”Putra Mahkota” Hun Manet Akan Mewarisi Demokrasi Semu Kamboja
Hun Manet, putra sulung PM Kamboja Hun Sen, akan memulai debut politik dalam pemilihan parlemen, 23 Juli 2023. Jika berhasil dapat kursi, langkahnya menuju posisi PM semakin mulus.
Setelah hampir 40 tahun berkuasa, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengadakan pemilihan parlemen pada 23 Juli 2023 dengan keyakinan akan menang. Setelah menang, Hun Sen berjanji akan menyerahkan kekuasaannya kepada putra sulungnya, Hun Manet. Meski demikian, belum ada kepastian kapan pemindahan kekuasaan itu akan dilakukan.
Jalan menuju kekuasaan bagi Hun Manet sudah diatur sejak tahun 2021 ketika Hun Sen mengumumkan akan menunjuk putranya itu menjadi penggantinya. Partai Rakyat Kamboja, partai berkuasa, sudah mendukung Hun Manet selaku anggota komite tetap partai sebagai ”calon perdana menteri”.
Baca juga : Berkuasa 38 Tahun, Hun Sen Isyaratkan Pensiun
Hanya, untuk menjadi perdana menteri, Hun Manet (45) harus menjadi anggota Majelis Nasional terlebih dahulu. Itulah yang akan dia lakukan jika memenangi kursi di parlemen dalam pemilihan dan setelah mendapatkan restu dari Raja Norodom Sihamoni. Untuk itu, pemilihan parlemen menjadi debut Hun Manet di panggung politik Kamboja.
Meski akan menyerahkan posisi PM ke Hun Manet, Hun Sen (70) mengisyaratkan akan tetap berkuasa. ”Tidak ada yang bisa menghalangi langkah Hun Sen atau Hun Manet. Setelah Hun Sen, akan ada Hun Manet,” kata Hun Sen, yang memiliki lima anak itu.
Phil Robertson dari lembaga Human Rights Watch memandang penyerahan kekuasaan Hun Sen kepada anaknya itu membuat Kamboja sekarang semakin terlihat seperti Korea Utara ketimbang negara demokrasi sejati.
Pemungutan suara pada Minggu mendatang dinilai banyak orang pemilu palsu karena hampir tidak ada partai oposisi yang betul-betul oposisi. Para kritikus menilai demokrasi Kamboja semakin menyedihkan setelah lebih dari 30 tahun perjanjian perdamaian yang ditengahi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakhiri konflik berdarah puluhan tahun sebelumnya.
Meniti jalan menuju kursi PM, Hun Manet sudah mengambil sejumlah tugas kampanye ayahnya. Dalam gerakan yang sangat simbolis saat rapat umum Partai Rakyat Kamboja (CPP) pada bulan ini, Hun Sen memberikan bendera partai kepada Hun Manet. ”Meski Hun Sen tidak menjadi PM lagi, manajemen politik akan tetap berada di tangan Hun Sen,” kata Hun Sen, yang biasa menyebut dirinya sebagai orang ketiga ketika berpidato politik.
Baca juga : Ambisi China Sangat Nyata di Kamboja
Hun Manet juga sudah melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk memimpin upacara dan bertemu dengan tentara, pekerja, dan anggota CPP. Pada setiap kesempatan, Hun Manet selalu mengulangi ”mantra” kampanye ayahnya tentang perdamaian dan pembangunan. ”Selama CPP terus memimpin negeri ini, kita bisa menjaga perdamaian dan keseimbangan serta seluruh rakyat hidup bahagia,” kata Hun Manet dalam rekaman video yang diunggah ke aplikasi pesan, Telegram.
Hun Manet juga sudah dipercaya ayahnya untuk menjabat sebagai komandan Tentara Kerajaan Kamboja sejak 2018. Ia pun sudah bertemu dengan banyak pejabat asing dan pemimpin dunia, termasuk Presiden China Xi Jinping, negara sekutu dan yang paling sering membantu Kamboja.
Politik Hun Sen dibentuk oleh pengalaman revolusi dan perangnya sebagai anak muda selama rezim genosida Khmer Merah. Pengalaman itu membentuk Hun Sen menjadi salah satu politisi paling efektif -sekaligus paling kejam- di generasinya dan membawanya ke posisi PM pada 1985. Pada waktu itu, ia baru berusia 32 tahun. Sejak itu, Hun Sen mengonsolidasikan kekuasaannya dengan mengooptasi, memenjarakan, dan menyingkirkan atau mengasingkan lawan-lawan politiknya.
Berbeda dengan Hun Sen, Hun Manet dibesarkan dalam lingkungan bergelimang harta dan hidup mewah. Ia juga mengecap pendidikan Barat, termasuk di akademi militer Amerika Serikat, West Point. Akan tetapi, kata politisi Sam Rainsy yang diasingkan dan musuh lama Hun Sen, pendidikan Barat bukan jaminan pendekatannya akan lebih liberal. Rainsy mencontohkan dinasti Assad di Suriah.
”Bashar al-Assad dari Suriah lebih berpendidikan daripada ayahnya, Hafez al-Assad, tetapi anaknya secara politik lebih buruk daripada ayahnya. Kamboja membutuhkan pemimpin baru yang tidak berasal dari keluarga Hun. Kalau pilih Hun lagi, tidak akan ada perubahan pada sistem politik otokratis Kamboja,” ujarnya.
Baca juga : Jegal Lawan Politiknya, Hun Sen Larang Kewarganegaraan Ganda
Tanpa dukungan dari ayahnya, tidak jelas apakah Hun Manet akan mampu menjalankan pemerintahan atau bahkan melakukan perubahan apa pun di Kamboja, sekuat apa pun keinginannya. Analis politik Kamboja, Ou Virak, menilai Hun Manet juga belum teruji di arena politik. Apalagi, selama ini Hun Manet hidup dalam kemewahan dan kemudahan hidup.
Untuk menepis keraguan dan kekhawatiran pada kemampuan anaknya, Hun Sen meminta rakyat tidak khawatir. Ia pernah berjanji kepada para pendukungnya bahwa ia tidak akan membiarkan Hun Manet merusak negara. Penunjukan anaknya sebagai pengganti diduga dilakukan karena Hun Sen pernah dirawat di rumah sakit akibat kelelahan di Singapura, enam tahun lalu. Sepanjang hidupnya, Hun Sen dikenal sebagai perokok berat meski belakangan tampak mulai jarang merokok.
Wajah segar
Bagi sebagian orang, Hun Manet mewakili wajah muda dan segar yang akan bisa membawa kemajuan bagi Kamboja di masa depan. ”Saya datang ke ibu kota, 15 tahun lalu, ketika belum ada gedung pencakar langit,” ujarnya.
Hun Manet, yang disebut oleh Hun Sen lahir dari roh yang muncul dari pohon beringin dan sinar cahaya, menjadi orang Kamboja pertama yang lulus dari akademi militer AS. Ia kemudian meraih gelar master di bidang ekonomi dari New York University dan doktor di bidang ekonomi dari University of Bristol. Pada 2003, kepada penulis buku biografi ayahnya, Hun Manet pernah mengutarakan penghargaannya pada budaya AS, terutama cara orang memiliki kebebasan dan kesempatan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan, toleransi terhadap keragaman, dan melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda.
Baca juga : Tokoh Oposisi Sam Rainsy Divonis 25 Tahun Penjara
Pada 2015, Manet juga pernah mengatakan kepada stasiun ABC bahwa Kamboja harus menjaga perdamaian, stabilitas, dan keamanan dengan cara apa pun. Guru Besar di Universitas Griffith yang menulis buku tentang pemilihan otoriter di Asia Tenggara, Lee Morgenbesser, mengatakan, mengenyam pendidikan Barat tidak lantas membuat seorang penguasa menjadi lebih moderat.
”Setiap kali anak seorang diktator menggantikan posisi diktator, selalu ada harapan ia akan menjadi pembaharu, orang yang lebih moderat dan progresif. Pada kenyataannya, tidak pernah terjadi,” ujarnya.
Ketika Hun Manet belajar di luar negeri, ia juga naik pangkat di Angkatan Bersenjata Kerajaan Kamboja (RCAF) dan menjadi wakil pengawal ayahnya, duduk di posisi komandan kontraterorisme, komandan tentara, dan wakil panglima tertinggi. Ia juga menjadi kepala sayap pemuda dari CPP dan menjadi anggota komite tetap.
”Dia memang sudah terpapar demokrasi, isu hak asasi manusia, dan lain-lain. Tetapi, dia tumbuh di bawah rezim yang sangat otokratis. Keluarganya mengendalikan negara. Kalau dia mau meliberalisasi dirinya sendiri, dominasi keluarganya di politik Kamboja akan hilang. Pasti dia tidak mau melemahkan dirinya sendiri,” kata mantan diplomat dan menteri luar negeri Thailand, Kasit Piromya, yang kini duduk di Dewan Parlemen ASEAN dan HAM itu.
Hun Sen pernah mengindikasikan harapan bahwa ahli warisnya akan memerintah dengan modelnya sendiri. Jika caranya itu gagal, ia mungkin akan kembali mengambil alih kekuasaan. ”Jika anak saya gagal memenuhi harapan, saya akan mengambil kembali peran saya sebagai perdana menteri,” kata Hun Sen kepada harian Phnom Penh Post.
Ketika ditanya apakah anaknya akan memerintah dengan cara berbeda, Hun Sen malah tertawa. ”Dengan cara apa? Perbedaan cara memerintah bisa mengganggu perdamaian dan merusak pencapaian generasi yang lebih tua,” ujarnya.
Baca juga : Hun Sen dan Sejumlah Pemimpin yang Ribut dengan Facebook
Rainsy yang mengaku sangat mengenal Hun Sen dan politik Kamboja yang feodalistik dan klanistik menjelaskan, bagi Hun Sen kekuasaan berarti impunitas. Hun Sen menyadari jika ia kehilangan kekuasaan, ia akan kehilangan impunitas. ”Itu sebabnya dia ingin anaknya menggantikan dirinya,” kata Rainsy kepada kantor berita Reuters, Mei lalu. (REUTERS/AFP)