Kebergunaan Ilmuwan
Ilmuwan sebagai insan pandai, cerdas, atau terpelajar haruslah arif dan bijaksana. Kecendekiawanan seorang ilmuwan mewujud pada kebergunaannya. Kebergunaan itu dinyatakan sebagai tanggung jawab sosial ilmuwan.
Suatu ketika, kurang lebih 20 tahun lalu, penulis menghadiri ujian promosi doktoral seorang teman di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Dari daftar tim penguji, tertera jabatan profesor atau gelar doktor di depan nama setiap dosen penguji itu.
Selama proses ujian itu, setiap kali promovendus menjawab pertanyaan penguji, dia selalu mengawali jawabannya dengan menyebut ”yang amat sangat terpelajar” kepada penguji yang berjabatan profesor (guru besar) atau ”yang amat terpelajar” kepada penguji yang bergelar doktor.
Pada sambutannya setelah promovendus dinyatakan lulus, promotor mengucapkan selamat kepada doktor lulusan baru itu dengan menyebut ”yang amat terpelajar” sebelum menyebut gelar doktornya.
Begitulah julukan hormat kepada profesor dan doktor itu disematkan. Tentu saja, itu amat beralasan. Mereka telah melewati jenjang pendidikan formal tertinggi dan telah menorehkan karya yang bermanfaat di bidangnya masing-masing. Itu adalah wujud pengakuan khalayak, khususnya kalangan ilmuwan atau akademisi, atas keilmiahan dan kecendekiawanan mereka.
Baca juga : Mengembalikan Marwah Profesor
Ilmuwan dan kemaslahatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekia berarti tajam pikiran, lekas mengerti, cerdas, pandai, dan terpelajar. Dengan demikian, ilmuwan sebagai insan pandai, cerdas, atau terpelajar haruslah arif dan bijaksana.
Kearifan dan kebijaksanaan itu antara lain terlihat dari cara mereka mengeluarkan pendapat. Pertimbangan utamanya adalah kemaslahatan. Sebagai kaum yang terpelajar dan yang terbiasa dengan cara-cara ilmiah, mereka selayaknya berlaku ilmiah saat berbicara dan mengutarakan pendapat. Mereka tunduk kepada asas klaim berbasis bukti (evident-based claims). Pantang bagi mereka mengalaskan pendapat pada kabar angin, rumor, asumsi, dan katanya.
Walaupun kabar angin, rumor, asumsi, dan katanya merupakan bentuk informasi atau bukti, derajat keilmiahannya amat sangat rendah. Itu masih memerlukan klarifikasi, data tambahan, analisis, bahkan cek dan cek ulang, sebelum diklaim sebagai informasi yang sahih dan benar. Mereka tidak boleh berlindung pada ”itu kan kata orang” atau ”itu informasi yang saya dengar”.
Jika tidak, alih-alih berguna, mereka justru toksik bagi khalayak.
Tambahan lagi, sebagai ilmuwan, mereka dengan sendirinya tergabung dalam komunitas ilmiah (scientific community). Oleh karena itu, ilmuwan tunduk kepada norma komunitas ilmiah. Menurut Robert K Merton, sosiolog Universitas Columbia, ada empat norma komunitas ilmiah. Salah satunya, ketidakberpihakan (disinterestedness). Dalam konteks memberikan pendapat, misalnya, ilmuwan harus terbebas dari atribut dan intervensi pihak mana pun. Ilmuwan hanya berpihak kepada keilmiahannya.
Kebergunaan ilmuwan
Profesor Andi Hakim Nasution mengingatkan perihal kebergunaan akademisi/ilmuwan. Kecendekiawanan seorang ilmuwan akhirnya mewujud pada kebergunaannya. Kebergunaan itu dinyatakan sebagai tanggung jawab ilmuwan.
Ada dua golongan besar tanggung jawab ilmuwan. Pertama, tanggung jawab ke dalam institusi dan komunitas yang padanya ilmuwan bekerja (internal responsibility). Seorang akademisi, misalnya, bertanggung jawab untuk memperkaya ilmu pengetahuan di bidang yang digeluti atau keahliannya dan melaksanakan tridarma perguruan tinggi.
Kedua, tanggung jawab keluar, yaitu ke lingkungan masyarakat (external responsibility). Inilah yang dikenal sebagai tanggung jawab sosial ilmuwan (the social responsibility of scientist). Bentuknya, antara lain, menyehatkan cara berpikir masyarakat, mencerdaskan masyarakat, dan memotivasi masyarakat. Selain itu, ilmuwan haruslah berlaku konstruktif, bukan destruktif.
Kecendekiawanan seorang ilmuwan akhirnya mewujud pada kebergunaannya. Kebergunaan itu dinyatakan sebagai tanggung jawab ilmuwan.
Mark Frankel, Direktur Tanggung Jawab Sosial, Hak Asasi Manusia, dan Program Hukum pada The American Association for the Advancement of Science (AAAS), berkata, ”Masyarakat yang di dalamnya ilmuwan berada, bahkan masyarakat yang jauh darinya, pada akhirnya (harus) dipengaruhi oleh sikap dan perilaku ilmuwan itu.
Tak hanya itu, terkait pengajuan pendapat di ruang publik, ilmuwan juga harus mempertimbangkan suasana hati dan kejiwaan publik. Dengan kata lain, kebergunaan ilmuwan haruslah dipandang sebagai kepatuhannya terhadap prinsip-prinsip ilmiah dan etika ilmiah.
Seperti kata Arnold Relman, editor New England Journal of Medicine dan Profesor Imu Kedokteran Universitas Harvard, ”Jika mengabaikan prinsip-prinsip sains, kita tak bisa menyelesaikan persoalan riil yang kita hadapi.”
Terkait upaya mencerdaskan masyarakat, saya teringat sindiran tajam Asit Biswas, profesor tamu pada Lee Kuan Yew School of Public Policy NUS, dan Julian Kirchherr, periset doktoral pada School of Geography and the Environment University of Oxford, pada 2015.
Ilustrasi
Melalui opini di The Strait Times (14/4/2015) yang bertajuk ”Prof, no one is reading you!”, mereka menyatakan bahwa dari hampir 1,5 juta artikel berbagai bidang ilmu yang dipublikasikan di jurnal ilmiah setiap tahun, 82 persen artikel bidang humaniora tidak pernah dikutip sekalipun. Bahkan, 32 persen artikel ilmu sosial dan 27 persen artikel ilmu eksakta tak pernah dirujuk.
Masih menurut mereka, pada kurun 1930-an hingga 1940-an, 20 persen artikel yang dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi, The American Political Science Review, yang berfokus pada rekomendasi kebijakan, hanya 0,3 persen dikomunikasikan ke publik.
Telaah ini juga mengungkapkan bahwa meskipun artikel ilmiah dikutip, bukan berarti tulisan itu benar-benar dibaca seutuhnya. Diperkirakan hanya 20 persen artikel yang dikutip benar-benar dibaca. Secara keseluruhan, tiap artikel yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah hanya dibaca oleh 10 orang secara rata-rata. Itu sudah termasuk yang dibaca oleh ilmuwan sebidang.
Ini mengindikasikan bahwa publikasi ilmiah lebih banyak dimanfaatkan untuk rujukan bagi riset berikutnya atau artikel ilmiah lainnya, bukan untuk tujuan praktis atau untuk dukungan ilmiah bagi penentuan kebijakan publik (evident-or scientific-based policies). Implikasi temuan Biswas dan Kirchherr adalah perlunya akademisi dan ilmuwan membagikan ilmu dan temuannya ke publik.
Melalui itulah tanggung jawab sosial para ilmuwan itu mewujudkan kebergunaan mereka.
Di sisi lain, pihak pengambil kebijakan sangat diharapkan untuk menjadikan buah pikiran para profesor dan ilmuwan itu sebagai dasar atau bahan pertimbangan bagi keputusan dan kebijakan mereka terkait kepentingan publik. Melalui itulah tanggung jawab sosial para ilmuwan itu mewujudkan kebergunaan mereka. Dengan menunaikan tanggung jawab sosialnya dan mengindahkan kaidah dan norma komunitas ilmiah, tampaklah kewibawaan, kecerdasan, kecendekiawanan, serta keluasan pikiran para akademisi dan ilmuwan.
Albiner SiagianRektor Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
Albiner Siagian