Pemilu dan Korupsi Politik
Pemilu sejatinya pengejewantahan asas kedaulatan rakyat dalam kehidupan politik dan demokrasi bangsa kita. Sayangnya rakyat sebagai subyek politik relatif belum dihadirkan. Pemilu seolah hanya pesta para elite politik.

Ilustrasi
Kurang lebih enam bulan ke depan bangsa Indonesia akan mengadakan perhelatan akbar Pemilu 2024.
Hiruk-pikuk politik jelang pesta demokrasi terbesar lima tahunan itu tak hanya menyedot perhatian dan energi bangsa, tetapi juga acapkali menggerus kewarasan dan menumpulkan akal sehat kita.
Betapa tidak, pemilu sejatinya pengejewantahan asas kedaulatan rakyat dalam kehidupan politik dan demokrasi bangsa kita. Namun ironisnya, hiruk-pikuk politik lebih dari setahun terakhir nyaris hanya terjadi di antara para elite politik dan parpol pengusung para calon presiden (capres) dan calon anggota legislatif (caleg). Rakyat sebagai subyek politik relatif belum dihadirkan.
Seolah-olah pemilu hanya pesta bagi parpol dan para kandidat yang kemudian difasilitasi oleh para penyelenggara pemilu. Padahal jelas, tidak ada pemilu tanpa rakyat dan tidak ada kekuasaan sah serta otoritatif tanpa legitimasi pemilu yang fair dan demokratis.
Seolah-olah pemilu hanya pesta bagi parpol dan para kandidat yang kemudian difasilitasi oleh para penyelenggara pemilu.
Bukan sekadar angka
Sangat memprihatinkan bahwa hampir tidak sekalipun parpol-parpol koalisi pendukung atau pengusung para capres memperdebatkan secara terbuka ide atau gagasan terbaik tentang arah masa depan bangsa ini. Para elite politik fasih berpidato tentang pentingnya menjaga persatuan, merawat kebinekaan, dan memelihara toleransi antaretnik, agama, ras, dan antargolongan.
Mereka juga sangat rajin bicara tentang ”politik kebangsaan”, tetapi sering kali tidak pernah jelas cakupan dan rinciannya. Juga tidak pernah jelas bagaimana wujud semua komitmen verbal itu jika dirumuskan ke dalam kebijakan yang berpihak pada perbaikan kualitas keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Persoalannya, seperti lazim terjadi seusai pemilu, janji-janji politik jelang pemilu sering kali berhenti sekadar harapan dan pepesan kosong belaka.
Rakyat pemilih, yang pada Pemilu 2024 mencakup 204,8 juta pemilih terdaftar dalam DPT (daftar pemilih tetap) seperti telah diumumkan oleh KPU, jelas bukan sekadar angka untuk menggenapi kemenangan para kandidat terpilih.

-
Jika para kandidat pejabat publik gagal menggunakan mata-hatinya untuk menangkap dan memahami aspirasi rakyat, pemilu sebagai momentum evaluasi lima tahunan perjalanan bangsa kita menjadi pesta demokrasi sangat mahal yang cenderung sia-sia. Pemilu akhirnya tak lebih dari sekadar ajang pergiliran kekuasaan lima tahunan belaka yang berujung pada maraknya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penelantaran nasib rakyat.
Korupsi politik
Pemilu yang cenderung menjadikan rakyat sekadar sebagai angka-angka belaka, baik untuk sekadar menggenapkan kemenangan kandidat maupun hanya untuk memastikan pemenuhan ambang batas agar suatu parpol bisa duduk di parlemen, dapat dikategorikan sebagai ”korupsi” politik.
Begitu pula jika aspirasi rakyat hanya dipidatokan berbusa-busa sepanjang masa kampanye pemilu (dan pilkada) tanpa upaya serius mewujudkannya di kehidupan nyata pascapemilu. Setelah pemilu dan pilkada, bibit perilaku politik koruptif itu seketika bisa berubah menjadi praktik tindak pidana korupsi yang bahkan cenderung vulgar jika para kandidat terpilih tidak memiliki integritas dan kontrol moral.
Hal inilah yang kemudian terjadi saat para penyelenggara negara terseret memperdagangkan jabatan atau kekuasaannya untuk memperkaya diri atau orang lain.
Data KPK mengungkapkan, hingga akhir 2022 sudah 155 bupati/wali kota atau wakilnya ditangkap karena korupsi, sedangkan gubernur atau wakilnya 23 orang. Modus korupsi yang dilakukan hampir seragam: gratifikasi dan suap dalam rangka pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, perizinan, dan penyalahgunaan anggaran (APBD/APBN).
Baca juga : Demokrasi Deliberatif
Sementara itu, total anggota legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) yang ditangkap karena korupsi sekitar 343 orang. Hampir semua mereka berasal dari dan/atau diusung oleh parpol.
Selain itu, ada lima ketua umum (ketum) parpol yang pernah ditangkap dan dipenjara karena korupsi, yakni Ketum Partai Golkar Setya Novanto, Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dan dua Ketum PPP, Suryadharma Ali dan Romahurmuziy.
Di luar pimpinan parpol, KPK juga memenjarakan tiga pimpinan lembaga tinggi negara: Ketua MK Akil Mochtar, Ketua DPR Setya Novanto yang juga Ketua Umum Golkar, dan Ketua DPD Irman Gusman.
Dari jajaran kementerian/lembaga hingga pengujung 2022, terdapat 35 menteri negara atau pimpinan lembaga nonkementerian yang dipenjara karena korupsi. Sebagian besar anggota atau kader parpol.

Pertanyaannya, mengapa pemilu/pilkada yang berbiaya mahal itu cenderung menghasilkan para penyelenggara negara yang korup dan tidak bertanggung jawab? Jawabannya bisa sangat panjang. Namun, secara ringkas dapat dikemukakan tiga faktor yang saling berkaitan.
Pertama, harus diakui, desain tata kelola politik dan demokrasi kita sejak awal sudah bermasalah, terlalu berorientasi pada pembangunan institusi demokrasi (pemilu, parpol, pilpres, dan pilkada langsung, dan seterusnya), tetapi menafikan urgensi pembentukan karakter aktor-aktor politik baru yang mengelola demokrasi pasca-rezim otoriter Orde Baru.
Dampaknya, para elite penyelenggara negara yang dihasilkan pemilu dan pilkada pun miskin integritas, komitmen, dan tanggung jawab sehingga akhirnya terperangkap ke dalam kubangan lumpur korupsi.
Kedua, tata kelola politik dan demokrasi yang bermasalah itu berpusat pada proses politik elektoral berbiaya tinggi sehingga cenderung memfasilitasi tumbuh suburnya politik uang dan korupsi ketimbang menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik, akuntabel, dan bebas korupsi. Para elite politik yang miskin integritas akhirnya rela berutang miliaran rupiah demi perburuan rente seusai terpilih di pemilu dan pilkada.
Ketiga, parpol sebagai agen sekaligus aktor utama dalam tata kelola politik dan demokrasi hingga kini tidak tersentuh reformasi internal.
Sebagian parpol bahkan lebih merupakan ”perusahaan” keluarga ketimbang milik para anggota sebagaimana diatur secara formal dalam UU No 2/2011 tentang Partai Politik yang tak kunjung direvisi.
Sebagian parpol bahkan lebih merupakan ”perusahaan” keluarga ketimbang milik para anggota sebagaimana diatur secara formal dalam UU No 2/2011 tentang Partai Politik yang tak kunjung direvisi. Pilihan-pilihan subyektif sang ketua umum ataupun tokoh sentral parpol akhirnya menjadi keputusan partai yang mengikat segenap pengurus dan para anggota.
Oleh karena itu, segencar apa pun upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh aparat penegak hukum, tidak akan pernah berhasil tanpa menyentuh dan membenahi akar tunjangnya di politik. Akar itu adalah tata kelola politik dan demokrasi yang masih koruptif, dikelola secara personal dan oligarkis, serta menafikan urgensi hadirnya sistem checks and balances dalam relasi cabang-cabang kekuasaan sehingga format politik yang berlaku justru cenderung memfasilitasi melembaganya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Cegah di hulu
Penindakan masif terhadap para pelaku tindak pidana korupsi seperti dilakukan KPK melalui kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) tentu saja sangat diperlukan. Begitu pula kegiatan pendidikan antiko- rupsi, termasuk bagi parpol dan para politisi serta caleg parpol, sangat bermanfaat, setidak-tidaknya sebagai cara mengingatkan mereka akan warisan kerusakan yang ditinggalkan para koruptor bagi bangsa.

Akan tetapi, semua itu tidak akan optimal apabila tidak disertai agenda pencegahan korupsi yang lebih terfokus serta didasarkan pada realitas korupsi sektor politik. Karena itu, pencegahan korupsi harus dilakukan sejak di hulu, dengan merombak tata kelola politik dan demokrasi yang koruptif.
Strategi pencegahan korupsi perlu difokuskan pada reformasi parpol, sistem pemilu dan pilkada. Proses politik elektoral berbiaya tinggi mendorong para kandidat pejabat publik memaksakan diri bersaing dalam pemilu dan pilkada yang mahal, padahal tidak memiliki kemampuan finansial. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang dibiayai pengusaha atau pemodal yang kemudian harus
mengembalikan utang biaya politik itu dengan cara menggadaikan jabatan dan integritas mereka melalui tindak pidana korupsi.
Salah satu agenda mendesak adalah mereformasi parpol yang dikuasai oligarki. Parpol harus dikembalikan esensinya sebagai badan hukum publik yang dimiliki para anggotanya.
Kajian bersama KPK dan LIPI 2016-2019 merekomendasikan pelembagaan sistem integritas partai politik (SIPP) yang mencakup lima elemen, yakni pelembagaan standar etik, demokrasi internal, sistem kaderisasi, sistem rekrutmen, dan tata kelola keuangan yang baik, transparan, dan akuntabel.
Strategi pencegahan korupsi perlu difokuskan pada reformasi parpol, sistem pemilu dan pilkada.
Namun, rekomendasi semacam ini tidak akan berguna apabila tidak diintroduksi ke dalam regulasi negara, dalam hal ini UU Parpol, sebagai kewajiban yang melekat bagi parpol. Sebagai kompensasi kewajiban implementasi pelembagaan SIPP, negara harus membiayai sekurang-kurangnya 50 persen kebutuhan anggaran parpol dalam setahun. Melalui skema ini diharapkan kepemilikan sebagian parpol oleh keluarga bisa diakhiri dan korupsi sektor politik dapat dikurangi.
Akan tetapi, repotnya hampir seluruh elite parpol hanya setuju skema tersebut pada tingkat retorika. Mereka enggan mereformasi diri karena elite parpol justru sangat menikmati tata kelola politik dan demokrasi yang buruk saat ini.
Para elite oligarki tidak mau kehilangan privilese yang dimiliki, termasuk penguasaan tak sah atas politik dan aset ekonomi yang seharusnya hak publik. Karena itu pula, elite parpol cenderung menolak revisi atas UU Parpol sebagai payung hukum melembaganya tata kelola parpol yang tak demo- kratis, personal, dan oligarkis.
Di sisi lain problemnya, strategi nasional pencegahan korupsi yang melibatkan lima instansi kementerian/lembaga, termasuk KPK, tidak menjadikan reformasi tata kelola politik sebagai fokus area yang dianggap penting.

Sesuai Perpres No 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, aksi pencegahan korupsi saat ini hanya mencakup tiga fokus area, yakni (1) perizinan dan tata niaga; (2) keuangan negara; serta (3) penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Ke depan, reformasi tata kelola politik perlu dijadikan salah satu fokus area pencegahan korupsi sehingga cakupannya lebih komprehensif.
Upaya pencegahan korupsi pun membutuhkan dukungan dan komitmen negara. Hampir mustahil KPK melakukan sendirian. Terkait kewajiban parpol melembagakan sistem integritas, dan hak parpol untuk memperoleh subsidi negara yang signifikan, misalnya, hanya bisa diimplementasikan melalui revisi UU Parpol yang jadi kewenangan DPR dan Presiden.
Problemnya, hingga saat ini tidak ada inisiatif pembentuk UU untuk merevisi UU Parpol, sementara desakan dari berbagai elemen masyarakat sipil masih minim. Jadi, apa boleh buat, pemilu kita masih akan berlangsung dalam lanskap
politik yang cenderung koruptif.
Syamsuddin HarisAnggota Dewan Pengawas KPK (2019-2023); Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI (2008-2014)