Masyarakat mengeluhkan UKT yang membebani. Selain meninjau ulang dan melakukan penyesuaian tarif UKT, PT dapat juga mengerakkan dan mengikutsertakan peran civil society dalam pembiayaan pendidikan tinggi.
Oleh
ASYARI
·4 menit baca
Ramainya respons masyarakat terkait tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT) akhir-akhir ini menjadi indikasi ada persoalan krusial dan fundamental dalam pembiayaan pendidikan tinggi kita.
Meski ditetapkan dengan mempertimbangkan data-data ekonomi orangtua, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa, seperti; pendapatan, kepemilikan aset bergerak dan tidak bergerak dan jumlah tanggungan, nominal UKT belum dipandang sebagai tarif yang adil dan terjangkau. Alhasil sebagian anak-anak bangsa harus pasrah menerima kondisi terhentinya langkah mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (PT) yang diidamkan.
Asa mereka untuk dapat kuliah terhempas karena soal kemampuan ekonomi.
Situasi ini mesti secara arif dimaknai oleh PT sebagai nomentum untuk melakukan instrospeksi dan kaji ulang penetapan tarif UKT.
PT dan kemajuan suatu bangsa memiliki korelasi kuat. Oleh karenanya, negara-negara maju di dunia menempatkan PT sebagai sektor vital yang berkontribusi memproduksi SDM berkualitas dan memiliki kapasitas kompetensi yang dibutuhkan sektor dunia kerja.
Selain itu, PT juga menjadi "prabrik" yang menghasilkan berbagai ide bernas, gagasan cemerlang, serta inovasi. Bangsa yang minim SDM berkualitas dan inovatif akan berada di papan bawah pemeringkatan lembaga global. Bagi Indonesia kondisi ini juga dapat berpotensi menjadi bencana bagi bonus demografi di tahun 2045.
Evaluasi komponen harga
Akses ke dunia pendidikan tinggi mesti dibuka secara luas dan lebar. Angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi mesti terus dinaikkan. Langkah anak-anak bangsa ke dunia pendidikan tinggi dengan dalih apapun jangan sampai "patah" dan terhenti, termasuk karena mahalnya UKT. PT mesti melakukan evaluasi terhadap variabel biaya yang menjadi komponen pembentuk UKT.
Dari telaah terhadap Permendikbudristek No 25/2020, tarif UKT tak terbentuk secara akrobatik, namun melalui proses ketat dari penetapan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang merupakan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan mempertimbangkan capaian pembelajaran nasional pendidikan tinggi, jenis program studi dan indeks kemahalan daerah.
SSBOPT ini dihitung berdasarkan biaya langsung dan tak langsung untuk terselenggara- nya program studi. Nominal SSBOPT menjadi dasar ketika menetapkan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) sebagai keseluruhan biaya operasional per tahun. BKT menjadi dasar penting dalam menetapkan tarif UKT.
.Biaya langsung dalam SSBOPT merupakan pembebanan biaya kegiatan di ruang belajar, laboratorium, tugas akhir dan layanan bimbingan konseling.
Biaya tak langsung, seperti biaya administrasi umum meliputi; gaji, aneka tunjangan, perjalanan dinas, pemeli haraan, pengembangan institusi dan peningkatan kualitas SDM dosen dan tenaga pendidik melalui workshop, uji kompetensi, pelatihan, training serta diklat.
Semua komponen biaya itu membentuk besaran UKT. Jika besaran tarif yang ditetapkan PT sesuai grade dirasakan mahal, maka PT mesti "berlapang dada" dan terbuka untuk menerima keluh-kesah orangtua, calon mahasiswa, dan mahasiswa aktif dengan meninjau kembali komponen biaya pembentuknya.
Efisiensi pada biaya operasional, bahan kuliah dan modul praktikum. Perlu dilakukan penyesuaian terhadap insentif asisten dan dosen luar biasa, honor, tunjangan ataupun bonus-bonus yang diterima dosen,l termasuk dosen yang memiliki jabatan struktural dan tenaga pendidik. Tentu kebijakan ini kurang populis dan menguntungkan bagi PT. Namun sangat arif sebagai bentuk empati atas kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi Covid-19.
Selain meninjau ulang dan melakukan penyesuaian tarif UKT, PT secara simultan dapat juga mengerakkan dan mengikutsertakan peran civil society dalam pembiayaan pendidikan tinggi.
Kapitalisasi filantropi
Meski amanah UUD 45 berserta regulasi turunannya menyebutkan pendidikan merupakan tugas negara untuk menyediakannya, namun tidak disebutkan secara eksplisit pendidikan tinggi. Alih-alih dapat membiayai pendidikan tinggi, untuk pembiayaan pendidikan tingkat dasar sampai menengah saja negara kewalahan. Untuk itu, diperlukan kehadiran dan keterlibatan partisipasi masyarakat (civil society).
Selain meninjau ulang dan melakukan penyesuaian tarif UKT, PT secara simultan dapat juga mengerakkan dan mengikutsertakan peran civil society dalam pembiayaan pendidikan tinggi. PT dapat menginisiasi program-program yang mengkapitalisasi modal sosial dari para filantropis. Rilis World Giving Index (WGI) tahun 2022 yang dipublikasikan oleh Charity Aid Foundation menobatkan bahwa Indonesia merupakan negara paling dermawan.
PT dapat membentuk paguyuban wali mahasiswa yang berlatarbelakang ekonomi level menengah ke atas untuk ambil peran partisipasi dalam pengumpulan dana-dana filantropi. Indonesia sangat kaya sumber dana filantropi, baik berbasis agama maupun kearifan lokal. Dalam tradisi lintas agama, kita mengenal derma, karitas, perpuluhan’ (tithe) di agama Kristen. Di Islam ada infak, sedekah, wakaf, dan cash waqf. Filantropi berbasis kearifan lokal misal jumputan/jumpitan, atau sipammase-mase di Bugis .
Inisiatif ini sangat strategis sebagai alternatif sumber pembiayaan pendidikan tinggi di tengah terbatasnya kemampuan negara membiayai pendidikan untuk rakyatnya dan rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat. Semoga