Mengkritik Konsepsi "Anak Sebagai Investasi Masa Depan"
Menempatkan anak sebagai investasi masa depan justru menjauhkan anak dari hak-hak fundamentalnya saat ini, terutama hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Anak juga harus ditempatkan sebagai pemilik masa kini.
Pada setiap peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli, kita selalu tak asing dengan kalimat ”anak adalah pemilik masa depan”, ”anak adalah investasi masa depan”, dan frasa sejenis lainnya.
Kalimat tersebut terkesan heroik dan menggambarkan semangat keberpihakan pada kepentingan anak. Tapi, jika kita selisik lebih dalam, kalimat itu yang kemudian membuat posisi anak dalam banyak aspek kehidupan menjadi terbatas.
Menempatkan anak sebagai investasi masa depan justru menjauhkan anak dari hak-hak fundamentalnya saat ini, terutama hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Baca juga: Melindungi Anak Indonesia
Seharusnya anak juga ditempatkan sebagai pemilik masa kini sehingga keterlibatannya dalam proses pembangunan tak perlu menunggu mereka dewasa.
Argumen yang menekankan anak-anak sebagai investasi masa depan hanyalah untuk menyederhanakan atau bahkan meremehkan kapasitas unik anak dan peran demokrasi mereka yang sebenarnya. Sejauh anak-anak ditempatkan dalam masyarakat masa depan daripada masyarakat masa kini, hampir tidak mungkin pandangan dan suara mereka dipertimbangkan secara serius.
Konstruksi Relasional
Pertanyaan mendasarnya, mengapa anak dianggap sebagai investasi masa depan sehingga menyebabkan peran anak masih diabaikan dalam proses pembangunan?
Jawabannya adalah karena selama ini usia dikonstruksikan secara relasional sehingga anak diasosiasikan dengan karakteristik tertentu, seperti tidak dewasa, minim pengalaman, dan labil. Sementara kategorisasi dewasa dikonstruksi kebalikannya: individu yang lebih matang, stabil, berpengalaman.
Selain itu, dalam konteks wacana perkembangan, anak ditempatkan sebagai individu yang masih berkembang sehingga menghasilkan gambaran anak-anak sebagai kelompok rentan, belum matang, dan membutuhkan pendidikan dan sosialisasi jika mereka ingin berkembang menjadi warga negara yang sepenuhnya kompeten. Stigma yang berkembang seperti itu yang kemudian menghambat peran-peran anak untuk terlibat dalam proses pembangunan.
Karakteristik yang unik dari anak justru dapat memberi warna terhadap proses demokrasi yang terus berkembang, bahkan menciptakan perubahan fundamental ke arah yang lebih positif.
Mengkritisi stigma yang berkembang itu, menarik untuk dibahas bagaimana karakteristik yang unik dari anak justru dapat memberi warna terhadap proses demokrasi yang terus berkembang, bahkan menciptakan perubahan fundamental ke arah yang lebih positif.
Keunikan anak (yang selama ini dinilai sebagai ketidakdewasaan) memungkinkan mereka mempertanyakan dan menantang norma-norma atau perspektif yang diterima begitu saja di dunia orang dewasa.
Mendukung opini tersebut, beberapa sarjana, seperti Matthews (1994) dan Gopnik (2009), bahkan menggambarkan anak-anak sebagai filsuf karena tingginya keingintahuan yang dimiliki anak.
Kita harus memahami bahwa anak memiliki kapasitas dan pengalaman unik dibandingkan orang dewasa dan dapat menggunakannya dalam konteks demokrasi dengan pemikiran dan cara yang berbeda dari orang dewasa. Inilah yang sering gagal disadari oleh banyak orang dewasa.
Saat ini banyak contoh kebijakan terhadap anak yang justru tidak ramah terhadap pemenuhan hak dan perlindungannya. Hal ini terjadi salah satunya karena pengucilan anak dari ruang publik yang menihilkan pandangan anak untuk didengarkan dan dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan.
Beberapa pertanyaan reflektif ini bisa menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan yang disusun untuk anak justru tidak cukup mendukung tumbuh kembangnya. Misalnya, berapa banyak tontonan televisi yang ramah bagi anak?
Apakah industri musik sudah menyediakan ruang yang cukup bagi lagu-lagu yang ramah untuk anak? Apakah sistem pendidikan saat ini sudah mengakomodasi keunikan dan potensi yang berbeda dari setiap anak? Apakah pembangunan yang masif dilakukan sudah mempertimbangkan ruang terbuka yang nyaman bagi anak untuk bermain dan bersosialisasi di dalamnya? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Jika jawaban dari pertanyaan tersebut menggambarkan kondisi yang tak menguntungkan bagi anak, pertanyaan pamungkas yang muncul: sudah sejauh mana anak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan itu?
Di bawah hukum internasional, anak-anak memiliki hak partisipasi yang dijamin pelaksanaannya terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.
Pertanyaan ini harus diajukan dalam setiap tahapan pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan anak. Lalu muncul kembali pertanyaan yang agak skeptis melihat refleksi di atas. Memangnya anak bisa apa? Ngapain sih anak-anak ikut-ikutan urusan orang dewasa?
Setidaknya kita dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan dua landasan sekaligus. Pertama, dari sisi hukum. Di bawah hukum internasional, anak-anak memiliki hak partisipasi yang dijamin pelaksanaannya terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.
Dalam Pasal 12 Konvensi Hak-hak Anak (KHA) terdapat frasa ”negara harus menjamin”. Frasa tersebut ditujukan untuk menguatkan secara khusus peran negara, dengan cara mengupayakan suatu mekanisme yang memastikan pandangan anak terkait dengan semua permasalahan yang berdampak padanya agar dapat terakomodasi.
Hal ini diakui dan menjadi kesepakatan di antara hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia yang sudah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Kedua, dari sisi filosofis. Perbedaan pengalaman, persepsi, dan kebutuhan antara anak dan orang dewasa harus menjadi dorongan bagi pelibatan anak dalam membuat kebijakan tentang dirinya. Sering kali kebijakan tentang anak dibuat hanya berdasarkan informasi dari orang dewasa.
Sementara orang dewasa tidak benar-benar berpikir, merasakan, dan melihat kehidupan dengan sudut pandang anak-anak. Apa yang dipikirkan oleh orang dewasa hanya sebatas asumsi atau kemungkinan dari apa yang sebenar-benarnya dibutuhkan anak.
Kemudian tak jarang orang dewasa berlindung di balik argumen: ”kita kan pernah merasakan jadi anak-anak, kita paling tahu apa yang terbaik bagi anak kita, kan kita yang membiayai anak-anak kita”, dan lain sebagainya.
Sementara orang dewasa tidak benar-benar berpikir, merasakan, dan melihat kehidupan dengan sudut pandang anak-anak.
Spektrum masa kini dan masa depan
Pertanyaan reflektif bagi sanggahan itu adalah: sudah yakinkah keputusan yang kita ambil sendiri tanpa mempertimbangkan pandangan anak adalah benar-benar keputusan yang terbaik bagi mereka? Atau hanya menjadi keputusan yang ”tampak” baik bagi mereka.
Pada akhirnya menempatkan anak sebagai warga negara harus dilihat dalam spektrum masa kini dan masa depan.
Hal ini yang akan membuka ruang bagi anak untuk terlibat dalam proses pembangunan tanpa menunggu mereka dewasa terlebih dahulu. Pandangan anak sekali lagi bukan digunakan untuk membenturkannya dengan pandangan orang dewasa. Namun, pandangan anak digunakan untuk menambah perspektif atau informasi terkait dengan pemenuhan hak anak dari sudut pandang anak sebagai subyek pembangunan.
Kegagalan orang dewasa dalam memahami anak bukan karena keinginan atau kebutuhan anak yang sulit dipahami, melainkan merupakan hasil dari penolakan untuk mendengarkan suara anak itu sendiri. Konsep partisipasi anak di ruang publik adalah konsep yang dibutuhkan untuk menghadirkan kebijakan yang lebih ramah dan mendukung pemenuhan hak anak.
Baca juga: Sudahkah Anak Indonesia Terlindungi?
Tanggal 23 Juli selalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984. Pada tahun 2023, Kota Semarang dipilih menjadi tuan rumah pergelaran puncak HAN Ke-39. Rangkaian acara disiapkan untuk menyambut harinya anak-anak se-Indonesia ini dengan begitu meriah, mulai dari perlombaan, pentas seni, hingga kunjungan ke komunitas anak.
Pada momen ini akan ada banyak tokoh masyarakat mulai dari pejabat negara di tingkat pusat, kepala daerah, selebritas, hingga figur publik yang berlomba-lomba memberikan ucapan beserta harapannya untuk kepentingan anak Indonesia yang lebih baik.
Fadhil Muhammad Pradana, Direktur Bentalangit Institut