ASEAN Bisa Kecam Pelanggaran Demokrasi Sesuai Mandat Piagam
Hasil pemilu Kamboja diumumkan sebelum surat suara selesai dihitung. Proses ini dinilai melanggar Piagam ASEAN.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN sejatinya bisa mengecam berbagai pelanggaran hak asasi manusia, demokrasi, dan tata pemerintahan yang baik karena ada klausulnya di dalam Piagam ASEAN. Sejauh ini, ada tiga negara di Asia Tenggara yang bermasalah di dalam penerapannya, yaitu Myanmar, Thailand, dan Kamboja.
Hal itu mengemuka di dalam diskusi Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) di Jakarta, Senin (24/7/2023) yang bertema penolakan terhadap proses dan hasil pemilihan umum di Kamboja. Pemilu yang dilaksanakan pada Minggu (23/7/2023) itu dinilai hanya sebagai kedok karena pemenangnya telah diumumkan sebelum surat suara selesai dihitung.
Klaim kemenangan dikeluarkan oleh Partai Rakyat Kamboja (CPP), wahana politik petahana Perdana Menteri Hun Sen. Ia sudah berkuasa sejak tahun 1998. Di dalam pemilu tahun 2023 ini, Hun Sen mengatakan sedang menyiapkan peralihan kekuasaan dalam kurun satu bulan untuk putra sulungnya, Hun Manet, yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kamboja.
”Pemilu Kamboja ini melanggar Piagam ASEAN, terutama klausul mengenai tata kelola pemerintahan yang baik. Padahal, Piagam ASEAN mewajibkan setiap anggota organisasi kawasan ini mematuhi Piagam,” kata Charles Santiago, salah satu Ketua APHR dan mantan anggota parlemen dari Malaysia.
Ia menjelaskan, sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia memiliki kapasitas untuk mengingatkan sesama anggota organisasi agar menerapkan Piagam ASEAN dengan baik. Selain itu, Piagam ASEAN juga tengah dikaji ulang karena ASEAN sedang merumuskan visi pascatahun 2025. ”Ini kesempatan yang baik untuk merevisi Piagam ASEAN dengan memasukkan keharusan setiap anggota menjunjung hak asasi manusia, menerapkan demokrasi, dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang benar,” ujar Santiago.
Sebelum pemilu Kamboja, Myanmar dan Thailand telah lebih dulu melakukan pelanggaran pemilu dan demokrasi. Myanmar melakukannya melalui kudeta militer pada Februari 2021. Adapun Thailand melalui berbagai cara yang dilakukan militer untuk menjegal terpilihnya perdana menteri dari kalangan sipil, meskipun pemilu dimenangi partai sipil.
Penasihat Hukum Komisi Internasional Yuris (ICJ) Daron Tan menjelaskan, sejak 2018, Hun Sen dan CPP telah menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan para lawan politik dan pegiat demokrasi. Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) yang memperoleh 44 persen suara pada Pemilu 2013 dibubarkan oleh pengadilan negeri sebelum bisa mengikuti Pemilu 2018. Ketua Umum CNRP Kem Sokha dijatuhi hukuman tahanan rumah selama 27 tahun.
Pada Mei 2023, Partai Cahaya Lilin yang merupakan oposisi terberat, ditolak mengikuti pemilu oleh Komisi Pemilu Nasional Kamboja dengan alasan cacat hukum dan administrasi. Padahal, selama ini, partai tersebut bisa mengikuti pemilu tanpa ada masalah. Para lawan politik ataupun pegiat demokrasi dipersekusi sehingga banyak yang harus menyelamatkan diri ke luar negeri.
Pada Januari 2023, Hun Sen dalam pidato yang disiarkan langsung di media sosial Facebook mengatakan hendak mengerahkan pendukungnya untuk menyerang para lawan politik apabila ia tidak memenangi pemilu. Bahkan, anggota-anggota keluarga lawan politiknya juga diancam. Facebook memblokir video itu karena menyebarkan ujaran kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan. Hun Sen akhirnya pindah ke Telegram.
”Selama pemilu kemarin, akses internet dibatasi sehingga masyarakat tidak bisa membaca media-media independen ataupun masuk ke pangkalan data pemilu,” ujar Tan.
Anggota APHR, Eva Kusuma Sundari, menuturkan, Indonesia bisa mengecam Kamboja dengan tidak mengakui proses maupun hasil pemilu 2023. Jika ini dilakukan, Indonesia bisa mengikuti negara-negara lain, salah satunya Amerika Serikat yang terlebih dulu telah mengecam dan meminta agar Pemerintah Kamboja memenuhi komitmen mereka menerapkan sistem pemilu multipartai yang benar. Demokrasi Kamboja diatur di dalam Perjanjian Perdamaian Paris 1991 yang mengakhiri Perang Kamboja-Vietnam.
Pemilu Kamboja ini juga berpengaruh pada geopolitik. Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia Phil Robertson menerangkan, Hun Sen dan orang-orang terdekatnya dikenakan sanksi internasional oleh negara-negara Barat atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai balasan, Kamboja mendekat ke China.
Kementerian Luar Negeri China, Senin, memberikan selamat kepada Hun Sen atas kemenangannya dalam ”pemilu yang sukses” dan menantikan upaya memperkuat hubungan kedua negara yang sudah dekat. Surat kabar nasional China, Global Times mengutip data Dewan Pembangunan Kamboja 2022 yang mengatakan bahwa 90,5 persen penanaman modal asing langsung di Kamboja berasal dari China. Investasi China ini mayoritas di sektor strategis yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, contohnya proyek infrastruktur.
Sementara AS menyebut pemilu tersebut tidak bebas dan adil, merujuk pada “pola ancaman dan tekanan terhadap partai oposisi, media, dan masyarakat sipil”. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, Senin, menyebut Washington tengah menyiapkan larangan visa terhadap beberapa individu yang dinilai melemahkan demokrasi dan menghentikan sejumlah program bantuan. Miller menyerukan agar otoritas Kamboja segera memulihkan demokrasi multipartai yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, penting bagi ASEAN untuk berdialog dengan China agar Beijing turut mengajak Kamboja menegakkan demokrasi. ”Negara-negara Barat yang mengecam juga harus konsisten. Jangan di depan mengatakan kecaman, tetapi di belakang investasi dengan Phnom Penh jalan terus. Kalau begitu, Hun Sen tidak menganggap ini hal serius,” kata Robertson.