Tradisi Mencerdaskan
Ia berwibawa, cerdas, dan berpikiran sangat luas. Tidak terbatas pada kepakarannya, tetapi juga dapat memikirkan masalah sosial kemasyarakatan yang dihadapi bangsanya. Dia adalah mendiang Prof Dr Andi Hakim Nasution.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F02%2F09%2F20200703PRI03_1612880451_jpg.jpg)
Mustawan loper koran Kompas yang selalu menawarkan koran Kompas di jembatan penyeberangan orang Ratu Plaza, Jakarta Pusat, seperti terlihat pada hari Jumat (3/7/2020). Penumpang bus Transjakarta yang sebagian besar adalah pekerja kantoran di kawasan Senayan adalah salah satu pelanggan potensialnya.
Salut kepada harian Kompas. Pada ulang tahun ke-58, Kompas mengundang 12 rektor perguruan tinggi di Indonesia, seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan Airlangga, untuk menulis opini yang dimuat pada Rabu (28/6/2023).
Saya mencatat ada tiga rektor yang rajin menulis di Kompas: Ari Kuncoro, Komaruddin Hidayat, dan Arif Satria.
Meski sifatnya diundang, artikel opini yang ditulis para rektor ini bisa menggambarkan cara pandang, wawasan, dan kedalaman berpikir para pemimpin puncak perguruan tinggi, sekaligus guru besar di bidang masing-masing. Mereka memikirkan kepentingan dan kemajuan bangsa, khususnya SDM yang unggul di masa yang akan datang.
Seorang rektor—sekaligus guru besar—hendaknya tidak terjebak pada kegiatan rutin dan seremonial di kampus yang memang menjadi tugasnya (inlooking). Rektor sebagai nakhoda perguruan tinggi juga harus memikirkan kepentingan bangsa negara yang lebih luas (outlooking). Salah satu indikatornya adalah menuangkan buah pikiran di media nasional seperti Kompas, yang dapat dibaca mayoritas masyarakat Indonesia.
Saat saya pertama kali kuliah di IPB tahun 1977, rektornya sangat dikagumi oleh mahasiswanya. Ia sungguh berwibawa, cerdas, dan dengan kemampuan berpikir sangat luas. Tidak terbatas pada kepakarannya, tetapi juga dapat memikirkan masalah sosial kemasyarakatan yang dihadapi bangsanya. Dia adalah mendiang Prof Dr Andi Hakim Nasution, rektor IPB dua periode (1978-1987).
Ia rajin menulis opini di harian Kompas semasa hidupnya. Tulisannya bernas, berisi, dan sangat mencerahkan bagi pembacanya. Meskipun ia pakar statistik dan genetika kuantitatif, tulisannya banyak membahas masalah sosial kemasyarakatan yang aktual saat itu.
Tradisi mencerdaskan semacam ini mestinya dapat berlanjut. Kalau perlu minimal seminggu sekali ada artikel opini seorang rektor, dari perguruan tinggi negeri/swasta, Jawa/di luar Jawa, yang dimuat di rubrik Opini Kompas.
Mahasiswa dan civitas academica tempat rektor tersebut berasal akan ikut bangga, bahwa pucuk pimpinan almamaternya mampu menyumbangkan pikiran dan berkiprah di tingkat nasional.
Bravo harian Kompas.
Pramono Dwi SusetyoAlumnus Fahutan IPB 1981 (Angkatan 14), Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bagor
”Kompas” Ultah
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F27%2Fe7e65518-8367-41d4-b046-222822aa01a2_jpg.jpg)
Harian Kompas melewati usia 58 tahun, Rabu (28/6/2023). Sebagai salah satu media nasional tertua, Kompas merekam berbagai momen dalam perjalanan 78 tahun Republik Indonesia.
Kompas ulang tahun, itu bukan sesuatu yang luar biasa, karena ulang tahun akan muncul dengan sendirinya setiap tahun. Tak bisa dicegah.
Tapi, apa makna ulang tahun buat Kompas? Apakah sudah sampai pada tujuannya? Apakah mengikuti cita-cita yang dicetuskan pendirinya? Apakah Kompas sudah memenuhi Amanat Hati Nurani Rakyat, seperti yang tertulis di halaman depan di bawah nama Kompas? Pertanyaan-pertanyaan tadi akan terjawab oleh kebijakan manajemen Kompas yang hasilnya dirasakan masyarakat.
Apakah benar Kompas dibutuhkan dan berarti bagi seluruh masyarakat? Jawaban saya tidak akan mewakili ”rasa dan perasaan” masyarakat secara keseluruhan.
Namun, saya sangat menikmati dan menunggu tulisan Kompas tiap Sabtu pada rubrik Catatan Politik dan Hukum Budiman Tanuredjo. Saya asyik membaca Udar Rasa Mbak Alissa Wahid pada hari Minggu. Jendela dan Foto yang disajikan merupakan gambar yang bercerita.
Jendela yang menampilkan sejarah, buku-buku, kuliner, dan sebagainya menambah asupan gizi otak saya tentang pengetahuan.
Survei Litbang Kompas membuat saya kaget dengan data yang tersaji karena sering di luar ekspektasi.
Segudang pujian saya untuk Kompas. Sebagai pendidik, dengan membaca Kompas, saya mendapat literasi dan bahan diskusi dengan mahasiswa.
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah benar Kompas sudah sampai pada tahapan Amanat Hati Nurani Rakyat?
Semoga.
Sri HandokoTugurejo, Semarang
Dirgahayu
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F28%2Ff6fb7c60-1411-49fa-a5c4-3118a01157b1_jpg.jpg)
Membaca koran Kompas dan ePaper Kompas juga bisa dilakukan di layar gawai.
Ketika televisi hadir, banyak orang mengira radio akan punah. Ternyata tidak. Televisi terus berkembang, sementara radio juga tetap eksis.
Demikian ketika era digital hadir, orang juga mengira media cetak akan tamat. Ternyata tidak juga tamat, tetap bertahan sekalipun berat.
Kompas tetap bertahan karena kualitasnya. Terbukti dari berbagai penghargaan yang diterima, baik di tingkat internasional maupun domestik.
Sebagai generasi lansia, saya suka membaca media cetak meski harganya makin memberatkan. Apalagi saya bisa menulis unek-unek di rubrik Surat Kepada Redaksi ini.
Terima kasih sudah memuatnya, jadi wadah aktualisasi diri saya. Saya setuju dengan Bapak Hadisudjono Sastrosatomo (Selasa, 27/6/2023). Akhirnya, Dirgahayu Kompas yang ber-HUT ke-58. Tetaplah menjadi jurnalisme yang mencerahkan dan menjunjung amanat hati nurani rakyat.
BharotoJl Kelud Timur, Semarang
Datang ke ”Kompas”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F14%2F2ce4fa4a-0ebe-4b37-aa17-8d9910cf11ac_jpg.jpg)
Saya membaca Kompas sejak terbit 28 Juni 1965 waktu masih di bangku SMP. Ini karena ayah saya, begitu ada informasi penerbitan surat kabar baru, minta ke loper berlangganan Kompas. Walaupun tinggal di perdesaan di luar kota Solo, soal informasi dan berita tidak mau ketinggalan.
Sebelumnya ayah saya telah berlangganan beberapa surat kabar. Beliau juga sering menulis di surat kabar tersebut.
Saat mulai kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1971, tempat kos saya juga berlangganan Kompas.
Terinspirasi ayah yang sering menulis di surat kabar, saya juga mencoba menulis di Kompas. Sesuai teknologi waktu itu, apabila artikel tidak dimuat, dikembalikan via pos. Apabila dimuat, honorarium akan dikirim melalui wesel pos. Saat itu belum zamannya mempunyai rekening bank.
Wesel pos saya cairkan di Kantor Pos UI Salemba. Pertama kali dapat honorarium Rp 5.000, sangat berguna untuk mahasiswa perantauan.
Setelah beberapa kali honorarium dikirim lewat wesel, saya terpikir mengambil langsung di kantor Kompas. Ternyata dibolehkan.
Sejak itu, satu hari setelah tulisan dimuat, saya pergi ke kantor Kompas mengambil honorarium. Saya menemukan tanda terima honorarium dari Kompas yang masih saya simpan di file tulisan Tinjauan Buku, dimuat 18 Oktober 1981. Honorarium saya ambil 22 Oktober 1981, Rp 10.000.
Yang hilang dari Kompas sekarang rubrik Tinjauan Buku. Sebagai pencinta buku, tinjauan itu sangat berguna.
Zaman itu hanya dicantumkan nama penulis tanpa embel-embel identitas. Walau begitu, akhirnya atasan saya tahu bahwa saya sering menulis di Kompas. Meski bukan tentang hubungan luar negeri, ia melarang saya menulis. Setelah lulus kuliah, saya bekerja di Kementerian Luar Negeri.
Berbeda dengan sekarang. Di belakang nama disebutkan identitas penulis termasuk Menlu, Dubes, dan lain-lain.
MustakimJl Para Duta, Pondok Duta 1, Tugu Cimanggis, Depok 16451
”Sembah Nuwun”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F12%2F0b0c3dbe-e193-4ecd-9d50-acd28511dfa8_jpg.jpg)
Kompas/Wisnu Widiantoro
Saya pertama kali membaca edisi pertama harian Kompas di Teluk Betung, Lampung. Hingga saya menyandang gelar S3 (Sampun Sepuh Sanget) sekarang, tiap pagi Kompas menemani minum kopi.
Tanpa harian Kompas yang banyak memuat surat pembaca saya, tidak mungkin saya dipertemukan dengan sahabat lama dari kecil sampai tua. Ini karena sebaran kehidupan saya yang sangat luas, dari sekolah sampai berkarya di banyak bidang.
Pada 12 Agustus 1959 saya ke Lampung dengan kapal bertuliskan Lakor di lambungnya. Dengan jaminan almarhum Pastor Danuwidjoyo, saya menjadi guru nonkompetitif (Belanda: onbevoegd) SMP unggulan asuhan para biarawan (suster) Belanda.
Saya lalu mengundurkan diri sebagai guru, beralih menjadi pegawai perusahaan swasta puluhan tahun sampai purnakarya. Sejak itu saya banyak menulis antara lain di Kompas. Dampaknya, saya dapat berhubungan kembali dengan teman-teman yang puluhan tahun berpisah, semula tidak tahu di mana rimbanya.
Untuk itulah sekali lagi saya ucapkan sembah nuwun kepada harian Kompas.
FS HartonoPurwosari, Sinduadi, Mlati, Sleman