Kita tidak bisa menutup telinga bahwa seolah-olah anak muda memilih diam. Mereka pasti akan terus gelisah.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dalam sejarah Indonesia, kaum muda berkali-kali mengambil peran. Di tengah berbagai masalah bangsa, kita juga kembali mempertanyakan peran mereka. Kita masih sulit menemukan peran mereka yang kuat.
Dari 204,8 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di Pemilu 2024, sebesar 56 persen berasal dari kaum muda atau berusia di bawah 40 tahun. Rinciannya, dari generasi milenial (25-39 tahun) 68,8 juta orang dan generasi Z (17-24 tahun) sebanyak 46,8 juta orang (22,9 persen).
Namun, keberadaan anak muda umumnya masih dipandang sebagai pasar pemilih atau hanya dijadikan ”gula-gula politik” untuk menarik suara. Kiprah mereka dalam berpolitik belum sepenuhnya mendapatkan ruang yang jelas (Kompas, 17/7/2023).
Dalam dunia bisnis, kaum muda telah melakukan perubahan yang fundamental dalam cara berbisnis. Cara-cara berbisnis lama yang tidak efisien dan sangat birokratis dirombak. Cara komunikasi pun sudah berubah. Mereka juga memimpin berbagai perusahaan dalam usia muda.
Akan tetapi, kita tidak melihat perang yang signifikan di dunia politik. Anak-anak muda muncul dalam kepemimpinan politik lebih banyak karena faktor keturunan dan juga karena kedekatan. Tanpa bermaksud sinis, kita lebih mempertanyakan kontribusi mereka. Penunjukan sejumlah anak muda dalam kabinet bertujuan baik. Namun, kembali kita menanyakan kontribusi mereka secara lebih signifikan dalam pembangunan.
Sejumlah staf khusus milenial presiden yang diharapkan bisa berperan lebih besar dalam mengomunikasikan kebijakan presiden ternyata belum banyak berperan. Mereka lebih banyak sibuk sendiri dan malah terkesan menampilkan diri mereka dibandingkan terus-menerus menerjemahkan kebijakan pemerintah.
Gambaran ini makin diperparah oleh masalah besar di kalangan anak muda, yaitu keengganan untuk terjun ke dalam politik. Keengganan mereka bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu citra politik yang buruk di mata mereka dan hegemoni kelompok tua yang menghalangi peran mereka. Kasus korupsi dan perilaku buruk di kalangan politisi membuat mereka tidak tertarik untuk masuk ke politik. Sementara hegemoni kelompok tua yang cenderung mempertahankan ”kursi” mereka membuat makin sedikit anak muda yang masuk ke dalam politik.
Situasi ini membawa kita pada kebuntuan untuk regenerasi ataupun kemunculan pemimpin-pemimpin baru di kalangan anak muda. Kita tidak bisa berharap banyak akan muncul perubahan sebagaimana pada masa lalu anak-anak muda membuat perubahan yang sangat fundamental terhadap bangsa ini.
Meski demikian, kita tidak harus pesimistis dengan situasi ini. Energi besar anak muda cepat atau lambat akan mendobrak kemandekan. Kegelisahan mereka pasti akan menjadi aksi yang riil dan membuat perubahan yang signifikan. Oleh karena itu, kita tidak bisa menutup telinga bahwa seolah-olah anak muda memilih diam. Mereka pasti akan terus gelisah.
Kanalisasi kegelisahan anak muda yang berwujud harus dilakukan. Mereka harus didengar dan mendapat tempat yang sesuai sebelum energi mereka menjadi destruktif. Tidak beda dengan perubahan di dunia bisnis, anak muda akan mencari jalan sendiri untuk menunjukkan peran mereka. Mereka memiliki kepedulian terhadap bangsa ini. Mereka suatu saat muncul dan sangat boleh jadi cara-cara berpolitik lama memang harus istirahat atau malah dikubur.