Hun Sen dan Sejumlah Pemimpin yang Ribut dengan Facebook
Sejumlah kepala pemerintahan punya cerita perseteruan dengan Facebook. Ini gara-gara akun Facebook mereka ditangguhkan.
PHNOM PENH, SABTU — Baru-baru ini, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen ribut dengan Facebook. Sehari setelah akunnya ditangguhkan, Hun Sen berniat melarang Facebook beroperasi di negaranya.
Akun Facebook Hun Sen tidak lagi bisa dilihat sejak Kamis (29/6/2023) malam. Setelah kejadian itu, Hun Sen mengancam melarang Facebook beroperasi di Kamboja. Ini terjadi hanya tiga pekan sebelum pemilihan umum Kamboja, 23 Juli.
Hun Sen lantas mengalihkan penggunaan media sosialnya ke Telegram. Ia sekaligus menjalankan kampanyenya di platform media sosial buatan Rusia itu.
”Saya meminta asisten saya untuk segera menghapusnya. Mulai sekarang, setiap akun Facebook yang menggunakan nama Hun Sen adalah palsu,” kata Hun Sen di kanal Telegram miliknya, Jumat (30/6/2023).
Hun Sen, yang akan memulai kembali upayanya untuk terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) Kamboja, Sabtu (1/7/2023), akan menggunakan Telegram dan Tiktok untuk menyampaikan pesan politik kepada para pendukungnya, termasuk anak-anak muda.
Bersamaan dengan pengumuman migrasinya ke Telegram, Hun Sen juga mengancam akan melarang Facebook di Kamboja untuk jangka waktu tertentu atau selamanya. Ancaman ini ia serukan jika platform itu terus membawa pesan dari lawan politiknya, termasuk yang berada di pengasingan.
Baca juga: Facebook Blokir Trump Tanpa Batas Waktu
Hun Sen menganggap hal itu tidak adil. Dalam pernyataannya, dia menyatakan akan memerintahkan larangan sementara atau bahkan permanen jika lawan politiknya terus menyerang dirinya di Facebook.
”Jangan sombong, kalian tinggal di luar negeri, kalian menggunakan Facebook untuk komunikasi, kami bisa memblokir Facebook,” katanya saat berbicara kepada pekerja garmen di Provinsi Pursat. Dia menyarankan warga Kamboja untuk mengunduh platform media sosial lainnya, termasuk Telegram, Tiktok, Line, Viber, dan Whatsapp milik Meta yang lebih sulit untuk mengawasi konten.
Hun Sen memandang Facebook telah bersikap tidak adil karena manajemen atau Dewan Pengawas tidak pernah menjatuhi hukuman kepada lawan politiknya. Padahal, tak jarang lawan politik menyerang Hun Sen dengan bahasa yang ekstrem.
Pemimpin Kamboja berusia 70 tahun itu beralih ke Telegram karena menilainya lebih efektif untuk berkomunikasi dengan para pengikutnya. Ini terutama dirasakan saat dia bepergian ke negara-negara yang melarang penggunaan Facebook.
Akun Facebook resmi Hun Sen diluncurkan pada 2015 setelah lawan-lawan politiknya, terutama Sam Rainsy, berhasil menjangkau pemilih muda. Akun Hun Sen di Facebook memiliki 14 juta pengikut. Sejumlah pihak menilai, sebagian dari para pengikutnya tidak riil.
Baca juga: AS Kompak Berangus Trump dan Pendukungnya
Dewan Pengawas Facebook merekomendasikan agar akun Facebook dan Instagram Hun Sen ditangguhkan selama enam bulan. Rekomendasi ini tertulis dalam sebuah laporan setebal 26 halaman. Laporan itu, antara lain, menyebut bahwa rekaman pidato Hun Sen beberapa bulan lalu menggunakan bahasa yang bisa memicu kekerasan.
Rekomendasi itu sekaligus membatalkan keputusan moderator Facebook yang mengizinkan rekaman video itu tetap terpasang di akun milik Hun Sen. Sebelum rekomendasi itu keluar, dua tingkat moderator Facebook menolak untuk merekomendasikan tindakan terhadap Hun Sen.
Moderator di tingkat pertama menilai, Hun Sen tidak melanggar pedoman standar komunitas Meta tentang kekerasan dan hasutan. Hal yang dilarang oleh Facebook adalah ancaman yang menyebabkan kematian dan cedera serius, termasuk niat untuk melakukan kekerasan.
Saat naik banding, moderator tingkat berikut memutuskan bahwa terlepas dari sifat komentar yang provokatif, posisi Hun Sen sebagai pemimpin nasional membuat pernyataannya layak diberitakan. Dengan demikian, Hun Sen tidak dijatuhi hukuman oleh Facebook.
Sebastian Strangio, penulis buku Hun Sen’s Cambodia, menilai, keputusan Hun Sen untuk beralih ke platform lain adalah sebagai tindakan antisipasi menjelang pemilu. Strangio juga berpendapat, tindakan itu akan mencerminkan pilihan kebijakan luar negeri Hun Sen selanjutnya, yaitu semakin menjauh dari Barat dan mendekat ke Rusia atau China.
”Berdasarkan rekam jejak Telegram dan Tiktok, sangat kecil kemungkinan bahwa kedua platform ini akan membatasi Hun Sen untuk menggunakannya sesuai keinginannya, termasuk sebagai kendaraan untuk memancing, mendorong, dan mengancam lawan-lawannya,” kata Strangio.
Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson mengatakan, keputusan Meta dan Facebook adalah sebuah pertaruhan, terutama karena sering kali kekerasan di lapangan terjadi setelah seorang pemimpin yang otoriter menggunakan platform media sosial untuk menghasut pendukungnya bertindak anarkistis. ”Kita sudah sering lihat ini di Kamboja,” katanya.
Matthew Warren dari RMIT University Centre for Cyber Security Research Melbourne mengatakan, Meta menghadapi tekanan yang makin berat untuk meminta pertanggungjawaban politisi atas perilakunya di dunia maya. Dia melihat keputusan Meta dan Facebook sebagai titik balik.
Baca juga: Berkomentar di Medsos, Mantan Pemimpin Oposisi Digugat Militer
”Bagus Facebook melakukan ini, tetapi itu tidak menghentikan masalah karena sekarang ada berbagai platform yang dapat digunakan politisi,” katanya.
Meski butuh waktu enam bulan untuk memutuskan, keputusan itu dinilai jauh lebih baik dibandingkan dengan tidak bertindak sama sekali. ”Apa yang mereka lakukan adalah menunjukkan bahwa Meta dapat mengatur konten,” katanya.
Bukan pertama kali
Keputusan Facebook untuk menurunkan dan menghapus video milik Hun Sen bukan pertama kalinya dilakukan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan. Dua tahun lalu, sejumlah platform media sosial, yaitu Twitter dan Snapchat, memutuskan untuk melarang Donald Trump, mantan presiden Amerika Serikat, menggunakan akunnya.
Perseteruan antara perusahaan teknologi dan platform media sosial yang dikelolanya dengan Trump, dimulai ketika pemilihan presiden pada November 2020. Saat itu Trump menilai platform media sosial bersikap partisan karena melarang pemberitaan negatif tentang Joe Biden. Saat itu, Biden merupakan calon presiden dari Partai Demokrat.
Dua tahun lalu, sejumlah platform media sosial, yaitu Twitter dan Snapchat, memutuskan untuk melarang Donald Trump.
Perseteruan memanas setelah peristiwa penyerbuan Gedung Capitol, 6 Januari 2021. Trump, yang tidak terima terhadap penetapan kemenangan Biden oleh Senat, menggunakan berbagai platform untuk menggalang dukungan dari para pendukungnya, termasuk kelompok sayap kanan.
Hampir bersamaan, Facebook, Snapchat, dan YouTube memblokir semua unggahan dari Trump dan para pendukungnya, sehari setelah penyerbuan terjadi. Twitter menyusul sehari setelahnya. Selain menghapus secara permanen akun Trump, sejumlah akun tokoh garis keras pendukung Trump juga hilang dari Twitter.
Tidak hanya Trump dan Hun Sen yang pernah berseteru dengan perusahaan teknologi dan platform yang diampunya. Dikutip dari laporan di laman majalah Timetahun 2022, Twitter pernah menangguhkan akun milik Presiden Nigeria Muhammadu Buhari karena menilai cuitannya berpotensi memicu kekerasan etnis.
Tindakan penangguhan itu dibalas dengan melarang akses Twitter di negara tersebut. Perusahaan-perusahaan telekomunikasi dilarang memberikan akses Twitter para penggunanya.
Baca juga: Oposisi Kamboja Harapkan Peran Generasi Baru
Pemerintah Iran melarang warganya untuk menggunakan Facebook dan Twitter sejak tahun 2009 karena menilai platform itu dimanfaatkan para aktivis gerakan sipil melancarkan protes kepada pemerintah.
Mengutip laporan The Verge yang dipublikasikan pada Oktober 2021, manajemen Facebook telah melarang 4000-an kelompok yang memiliki kaitan dengan kelompok teroris atau kelompok serta individual yang sering menyuarakan kebencian terhadap suku bangsa, ras tertentu, atau kelompok yang memiliki pandangan dan ideologi berbeda. (AP/AFP)