. Tengoklah sejarah, bukankah berdirinya Boedi Oetomo serta perjuangan Ki Hadjar Dewantara dan Raden Ajeng Kartini merupakan manifestasi bertindak dalam sudut pandang gerakan pembebasan yang sejatinya sama? Wallahualam.
Iwan Yahya,Dosen dan Peneliti di iARG Jurusan Fisika Fakultas Matematika Universitas Sebelas Maret Surakarta