Terlepas dari posisi Kamboja di tengah persaingan AS-China, kita berharap demokrasi dapat lebih semarak di negara itu. Kebebasan politik serta kebebasan berpendapat diberi ruang lebih besar dalam kehidupan rakyat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan demokrasi, mewujudkan aspirasi rakyat. Ada sejumlah syarat agar pemilu berfungsi seperti yang diharapkan.
Salah satu syarat agar pemilu benar-benar mewujudkan demokrasi serta menjadi saluran aspirasi rakyat ialah penyelenggaraannya harus adil. Setiap peserta pemilu atau kontestan disyaratkan mendapat perlakuan yang sama. Tidak ada yang diistimewakan, tak ada yang dijegal oleh aparat.
Syarat lain, pemilu harus benar-benar menyediakan pilihan yang beragam bagi para pemilih. Peserta pemilu jangan sekadar berbeda partai. Jauh lebih penting, kontestan harus berada di kubu dengan platform yang berbeda. Konkretnya, harus ada partai yang mendukung pemerintah, sementara di sisi lain ada yang menghendaki pemerintah diganti.
Itulah esensi terdalam demokrasi. Ada perbedaan pilihan, ada perbedaan platform. Pemilih diberi kebebasan untuk menentukan kubu mana yang lebih baik sehingga pantas untuk memegang kekuasaan pemerintahan.
Dua syarat itulah yang dinilai sejumlah kalangan tak dipenuhi dalam pemilu Kamboja. Kubu oposisi yang dinilai kredibel, Partai Cahaya Lilin, ditolak mengikuti pemilu oleh Komisi Pemilu Nasional Kamboja dengan alasan cacat hukum dan administrasi. Alhasil, pemungutan suara yang digelar pada Minggu (23/7/2023) tak diikuti oposisi. Rakyat negara tersebut tidak diberikan pilihan yang ”beragam dan berbeda”. Selain itu, pencoretan Partai Cahaya Lilin juga dapat dinilai sebagai wujud dari perlakuan yang tak adil.
Ketika kedua syarat tak dipenuhi, pemilu terasa sekadar menjadi stempel bagi kelompok tertentu agar dapat berkuasa lagi. Hal inilah yang terasa mewarnai kemenangan Partai Rakyat Kamboja (CPP). Dipimpin Perdana Menteri Hun Sen, CPP merebut 120 dari 125 kursi yang tersedia di parlemen. Sebuah kemenangan yang spektakuler.
Penduduk berusia lebih dari 40 tahun di Indonesia bisa membayangkan suasana politik di Kamboja sekarang. Beberapa dekade silam, Indonesia juga menghadapi kondisi serupa. Pemenang pemilu itu-itu saja. Perlakuan terhadap peserta pemilu atau kontestan tidak sama. Ada yang tak leluasa berkampanye, tetapi di sisi lain ada yang bebas mengumbar kampanye, bahkan dibantu aparat negara.
Oleh Amerika Serikat (AS), pemilu Kamboja dikecam. Sebaliknya, China menilai pemilu itu berjalan sukses dan meletakkan fondasi kokoh bagi stabilitas serta pengembangan relasi China-Kamboja pada masa mendatang. Perbedaan penilaian tersebut dapat dipahami karena Phnom Penh dekat dengan Beijing. Setidaknya hal ini tergambar dari fakta bahwa lebih dari 90 persen foreign direct investment (FDI) Kamboja berasal dari China.
Terlepas dari posisi Kamboja di tengah persaingan AS-China, kita berharap demokrasi dapat lebih semarak di negara tersebut. Kebebasan politik serta kebebasan berpendapat diberi ruang yang lebih besar dalam kehidupan rakyat Kamboja.